About Me

About Me
Writer, Pengelola Rumah Baca Istana Rumbia, Staff redaksi Tabloid Taman Plaza, Admin Yayasan CENDOL Universal Nikko (Koordinator bedah cerpen OCK), perias dan Make-up artist PELANGI Asosiasi Entertainment, Crew Wonosobo Costume Carnival dan Crew 'A' Event Organizer (Multazam Network), pernah bekerja di Hongkong dan Singapura. Cerpenis Terbaik VOI RRI 2011, dan diundang untuk Upacara HUT RI ke 66 di Istana Negara bersama Presiden RI. BMI Teladan yang mengikuti Sidang Paripurna DPR RI 2011 dan menjadi tamu Ketua DPD RI. Dinobatkan sebagai Pahlawan Devisa Penulis Cerpen BNP2TKI Tahun 2011. Pemuda Pelopor Dinas Pendidikan, pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Tengah kategori Seni-Budaya Tahun 2012. Menyukai langit, stasiun kereta, dan warna biru. Salah satu penulis Undangan Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali. Dapat dihubungi via Email FB/YM : Nessa_kartika@yahoo.com.

Friday, April 27, 2012

[CERPEN] MENDAKI LANGIT


(Pernah dimuat di STORY Magazine edisi 33. Non-edited version) 

 

 

 

Jack mengenali Aira dalam sekali pandang. Gadis itu datang bersama kira-kira tujuh pendaki lain, terlihat bersinar, penuh semangat, ceria, natural  membuat siapapun jatuh hati. Tak terkecuali Jack. Aira adalah teman sekolah Cody, adik Jack.
Aira sering mampir kerumah Cody karena rumah pamannya, Pak Abi, hanya beda beberapa blok dari rumah Jack dan Cody. Namun begitu, Aira sama sekali tak mengenalinya sebagai kakak Cody karena mereka tak pernah bertemu muka di rumah Cody. Kadang berpapasan saja, kadang bertemu di warung mie ayam pak Ucup. Tapi Jack tak mau dikira SKSD kalau tiba-tiba menyapa Aira, jadi ia diam saja. Lagipula, hubungan Cody dan Aira begitu dekat sampai Jack pikir mereka pacaran.
            Sampai saat Jack melihat Aira menggandeng cowok lain dengan mesra lewat di depan tokonya. Saat itu Jack tau dia cemburu. Entah kapan dimulainya keberadaan Aira telah menumbuhkan rasa ingin tau di hatinya yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi rindu dan cinta. Ironisnya, Aira bahkan tak pernah mengenalnya. Bahkan saat ini.
            Tenda grup Aira dengan tendanya hanya berjarak sekitar duapuluh meter. Aira berdiri di sana, bersenda gurau penuh kehidupan. Sementara Jack duduk, asyik mendentingkan gitarnya sambil memandangi Aira terang-terangan. Beberapa kali Aira jadi salah tingkah karena ulahnya. Tapi Jack cuek, bahkan ia sengaja meninggikan suaranya, menyanyikan lagunya Dewa

Kau boleh acuhkan diriku, menganggapku tak ada
Tapi tak kan merubah perasaanku kepadamu
Yakin pasti suatu saat semua kan terjadi
Kau kan mencintaiku dan tak akan pernah melepasku
Aku mau mendampingi dirimu
Aku mau cintai kekuranganmu
Selalu bersedia bahagiakanmu
Apapun terjadi kujanjikan aku ada
Kau boleh jauhi diriku Namun kupercaya
Kau kan mencintaiku dan tak akan pernah melepasku
Aku yang rela melepas untukmu selalu...
 ...Aku ada...

