Aku punya ibu
Seorang
Alergi padaku
Berpuluh tahun
Tak pernah injak kaki
Ke rumahku
Tuhan,
Bagaimana aku tahu
Ia mencintaiku?
Aku punya ibu
Seorang
Alergi padaku
Berpuluh tahun
Tak pernah injak kaki
Ke rumahku
Tuhan,
Bagaimana aku tahu
Ia mencintaiku?
Ketika aku masuk ke ruangan berklambu biru muda dan putih kurasakan deja-vu, bahkan aromanya seperti pernah kuhirup sebelumnya. Melati, bunga kantil, aster, mawar dan beberapa tangkai sedap malam.
Beberapa wanita bergamis hitam dengan jilbab warna gold berlarian, ah tidak... Bukan berlari, mereka hanya berusaha bergerak secepat mungkin.
Di tangan mereka bergantian barang yang dipegang, bedak, kuas, kain, kebaya, bunga, box-box entah berisi apa, jepit, bahkan kepala!
Tak semengerikan kedengarannya. Mereka hanya make up artist yang sedang menggarap klien-nya.
Aku duduk di sisi paling luar dekat jendela, sejauh mungkin dari mereka, berusaha duduk diam dan tidak mengganggu. Invisible. Bertahan disini supaya gampang dicari.
"Rokok, mas?"
Aku menoleh, seorang pria paruh baya, sepertinya si tukang foto, mengangsurkan sekotak rokok kretek. Kebetulan aku meninggalkan rokokku di saku tas.
"Minta satu ya, Pak." Pria itu mengangguk.
Aku menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya pelan. Entah mengapa ketika kuhembuskan asapnya keluar, aku merasa penat di otakku serta beban di pundakku berkurang.
Aku masih memandang havoc di ruangan. Rumah ini di hari biasa begitu lapang, lega dan rapi. Hari ini tampak semrawut, acak- acakan dan tak karuan.
Manusia berjubel dan berseliweran. Ada yang kukenal, ada yang sama sekali asing bagiku. Banyak.
Pintu kamar tidur Na masih tertutup rapat. Aku bahkan belum bicara sepatah katapun pada Na sejak semalam aku datang. Hanya beberapa pesan di telepon genggam dari Na mengingatkan beberapa hal detil.
Jas. Cek.
Kemeja. Cek.
Dasi. Cek.
Pomade. (Pomade?!) Cek.
Sepatu. Cek.
Cincin. Cek.
Amplop untuk penghulu..., Aku meraba kantong kemejaku. Cek.
"Mas, ini minumnya, disambi dulu," seorang sinoman berbaju batik dan berpeci membawakan teh manis untukku.
"Makasih, ..." aku lupa nama bapak ini dan apa hubungannya dengan Na.
Laki-laki itu bahkan tak peduli terima kasihku, langsung pergi begitu saja. Positive thinking mungkin pikiran mereka banyak. Tak fokus. Mungkin tamu sudah berdatangan. Tamuku? Tamu Na? Aku sudah tak dapat membedakan muka orang.
Aku menyesap teh itu. Lalu pandanganku kembali mengikuti kesibukan asisten perias. Aku tak mengerti ... padahal aku dan Na yang menikah, tapi yang dirias, yang sibuk, yang repot orang sebanyak ini.
Aku suka pada keramaian, aku menikmati pesta, aku bahagia melihat orang lain bahagia, terutama Na. Itu sebabnya aku menuruti apa kata Na.
Itu sebabnya aku masih duduk di sini. Bersiap-siap.
(NK 7102017)
Aku bergerak di pusaran waktu
Tanpa nada
Cukup decak cicak dan kerik jangkrik sebagai penanda
Senja hampir tiba
Hari akan berganti
Dan hatiku masih sama
Tak terganti maknamu disini
Tak berarti usahaku melupakan
Waktu demi waktu telah kita lalui
Kamu, jahanam
Menyiksaku dalam rindu tak berkesudahan
Sepertinya bisa
Kulukis langit mahabagus dengan warna warni rindu berkilauan
Supaya sepi tak kentara
Pupus demi pupus hati tak berasa
Sepertinya bisa
Kuuntai nada demi nada serupa kerik jangkrik pada malam musim kemarau
Memadati malam yang sendirian
Menyanyikan kidung tentang pertemuan
Sepertinya bisa
Kemarau tak menggodaku dengan bintang-bintang bertaburan
Berkelip kilau beramai
Bukannya dingin yang kurasakan
Sepertinya bisa
: Dengan seuntai puisi tentang sepi, sebaris kata dan kenangan tak berantah
@ Gunung Beser, 992017
Di sisi lembah hitam
Ada ingatan melayang
Terangkai kata demi kata
Laksana puisi tak sampai
Terbawa hinga tepi pantai
Bukan hanya manis
Melayang kelu
Terbawa langit
Beku
Rindu
Bulan di langit
Bulan di laut
Bulan di hatiku
Rindu tanpa temu
Sekelam lembah di sekelilingku
#Jepara, 25 Agt 2017