About Me

About Me
Writer, Pengelola Rumah Baca Istana Rumbia, Staff redaksi Tabloid Taman Plaza, Admin Yayasan CENDOL Universal Nikko (Koordinator bedah cerpen OCK), perias dan Make-up artist PELANGI Asosiasi Entertainment, Crew Wonosobo Costume Carnival dan Crew 'A' Event Organizer (Multazam Network), pernah bekerja di Hongkong dan Singapura. Cerpenis Terbaik VOI RRI 2011, dan diundang untuk Upacara HUT RI ke 66 di Istana Negara bersama Presiden RI. BMI Teladan yang mengikuti Sidang Paripurna DPR RI 2011 dan menjadi tamu Ketua DPD RI. Dinobatkan sebagai Pahlawan Devisa Penulis Cerpen BNP2TKI Tahun 2011. Pemuda Pelopor Dinas Pendidikan, pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Tengah kategori Seni-Budaya Tahun 2012. Menyukai langit, stasiun kereta, dan warna biru. Salah satu penulis Undangan Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali. Dapat dihubungi via Email FB/YM : Nessa_kartika@yahoo.com.

Sunday, August 19, 2012

[CERPEN LEBARAN] MARALOVA

 
            NAMANYA Bejo. Cowok sembilan belas tahunan itu karyawan toko sepatu di lantai dua Wonosobo Plaza. Entah darimana asalnya. Dia mungkin sadar bahwa ada seorang gadis yang mengaguminya, tapi Bejo tetap kalem. Selain hanya mencuri-curi pandang, Bejo tak melakukan apapun. Tapi justru itulah yang membuat Mara, gadis cantik tujuhbelas tahun ini kelabakan dan hatinya melompat-lompat kegirangan.
            “Bejo tuh…,” bisik Mara sambil menarik Tika, sahabatnya yang diajak pulang ke rumah untuk buka bersama. Mara dan Tika mengintip dari jendela ruang tamu yang berkaca rayband. Mereka melihat cowok itu muncul dari kelokan jalan.
            “Cah edan.”
            “Dia tampan.”
            “Bolehlah… tapi karyawan toko sepatu? Alamak… kayak ga ada yang lain aja.”
            “Kamu aja yang sirik.”
            “Siapa tahu dia udah punya pacar… udah punya istri…”
            Mara memberengut. Ia tak suka pandangan negatif Tika terhadap cowok pujaannya. Apa salahnya jatuh cinta pada cowok penjaga toko sepatu?
            Gadis berjilbab itu bangkit. Ia ingin berpura-pura mengerjakan sesuatu di teras, sehingga Bejo yang masih di kejauhan akan melihatnya nanti kalau lewat depan rumah.
            Tika mengikutinya bangkit. “Lebai,” oloknya.
            Mara tak peduli. Baginya Bejo cukup sempurna. Selain kira-kira seumuran dengannya, Bejo berperawakan tinggi, tampan, putih dengan potongan rambut dan gaya berpakaian yang rapih. Biarpun namanya Bejo tapi penampilannya tak kalah dari Baim Wong.
            Tika tahu awal Mara jatuh cinta pada Bejo, ketika Mara membeli sepatu sekolah saat awal tahun ajaran baru kemarin di toko Bejo. Cinta pada pandangan pertama. Sejak itu Mara nekad memaksa sepupunya yang kebetulan mempunyai toko di Plasa itu juga untuk memberinya pekerjaan. Selama bulan puasa pun Mara bekerja sebagai pramuniaga. Nekad banget!
            Tika, si cantik dengan kecerdasan berada dua tingkat di atas Mara— hanya geleng-geleng kepala melihat sahabatnya sibuk merontokkan daun-daun yang tak bersalah, sembari senyam-senyum ke arah Bejo yang lewat.
            Tika heran karena Mara yang tak pernah menyukai type cowok-cowok teman sekolahnya. Boro-boro teman sekelasnya. Sekarang, Mara mati kutu dihadapkan pada Bejo.
            Mara sama sekali tak tahu bagaimana cara menyatakan cintanya pada cowok itu. Selain tak tahu harus memulai dengan topik apa, Mara juga tak tahu bagaimana Bejo akan menanggapinya.
***
            Sore itu, Mara sengaja mengajak Ibur, sepupunya yang punya distro untuk buka bersama. Sekalian mereka ingin menonton arak-arakan takbiran di kota selepas isya nanti. Distro itu berada di lantai dasar Wonosobo Plaza. Ibur-lah informan bagi Mara. Untuk menyelidiki Bejo.
            “Bejo udah punya pacar atau istri belum sih, Mas?” tanya Mara tanpa tedeng aling-aling.