Jam sepuluh malam. Semua sibuk berbenah untuk memulai pendakian. Ada semangat yang aneh menjalar saat merasakan udara dingin Sindoro menguasai seluruh indra, menumbuhkan kekuatan untuk sebuah penaklukan. Entah sudah ke berapa puluh kali Jack mendaki gunung ini, namun perasaan cintanya pada gunung yang dihadapinya selalu bertambah tak pernah berkurang. Meski kondisi Jack tak se-fit dulu. Akhir-akhir ini nafasnya tak sepanjang dulu, padahal ia tak punya penyakit asma, merokok pun tak pernah.
            Ibar, rekan pendakinya mengemas tenda lipat mereka, Jack mematikan sisa-sisa api.
            "Huk..huk...huk..." Jack terbatuk.
            "Jack kamu oke? akhir-akhir ini batukmu jadi tambah sering ya?"
            "Aku OK." kata Jack singkat, padahal dadnya merasa sesak. Batuk mulai menghebat namun pandangan matanya tertuju pada grup Aira yang sedang berdoa dalam lingkaran hening, lalu bubar, memulai pendakian.
            Beberapa orang melambai pada Jack dan Ibar, "Hai, Bar... kita jalan duluan ya...?" teriak salah seorang di antara mereka. Jack mengenalinya sebagai cowok yang digandeng Aira waktu itu.
            "OK." sahut Ibar.
            Jack menyenggolnya, "Kamu mengenal mereka?"
            "Itu anak-anak Garuda Wana. Yang barusan si Tony, temanku juga..."
            Jack mencatat dalam otaknya.
            "Ketemu di puncak ya, Mas Ibar..." pamit Aira, melambai dan tersenyum ceria pada Ibar.
            Ibar balik melambai, "OK, sayang..."
          Jack merasa panas di dadanya, cemburu, tak menyangka Aira mengenal Ibar. .. lalu mengapa Aira tak mengenalinya?
            "Gimana kalau ketemu di rumah Pak Abi saja?" kata Jack.
            Aira yang hampir melangkah berbalik, "Hei... kamu kenal aku?" tanyanya heran.
            Jack tersenyum, "Kamu bener keponakannya pak Abi kan?"
            Aira mengangguk, "Kamu siapa? Aku jarang melihatmu dengan grup Mas Ibar."
            "Kamu teman adikku 'kan?"
            Aira mengernyitkan alis, "siapa adikmu ?"
            "Cody."
            Aira melongo, "Oooh... jadi kamu kakaknya Cody? ehm..." Aira berpikir, "Kamu Jack kan?"
            Jack mengangguk, well paling tidak Aira tau namanya.
            "Aku Aira."
            "Aku tau..."
            Aira tersenyum, " maaf ya, aku tak mengenalimu. Tapi senang bertemu denganmu. Cody sering cerita tentang kamu," Aira mendekat.
            Jack mengulurkan tangan, Aira menjabatnya.
            "Cody cerita yang aneh-aneh?"
            Aira tertawa renyah, "Nggak lah... dia cerita tentang kakaknya yang gila petualangan, seperti aku hehehe..." Aira cengengesan, "... dan dia bilang..." Aira berhenti.
            "Apa?"
            "Kalau kita bertemu..."
            "Ya, kita sudah bertemu..."
            "Hmmm..." Aira tersenyum nakal, "Bukan hal yang penting," katanya lalu melangkah pergi.
            Jack menangkap lengannya, "Jangan membuatku penasaran..."
            Aira tersenyum malu, Jack memuji rona merah jambu yang terkilas di pipi Aira, manis.
            "Dia bilang... Kalau kita bertemu, Kita akan jatuh cinta satu sama lain..."
            Aira meninggalkan Jack masih tertegun di sana. Jack tak menyangka Cody akan mangatakan hal seperti itu tentang dia dan Aira. Jack curiga Cody tau Jack jatuh cinta pada Aira sejak lama. Jack memaki, "Dasar si bodoh Cody... Jelas-jelas Aira berpacaran dengan Tony..." tapi mereka masih pacaran... belum menikah. Sebelum janur kuning melengkung, Jack punya kesempatan besar untuk membuat hubungannya dengan Aira lebih dekat. Jack tak usah lagi jadi pengintai seperti selama ini.
            Jack sudah memutuskan.
***
            1500 dpl. Aira  di sana. Di antara ilalang. Berlatarbelakang kegelapan perkebunan teh yang seolah tak terbatas luasnya. Di bawah langit yang mahakelam hanya dengan satu sabit. Aira begitu kokoh, bahkan di tengah alam yang hanya menawarkan dingin, Sosok Aira begitu indah menghangati hati Jack.
            "Hai, Jack!! Mas Ibar!!!" Aira melambai, "Sini!!" Aira mengacungkan jagung bakar dari depan api unggun pos III.
            Ibar mendorong Jack, "Pergilah mengikuti kata hatimu..."
            "Apa?"
"Aku selama ini curiga kamu sedang jatuh cinta. Kini aku melihatnya. Bidadari di tengah belantara..." Ibar,  tertawa, "Aku mengenalnya sejak lama tapi tak tau kamu mengenalnya juga, tak terpikir kamu jatuh cinta padanya..."
            "Asal ngomong aja kamu..."
            "Eh? jangan anggap remeh Oom Ibar, gitu loh... kalau tau..."
            Jack meninju bahu Ibar, "Hei, kamu ngomong apa? kamu buta ya? dia kan pacaran ama Tony..."
            Ibar menoleh sebentar lalu hanya mengedikan bahu. "Terserah kamu ... Kamu berhak memutuskan apa yang akan kamu lakukan," Ibar menurunkan ranselnya, "Tapi aku kasih tau ya... Mereka belum jadian. Eva masih bebas, percaya deh..." Ibar mengeluarkan rokoknya. "Rokok?" tawarnya.
            Jack menggeleng, "Berusahalah untuk menghargai hidupmu sendiri dengan berhenti merokok, Ibar..."
            Ibar tertawa, "Life is free, Jack. lagipula, aku nggak gampang mati, nggak bakal mati karena rokok."
            Jack mencibir.
            Ringtone Love will keep us alive-nya Scorpion mengalun dari handphone Ibar yang segera mengangkatnya. Takjub dengan ketinggian ini masih ada sinyal, dahi Jack berkerut. Sebentar kemudian ia kembali gamang. Banyak hal berputar-putar di otaknya. Life is free... love will keep us alive. Jack bangkit, tak menyukai kenyataan bahwa ia akan terus hanya menjadi pemuja bila ia tidak pernah berusaha meraih Aira, apapun resikonya. Love, itulah kuncinya. "Bar, aku nyamperin Aira ya...?" pamitnya.
            Ibar tersenyum, "OK. nanti aku nyusul..."

