About Me

About Me
Writer, Pengelola Rumah Baca Istana Rumbia, Staff redaksi Tabloid Taman Plaza, Admin Yayasan CENDOL Universal Nikko (Koordinator bedah cerpen OCK), perias dan Make-up artist PELANGI Asosiasi Entertainment, Crew Wonosobo Costume Carnival dan Crew 'A' Event Organizer (Multazam Network), pernah bekerja di Hongkong dan Singapura. Cerpenis Terbaik VOI RRI 2011, dan diundang untuk Upacara HUT RI ke 66 di Istana Negara bersama Presiden RI. BMI Teladan yang mengikuti Sidang Paripurna DPR RI 2011 dan menjadi tamu Ketua DPD RI. Dinobatkan sebagai Pahlawan Devisa Penulis Cerpen BNP2TKI Tahun 2011. Pemuda Pelopor Dinas Pendidikan, pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Tengah kategori Seni-Budaya Tahun 2012. Menyukai langit, stasiun kereta, dan warna biru. Salah satu penulis Undangan Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali. Dapat dihubungi via Email FB/YM : Nessa_kartika@yahoo.com.

Sunday, July 29, 2012

[ARTIKEL TRIBUN JOGJA] Review SEGITIGA

 

review SEGITIGA di Tribun Jogja 29 Juli 2012
"CINTA dan KEKUASAAN dalam NOVEL SEGITIGA"

SEGITIGA – Sebuah Novel Duet
by Fitri Ragil Kuning

Judul : Segitiga
Penulis : Dian Nafi & Nessa Kartika
Penerbit : Hasfa Publishing
Terbit : Mei 2012
Halaman : vi + 120 halaman

Sudah menjadi sifat manusia bahwa dia akan melakukan apapun demi kepuasan dirinya sendiri. Tak peduli apakah keinginan itu merugikan orang lain atau tidak. Untuk itu, tak heran rasanya jika semakin hari semakin banyak kita temukan tangan-tangan jahil yang memanfaatkan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan. Yang dirugikan, justru orang-orang awam yang tak mengerti sama sekali. Sebut saja korupsi, misalnya.

Seperti yang dikisahkan dalam novel duet ini, bahwa kekuasaan mampu membungkam mulut siapa saja, termasuk anggota-anggota LSM yang seharusnya bisa mewakili aspirasi masyarakat. Yang benar menjadi salah, yang salah pun terkesan dibenarkan. Berbagai negosiasi dan ‘main belakang’ selalu menjadi cara kerjanya.

Novel yang berbau permainan politik ini tidak terkesan kaku karena di dalamnya terselip kisah-kisah cinta yang bahkan bisa dikata mendominasi bagian dari novel duet ini. Segitiga, lebih tepatnya saya pribadi menyebutnya segitiga cinta. Ada tiga titik terhubung yang mencoba untuk meraih satu tujuan, yaitu cinta. Cinta antara Nuning, Ryan, dan Faisal. Meski pada akhirnya cinta pula yang membuat Nuning mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya untuk membatalkan pernikahan demi kembali pada cinta yang dia rasakan lebih pantas untuk dimiliki.

Novel karya Dian Nafi dan Nessa Kartika ini juga kental dalam penyajian setting dan tokoh-tokohnya. Pembaca akan digiring memasuki kawasan Yogyakarta yang memang sengaja diciptakan sebagai setting utama.

Cover depan yang fresh dengan color orange sangat menarik siapa saja untuk memiliki novel ini. Ditambah dengan ilustrasi yang keren tapi tidak terkesan glamour membuat novel ini terlihat elegan.

Namun di novel ini juga banyak ditemukan paragraf yang mengandung kalimat-kalimat kiasan yang membuat pembaca harus berpikir ulang untuk mencernanya. Apalagi ditambah dengan loncatan plot yang kadang terasa sangat cepat.

Selebihnya, Anda perlu memiliki novel ini segera. Ada pesan-pesan moral yang ingin dituturkan oleh kedua penulis tanpa bermaksud menggurui. Bahwasanya hukum di negara kita ternyata masih terlalu kerdil untuk mengatasi seorang koruptor, bahkan seorang pengusaha kaya yang dikelilingi oleh antek-anteknya.

Selamat membaca.