            “Gak tahu… Jadi kan rencana yang kemarin itu?” Ibur seolah sengaja mengalihkan topik.
Mara merengut menguntir-untir ujung jilbabnya.
            Mara dan Ibur sedang merencanakan acara halal bihalal untuk komunitas, tapi pikiran Mara sudah tidak berada di situ. Dia sedang memikirkan seseorang yang sedang berada di toko sepatu satu tingkat di atasnya. Merasa perjuangannya sebulan ini pedekate ke Bejo dengan menjadi pramuniaga di distro sia-sia.
            Ibur menjentikkan jari di depan muka Mara yang malah melamun. “Mana sempat Bejo mikirin kamu? Dia sibuk, prepegan… Orang jualan sepatu dan sandal baru buat lebaran. Mana sempat mikirin kamu yang dia kenal aja enggak.”
            Mara makin manyun. Selama ini dia berhasil ngobrol sedikit dengan Bejo, tapi bibirnya kelu tiap mau mengungkapkan isi hatinya. Bejo sangat humoris dan ramah, dia memperlakukan Mara sama dengan cara Bejo memperlakukan teman-teman seprofesinya yang lain.
            “Sudahlah… Ayo pikirkan acara kita. Mau ngumpul aja konsumsi bayar sendiri-sendiri, atau gimana? Kita sudah mengirim undangannya lewat sms ke semua orang.” Mara menyerah saat Ibur mengetuk-ngetukkan pen ke buku tulisnya serius.
***
            Anak jalanan berumur duabelas tahunan, yang sedang merokok sendirian di taman plasa itu menarik perhatian Mara. Anak itu tak peduli dengan beberapa orang yang berkerumun dengan kelompok masing-masing untuk ngabuburit di hari terakhir puasa. Pandangan matanya jauh menyiratkan rindu dan sepi.
            Mara tiba-tiba teringat sebuah quote yang pernah dibacanya, Kesepian tidak kenal pilih kasih. Dia memasuki istana maupun gubuk.”
Mara sering melihatnya tiap ada keramaian di kota, namun kabar tentang si Kecil itu simpang-siur. Dia sering melihat anak jalanan di kota lain, bahkan lebih kecil, lebih compang-camping. Namun melihat anak ini seolah ada sembilu yang seolah menusuk ulu hatinya. Jleb!
            “Anak sekecil itu kenapa harus berkeliaran di jalan? Coba dia adikku…”
Mara anak semata wayang yang segala kebutuhannya dicukupi oleh orangtuanya, bahkan dimanjakan. Tahun ini Mara nekad bekerja niatnya pun karena ingin dekat dengan Bejo, bukan murni untuk mencari uang. Uang saku dari orangtuanya jauh lebih banyak dari gaji hariannya di distro. Kini melihat anak yang tidak seberuntung dirinya, Mara merasa tergerak, tapi tidak tahu harus berbuat apa.
            Jalan terlalu sesak. Selain sesak oleh orang-orang pulang dari pasar,  ngabuburit, mencari takjil di sepanjang jalan veteran, juga sesak oleh kendaraan berbagai ukuran yang semrawut. Belum lagi orang-orang seolah sore ini muncul dari berbagai arah, hendak menyaksikan perayaan hari kemenangan. Bertakbir Asma-Nya menyambut Hari raya Idul Fitri.
            Ibur yang menunggunya di depan toko mulai gelisah melihat Mara malah bengong, “Udah belum belanjanya?”
            Mara mengelus-elus gaun gamis berwarna biru berenda dengan hiasan bunga  yang dipasang di sebuah manekin. Saat melihat label harga, ia tahu uangnya cukup. Ibur sudah memberikan gajinya membantu di distro sebulan ini. Mara tadinya berniat menggunakannya untuk membeli busana baru untuk dirinya sendiri berlebaran. Tapi matanya tertuju ke arah anak kecil tadi lagi.
“Aku… ga jadi aja. Aku tiba-tiba ga ingin baju baru,” kata Mara tiba-tiba.
            “Eh… besok udah lebaran lho? Kamu yakin? Nanti apa yang kamu pakai untuk sholat id? Halal bihalal keluarga? Kamu ga mau tampil dengan kostum baru?”
            Mara menggeleng, “nggak. Aku masih punya beberapa baju yang masih bisa dipakai. Tapi… sebelum pulang aku ingin melakukan sesuatu…”
            “Apaan?”
            Mara tak menjawab, ia malah melangkah ke seberang jalan. Menerobos antrian kendaraan di lampu merah. Ibur terheran-heran melihat adik sepupunya langsung menuju taman plaza, ke arah anak yang tidak dikenalnya. Tak tahu bahwa anak itu dari tadi diperhatikan oleh Mara. Dan bertambah heran saat Mara menggandeng anak itu kembali ke toko baju.