Tuesday, July 10, 2012

[ARTIKEL TAMAN PLAZA] Memandikan anak jalanan dengan tangannya sendiri


·                   Inspirasi wanita Tabloid Taman Plaza edisi Juli-Agustus 2012


Wakil Bupati Kabupaten Wonosobo :
MAYA ROSIDA
  
Mencapai usia 187 tahun Kabupaten Wonosobo yang makin sukses membangun, ternyata menyisakan beberapa bagian yang tak seimbang sebagai kota kecil, yaitu keberadaan anak jalanan yang angkanya mencapai lebih dari 100 orang. Apakah Pemerintahan Kholiq-Maya melewatkan aspek ini? Bagaimana Ibu Wakil Bupati, Maya Rosida menyikapi hal ini?
Pada (13/7) Taman Plaza mendapat kesempatan untuk meliput langsung dialog Ibu Maya dengan anak-anak jalanan yang tergabung dalam FKJM. Forum Komunitas Jalanan Merdeka yang dikoordinir oleh Wheny Avatar, mantan anak jalanan yang kini menjadi pembina anak jalanan.
Anak jalanan identik dengan predikat sampah masyarakat, pengangguran, pemalas padahal ada hal lain yang menjadi akar persoalan anak-anak tersebut sehingga akhirnya harus berkeliaran di jalanan. Ibu Maya mengategorikannya menjadi 4 (empat), di antaranya karena masalah ekonomi, anak tersebut meninggalkan atau ditinggalkan oleh keluarganya, meninggalkan sekolahnya dan mempunyai kegiatan keseharian yang rutin di jalanan.
Anak-anak jalanan itu memiliki berbagai masalah, seperti pendidikan, kesehatan dan alih profesi. Menurut Ibu Maya, Pemerintah Kabupaten Wonosobo bekerjasama dengan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Pemberdayaan Perempuan dan Anak telah menerapkan program-program Pemerintah yang teraspirasi dari kebutuhan dan permasalahan anak jalanan dan akan dimasukkan dalam program tahun 2013. Tujuannya supaya sinergisitas dapat terjalin dengan baik dan hak anak dapat diakomodir oleh Pemerintah.
Peran Dinas Sosial sendiri diakui oleh FKJM sangat membantu, selain menerbitkan surat-surat keterangan (Jamkesmas, Surat Miskin, Askes) yang dapat membantu jika ada anak-anak yang sakit dan harus dirawat di RS. “Satu hal yang memprihatinkan adalah saat kami kehilangan salah satu teman kami, dia menderita komplikasi gagal ginjal dan lain-lain, terlambat diketahui dan ditemukan sudah menjadi mayat di dekat gereja Jalan Bhayangkara.”
Namun diakui oleh FKJM, semua bukan hanya kesalahan Dinsos atau Dinkes, karena memang kesadaran untuk melakukan pemeriksaan kesehatan dari para anak jalanan itu sangat minim. Seperti contoh, biasanya mereka datang ke seminar-seminar tentang AIDS dan Penyakit Menular Seksual yang diadakan oleh instansi-instansi maupun LSM, namun saat ditawari untuk melakukan check-up mereka tidak mau. Pemeriksaan tersebut memang tidak dipungut biaya dan juga dijamin kerahasiaan identitas, namun dari anak jalanan pribadi yang menolak karena sudah takut duluan dengan hasil yang akan diterima.
Padahal jika pun kemudian diketemukan penderita AIDS di antara anak jalanan, Pemda akan tetap mendampingi. Seperti saat mendampingi penderita AIDS yang kemudian bahkan Pemerintah dapat membantu menikahkan sesama penderita AIDS laki-laki dan perempuan.
Diharapkan dengan adanya keterbukaan seperti itu, resiko penularan AIDS dapat dicegah. Karena jika tidak diperiksakan dan kemudian penderita positif HIV yang tidak tahu bahwa dia positif, kemudian berinteraksi dengan yang masih sehat justru berbahaya.
Dinsos juga telah membantu memasukkan beberapa anak tunawisma ke panti-panti asuhan. Seperti anak jalanan bernama Fahrul, orangtuanya yang berasal dari Kecamatan Leksono tidak jelas keberadaannya. Oleh Dinsos, Fahrul telah dimasukkan ke Panti Asuhan Mardi Yuwono, namun akhirnya Fahrul memilih untuk pergi dari Panti dan tidak pulang, akhirnya kembali berkeliaran.
Bu Maya pernah memergoki Fahrul satu kali di kota dan membawanya pulang ke Rumah Dinas Wakil Bupati, memandikannya, memberinya makan dan memberinya uang, bahkan ditawari untuk menjadi anak asuh Bu Maya, Fahrul sempat mengiyakan, namun setelah itu Fahrul menghilang lagi.
“Fahrul itu jiwanya masih anak-anak sekali. Jika ada yang berusaha memberinya bimbingan, dia mengiyakan, tapi dia kembali pada keasyikannya bermain di jalan,” kata Bu Maya prihatin.
Ditanya soal komunikasi dan pendekatan pemerintah kepada anak jalanan sehingga mereka tidak lagi berkeliaran di jalan, Pemerintah Kabupaten Wonosobo telah bekerjasama dengan berbagai pihak seperti GNOTA untuk mendorong anak-anak yang masih usia sekolah untuk kembali belajar melalui kejar paket, diantaranya dari GOW dan PKBM.
Selain itu ada beberapa project pilot pelatihan-pelatihan seperti UMKM, penjahitan, bengkel dan sebagainya yang akan diberikan bantuan alat produksi sebagai stimultan usaha. Tujuannya supaya anak-anak jalanan tersebut meningkat kesejahteraannya, mentas dari jalan karena mempunyai profesi dan pendapatan dari usaha mandiri.
Hal ini cukup sukses menarik anak jalanan untuk mandiri, di antaranya Agus yang sudah 3 (tiga) tahun ini membuka usaha produksi susu kedelai dengan 2 (dua) karyawan dan Wheny serta istrinya yang berjualan buntil (olahan sayur daun talas) dengan pemasarannya dibantu oleh GOW.
Anak-anak jalanan cukup mengeluhkan adanya penggarukkan secara kasar yang dilakukan oleh Satpol PP setiap saat, terutama menjelang penilaian Adipura, Ramadan dan Lebaran, ada tamu pemerintah, dll. Untuk anak-anak yang punya usaha seperti berjualan asongan bisa lolos, namun untuk pengemis, pengamen, penganggur dan lain-lain biasanya sampai harus mendekam di tahanan. Untuk ini Bu Maya berjanji akan mendata dan membuatkan kartu tanda identitas kepada seluruh anak jalanan tersebut, sehingga jika ada penggarukkan, anak-anak tersebut dapat ditangani dengan benar.
Shelter anak jalanan Wonosobo masih di rumah pribadi milik Wheny di Sirandu. Beberapa yang tinggal di situ adalah tunawisma, dan atau anak-anak yang terusir dari tempat tinggalnya. Ada yang diusir dari kontrakannya karena pemilik kontrakan tidak suka satu kamar dihuni oleh beberapa anak sekaligus.
Sesuai dengan isi pasal 33 UUD 1945 seharusnya yatim piatu dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Menurut Bu Maya, “sebagai Kabupaten layak anak, program Pemerintah Kabupaten Wonosobo pun diharapkan bisa diimplikasikan ke anak-anak jalanan. Namun memang anak jalanan bukan hanya masalah pemerintah, karena kemauan anak satu dengan yang lain berbeda-beda.”
Ibu Maya Rosida menutup pertemuan dengan memberi dukungan terhadap cita-cita para anak jalanan. “Kesuksesan adalah semangat dari kita sendiri. Semoga dengan adanya dialog berkesinambungan antara anak jalanan dengan Ibu, akan ada perubahan paradigma bahwa anak jalanan bukanlah beban, tapi asset pembangunan.” [NeKa]