***
            “Kamu baik banget. Sebagai kakak sepupu, aku bangga padamu.” Ibur menepuk pundak Mara.
Mara tersenyum. Ia baru saja melepas si Kecil itu kembali ke seberang, karena Mara tak tahu harus mengantarnya kemana. Anak itu lalu menghilang dengan sekantong plastik berisi sesetel baju baru yang dibelikan Mara. Ada kebahagiaan tersendiri yang tidak bisa diungkapkan dalam hatinya. Uang hasil jerih payahnya telah ia sedekahkan.
Mara tak punya kata-kata untuk apa yang dilakukannya, selain kepuasan tersendiri mengingat lagi ekspresi anak kecil tadi yang begitu bahagia saat mencangking baju baru untuk lebaran di tangannya.
Mereka bergegas pulang saat mendengar adzan maghrib berkumandang. Usai sudah hari terakhir puasa Ramadhan tahun ini. Adzan di segala penjuru dalam segera digantikan dengan nyanyian merdu takbir. Gempita. Semesta raya menyambut hari kemenangan. Hari Idhul Fitri. Airmata bahagia Mara meleleh di pipi.
Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar. La ilaha ilallah. Allahu Akbar. Allahu akbar wa lillahil’hamd.
***
            Lebaran hari kedua.
Sore itu semua teman Ibur komunitas pedagang Plaza sudah berkumpul di tempat halal bihalal. Mara sibuk di dapur menata hidangan bersama ibunya. Memang acara diadakan di rumah Mara. Alasan Ibur karena masakan ibu Mara lebih enak dari masakan ibunya, Budhe Erni.
“Rafika Artamara!” Tiba-tiba kepala Tika nongol dari balik kelambu pintu dapur. “Kamu akan kaget melihat siapa yang datang…!” bisiknya.
            Mara menelengkan kepala, dahinya berkerut. Tak mengerti maksud Tika. Sahabatnya itu mengisyaratkan Mara untuk mendekat dan melihat sendiri yang dimaksudnya.
            Saat Mara mengintip ke ruang tamu terlihat Bejo yang baru datang disambut oleh Ibur dan beberapa teman. Wajah Mara tiba-tiba merah padam. “Kenapa dia di sini?”
            Bejo melihat Mara, pandangan mereka bertemu dan cowok itu tersenyum manis. Lutut Mara terasa melemas.
***
            “Jadi kamu lihat?” tanya Mara hampir terpekik.
            Cowok yang terlihat sangat tampan dengan baju koko hitam dan peci itu mengangguk, “kamu tak tahu aku sedang berada di dekat rak baju tepat di depanmu?”
            Mara speechless. Dia tak menyangka Bejo ada di toko baju yang sama, dan melihat kegiatan amal spontan Mara. Bejo mengatakannya ketika mereka punya kesempatan berduaan dengan Mara di samping meja prasmanan yang berjejer berbagai hidangan lebaran lezat.
            “Aku menelpon Ibur untuk meminta saran, ingin punya kesempatan bertemu kamu lagi. Sebelum kamu kembali ke dunia sekolahmu karena seusai lebaran kamu tidak akan bekerja di distro lagi … Aku … Aku tak akan bisa mengamatimu lagi dari toko sepatu.” Bejo menatap Mara lekat. “Ibur menyuruhku datang hari ini. Bahkan memaksaku.”
            Mara hanya terdiam dengan wajah merona mendengar kalimat Bejo yang panjang lebar. Gadis itu menunduk, tak berani membalas pandangan mata Bejo.
            “Kenapa menunggu aku dan… dan anak kecil itu, lalu kamu menghubungi Ibur?”
            “Karena selama ini aku takut. Duniaku dan duniamu berbeda. Aku sudah siap patah hati dan diam saja saat melihatmu di toko baju. Ketika melihat kebaikanmu, aku sangat ingin mengenalmu lebih dekat. Kamu selalu special buatku… aku tahu kamu juga membalas perasaanku. Kamu tak akan mempermasalahkan latar belakangku yang hanya karyawan toko sepatu. Ya’kan?”
            Saat itu, Mara yakin kakinya sudah tidak menginjak bumi. Di bulan fitri, Allah memberi ganti atas apa yang disedekahkannya. Bukan berupa materi, tapi cinta tanpa kasta yang saat ini dalam genggamannya.

*SELESAI*




Nessa dan KELUARGA MENGUCAPKAN :

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1433 H
MINAL AIDIN WAL FAIZIN MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

No comments:

Post a Comment