Sunday, July 8, 2012

TRIO NDLEMING

Kita ndleming bertiga ... dari dunia kita masing-masing.
Memegang teguh suatu cita-cita 
: perjumpaan
Mangga Golek Impian menjadi pegangan.

Di Bumi Cikole Jayagiri Resort
8 Juli 2012
Mimpi kita terlaksana.

I Love U, Guys.


Arista Devi (Yully Riswati)


[Puisi] Merahku

 Photo: ~Heart Filled Love~
A heart filled with love is like a phoenix that no cage can imprison.
~Rumi 

www.facebook.com/Allison.Bliss1

Hari berjalin seperti temali
Mengikat dan menjerat dengan keinginan untuk berlari
Meninggalkan biru yang memerahkan hati
Meninggalkan merah yang birukan hati

Telah muncul kesadaran untuk melepas kegalauan
Layaknya jejak yang tercetak oleh kerontang kemarau
kita tak mampu menghapusnya
membiarkannya menari bersama debu
mengejek kepedihan

Serasa dibantai udara di sekitarmu
Sesak menyeru setiap helai nafas dan aliran darahku
chinta dan benci hanya berjarak setipis helai kertas
; Aku memilih untuk menghindarimu
karena tak mampu memutuskan untuk membencimu

| 872012 @ Cikole Jayagiri Resort

Thursday, July 5, 2012

[ARTIKEL SATELIT POS] Mau Launching Sempat Ditahan Di Bandara

Nessa Kartika, mantan TKW asal Singapura saat ini menjadi penulis buku
BANYAK yang beranggapan bahwa menjadi buruh migran adalah pekerjaan yang tidak berkelas. Namun paradigma itu dipatahkan oleh Nessa Kartika dengan prestasi yang diraihnya. 
Sejak lulus SMK pada tahun 2002 lalu ia memutuskan menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Hongkong. Sebelum terbang ke negeri tetangga ia sempat bekerja sebagai buruh pabrik garmen di Bandung selama setahun. 
Menjadi buruh dalam negeri tak menjadi kepuasan baginya sehingga dengan menggunakan jasa PJTKI ia memutuskan untuk bermigrasi ke Hongkong setelah tiga bulan sebelumnya berada di penampungan Cengkareng, Jakarta. 
Keberanian mengunjungi negeri tetangga dilakoninya dengan prihatin karena sejak kecil Nessa telah ditinggalkan oleh kedua orangtuanya karena bercerai. 
Semasa bersekolah di MI dan SLTP Muhammadiyah 1 Wonosobo ia sering terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba mengarang dan beberapa kali berhasil meraih juara. 
Pesawat melaju dengan kencang hingga akhirnya mendarat dan memerkenalkan Nessa pada lingkungan baru. Hongkong menjadi negara yang meninggalkan sejuta kenangan bagi Nessa, karena disanalah nasibnya terbilang tidak baik. Bisa dibayangkan perlakuan sang majikan kepada TKW baru asal Indonesia. 
"Sempat menjadi korban kekerasan dari majikan. Baru kerja 15 bulan saya minta pulang. Bos watu itu usahanya sedang bangkrut jadi stress dan sering memukuli saya dan istrinya," kata Nessa. 
Sepulang dari Hongkong, ia kembali ke kampung halaman, Wonosobo. Kota asri yang memerkenalkannya menjadi penyiar di sebuah stasiun radio swasta. Dari situlah nama Nessa Kartika melejit. Wanita kelahiran 27 Mei 1983 ini memunyai nama asli Anissa Hanifah.
Setelah memutuskan menikah pada tahun 2004 ia memutuskan untuk kembali bekerja menjadi TKI. Tentu atas persetujuan dari suami dan seorang anaknya. Kali ini Singapura menjadi negara tujuannya. Ternyata kekerasan yang dialami sebelumnya tak menjadikan Nessa menyerah pada nasib demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Beruntung baginya di negara yang kedua ini ia dipertemukan dengan majikan yang baik. pekerjaan utamanya hanya mengurus orang jompo. Setelah waktu kerjanya senggang Nessa diizinkan menggunakan komputer milik sang majikan untuk menulis dan membaca artikel di internet. 
"Pas jadi TKW di Singapura saya menjaga seorang kakek. Biasanya setelah semua kebutuhan kakek terpenuhi dia banyak istirahat. Saat itulah saya bisa menggunakan menggunakan internet. Itung-itung mengasah ilmu komputer waktu SMA," kata Nessa. 
Awalnya facebook yang menjadi media pertama untuk mempublikasikan tulisannya selain sebagai alat komunikasi dengan suami dan anak. Melaui media itulah tulisannya banyak dibaca banyak orang baik di dalam maupun luar negeri. Lantas beberapa lomba menulis melalui media maya juga dilakoninya.
Dengan didukung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura kemudian ia membuka hotline melalui surat kabar secara konvensional maupun email. 
"Lewat cara itu seharusnya dapat mendorong kawan-kawan TKI untuk untuk mengabadikan pangalaman lewat tulisan. Sayangnya waktu itu belum banyak yang menanggapi," ujar Nessa. 
Hingga pada tahun 2011 lalu mengikuti lomba cerpen Bilik Sastra yang diselenggarakan oleh Radio Republik Indonesia (RRI). 
"Alhamdulillah dilomba itu karya saya menjadi pemenang kedua dan hadiahnya dapat tiket pulang peri Singapura-Jakarta. Selain itu juga juga akomodasi untuk menghadiri sidang bersama DPR dan DPD RI serta menjadi tamu undangan upacara bendera 17 Agustus di Istana Merdeka," kata Nessa. 
Sejak itulah banyak prestasi yang diraihnya. Bersama penulis terkenal dari dalam dan luar negeri ia berkesempatan menjadi peserta Ubud Writers and Readers Festival di Bali. 
"Saya tak menduga seorang babu bisa menulis juga. Lewat tulisan itu saya berharap akan banyak orang yang perhatian terhadap buruh migran," katanya saat ditemui di pameran BMI di LLPM UNSOED, Rabu (3/7)
Kini sudah empat buku yang diterbitkannya, bahkan untuk buku perdana yang terbit mencapai 3000 eksemplar. Tak hanya itu, ia juga menulis di puluhan antologi puisi dan cerpen bersama para buruh migran yang lain. Karena Nessa dipercaya menjadi ketua Buruh Migran Indonesia (BMI) Indonesia untuk Singapura.
Sempat ia melaunching bukunya di Malaysia. Cerita unik pun disampaikannya saat berkunjung ke Malaysia. 
"Saya sempat ditahan di Bandara Yogyakarta selama setengah jam karena dianggap mantan TKW yang aneh. Petugas di bandara tidak percaya kalau mantan babu seperti saya juga menjadi penulis. Lalu mereka percaya setelah saya tunjukan tiket dan buku-buku hasil karya selama menjadi TKI," kata Nessa. 
Kini dari hasil penjualan bukunya ia telah mampu mendirikan rumah baca "Istana Rumbia" dan menjadi penata rias pengantis. Menjadi buruh migran dulu juga dilakoni sang ibu yang kini mendirikan home industri untuk produksi makanan ringan. 
Menulis hingga kini masih terus dilakoninya bahkan apabila ada kesempatan lagi pun ia ingin kembali menjadi TKW. 
"Kalau jadi TKW lagi saya bisa tahu kondisi mereka sehingga dapat dituangkan ke dalam tulisan. Dan akan banyak orang yang tahu bagaimana menjadi buruh migran sebagai pahlawan devisa seperti penobatan yang diberikan kepada saya," kata Nessa. (fitri nurhayati)

Feature di Korane Wong Ngapak, SatelitPost
Kamis, 5 Juli 2012

Tuesday, July 3, 2012

[ARTIKEL KOMPASIANA]Bilik Sastra VOI RRI: Mengapresiasi Karya Buruh Migran Indonesia

Oleh Pipiet Senja
13413127711821299434
Evatya Luna dan Bayu Insani membacakan cerpen Rosana

Jakarta, 2 Juli 2012
Radio Republik Indonesia memiliki sejarah sendiri dalam membangun Ibu Pertiwi. Tidak bisa dibayangkan, andaikan RRI tidak berani mengumandangkan Proklamasi pada 17 Agustus 1945, sebuah momen yang sangat bersejarah itu.
Hingga kini, meskipun media elektronik semakin canggih dengan bermunculannya siaran televisi, baik lokal maupun internasional. RRI senantiasa membenahi diri, menyemangati, memberi luang dan memberikan apresiasi tinggi terhadap karya anak bangsa.
Voice Of Indonesia atau VOI RRI menyiarkan acara-acara baru, dua di antaranya adalah Diplomatic Forum dan Bilik Sastra. Diplomatic Forum adalah acara diskusi antar kalangan diplomat asing dengan unsur pemerintah di Indonesia, membahas isu strategis sekaligus sebagai sarana; “second track diplomacy”.
Sebagai implementasi dari Informing, Connecting, Dignifying, acara ini berusaha memberikan informasi timbal balik mengenai situasi dan kondisi suatu negara, menghubungkan Indonesia dengan negara sahabat, sekaligus merekatkan hubungan kedua bangsa dan negara.
Sejak awal 2011, penulis diajak bergabung sebagai pembincang karya. Bilik Sastra, mengapresiasi, membacakan dan membincang karya warga kita yang bermukim di mancanegara, tiap hari Minggu pukul 13.00 – 14.00 WIB.
Program siaran Bilik Sastra ini ternyata banyak diminati oleh warga Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri. Ada dua kategori karya-karya yang masuk ke meja Bilik Sastra, yakni dari umum seperti; ibu rumah tangga, mahasiswa dan kaum tenaga kerja; TKI/BMI.
Jika dicermati yang paling rajin mengirimkan karya berupa cerpen dan kisah inspirasi adalah dari Hong Kong dan Singapura, menyusul Malaysia, Taiwan dan Mesir. Kemudian para istri ekspatriat, mahasiswa dari; Saudi Arabia, Thailand, Australia, Amerika Serikat, Kanada, Inggris.
Pada satu pertemuan bersama Kabul Budiono, Direktur Penyiaran RRI. Tiba-tiba ada yang nyeletuk kira-kira sbb:” Wah, kebanyakan karya TKI, ya? Bagaimana nanti kalau Bilik Sastra dicap, citranya identik dengan suara TKI?”
Kabul Budiono dengan gayanya yang humble, nyantey, tersenyum kebapakan, menukas tegas:”Ya, mengapa tidak? Kita tidak perlu cemas, apalagi takut tentang pencitraan macam itu? Mereka memang patut kita dukung!”
Wow, penulis menunduk dalam, salut dengan sosok satu ini. Suaranya yang bariton, joke-joke segar acapkali terlontar, membuat pertemuan-pertemuan seberat apapun akan terasa renyah.
1341312920468780990
Nadia Cahyani dan Nessa Kartika, pemenang cerpen terbaik Bilik Sastra 2011
Memasuki tahun ke-2, Bilik Sastra telah menyemarakkan khazanah literasi/sastra ke dunia internasional dengan terus-menerus mengapresiasi karya mereka, membacakan dan membincangnya sekaligus mewawancarai penulisnya.
Dalam rangka Hari Kemerdekaan RI ke-66, setahun yal, Bilik Sastra mengantarkan dua penulis cerpen terpilih, ke Istana Merdeka, berjabat tangan langsung dengan Presiden SBY. Keduanya adalah Buruh Migran Indonesia. Nadia Cahyani BMI Hong Kong, Nessa Kartika BMI Singapura.
Sedianya tahun inipun, 2012, Bilik Sastra akan mengulang momen penting seperti sebelumnya; menerbitkan karya terpilih dan memilih kembali karya terbaik selama setahun terakhir.
Minggu, 30 Juni 2012, penulis mengajak serta Bayu Insani, eks BMI Hong Kong yang kini tinggal di Yogyakarta. Kali ini ditemani Evatya Luna, novelis muda dari Surabaya. Keduanya dengan riang gembira saling menyahut, membacakan cerpen Rosana karya Jaladara.
“Senang sekali diajak Teteh ke sini. Jadi tahu bagaimana studio RRI yang terkenal itu,” komentar Bayu Insani dengan riang, bahagia.
Meskipun sama sekali tak ada honorarium, apalagi akomodasi. Bayangkan saja, dalam kondisi hamil muda melakukan perjalanan yang sangat panjang, karena macet, dari Kota Gudeg menuju Ibukota. Luar biasa!
Susie Utomo, jurnalis tangguh dari Hong Kong pun bisa tersambung bersama kami, dan memberikan testimoninya tentang Sastra Migran, siang itu. Terima kasih, Jeng Susie; di antara kesibukanmu sebagai panitia even Menghafal Al Quran bersama Rumah Tahfidz HK, ternyata Anda masih bisa meluangkan waktu untuk Bilik Sastra. Bravo!
Jika Lea si jaladara akhirnya tidak datang, hatta, karena superduper sibuk, maka itu adalah soal lain. Namun, semangat dan dedikasi Ida Raihan dan Bayu Insani yang berkolaborasi dengan Evatya Luna, sungguh patut diacungi jempol.
Oya, sehari sebelumnya penulis berhasil mengajak serta Ida Raihan, eks BMI Hong Kong, mengisi acara di stands FaBer/FLp Book Fair: Diskusi Sastra Migran. Acaranya seru juga, ditemani Evatya Luna dan di-MC dengan riangnya oleh Zhizhi Siregar.
Semoga mereka akan semakin terlecut untuk terus berkarya, dan memaknai bahwa untuk menjadi penulis sejati memang dibutuhkan pengorbanan dan proses panjang, tidak seperti makan cabe rawit.
Maka, patutlah pula jika Kabul Budiono mengambil kebijaksanaan untuk terus mengapresiasi karya TKI/BMI di manapun berada. Bravo BMI dan Bilik Sastra! (Pipiet Senja – Depok)
13413130331183839936
Zhizhi Siregar, Evatya Luna dan Ida Raihan usai Diskusi Sastra Migran di Book Fair

Sumber : Kompasiana