            Jack menghampiri Aira yang sedang asyik pesta jagung bakar dengan teman-temannya.
            "Hai, masih ada jagungnya?" tanya Jack.
            Aira tersenyum lebar, menggeser pantatnya, memberi ruang untuk Jack duduk di sebelahnya. "Sini...!!"
            Jack melihat di seputar mereka ada banyak tempat, Aira sengaja agar Jack duduk di sebelahnya. Jack menurutinya, mengambil jagung muda mentah yang tersedia di situ dan segera membakarnya. Mereka bercakap-cakap, mengkonfirmasi banyak hal. Yang membuat Jack takjub adalah kenyataan bahwa Aira belum pernah mengenal Jack sebelumnya meski beberapa tahun ini dekat dengan Cody.
Jack benar-benar kecewa. Lebih dari dua tahun Jack mengenal Aira, mengamatinya, menarik perhatiannya dan sudah jatuh cinta padanya namun ternyata, Aira sama sekali tak menyadari keberadaannya. Namun Jack menyadari kesalahannya, tak mungkin Aira menangkap sinyalnya bila Jack tak menuntunnya ke alamat yang benar. Maksudnya, tak mungkin Aira memahaminya bila gadis cantik ini bahkan tak mengenalinya. Maka dari itu, kini adalah kesempatan untuk membuat Aira mengenalnya lebih dekat dan membuat Aira jatuh cinta padanya.
*** 
Cody benar, begitu mudah untuk jatuh cinta pada seorang Jack. Aira memandangi langit yang menampilkan semburat warna pertama pagi itu. Menghela nafas. Menghirup pagi.
            "Menyesal sudah mengakhiri pendakian?" suara Jack menyadarkannya.
            Aira tersenyum pada Jack yang sedang membongkar ranselnya, mendirikan dome. "Setelah mencapai puncak, kadang aku merasa bodoh... apa yang kucari disini?"
            Jack tertawa, "Itulah penaklukan... kadang kita tak tau apa yang akan kita perlakukan pada sang korban... " Jack melirik, "... Setelah puas."
            Aira tak menganggap Jack mempunyai pikiran kotor, " Kita tak bisa melanjutkan maju karena itu artinya kita harus punya kemampuan untuk mendaki langit." sahut Aira.
            "Bagaimana kalau dibawa pulang?" tanya Jack, mambuat tawa Aira meledak.
"Ada-ada aja..." Aira tertawa sampai ia menyadari teman-teman yang lain tak ada, yang ada hanya dia dan Jack. Jack yang luar biasa.
Semalaman ia berusaha melindungi langkah Aira tanpa membuat Aira merasa dibuntuti. Saat Aira menggigil, Jack sigap menghangatkannya dengan canda dan secangkir coffemix-nya. Saat Aira tergelincir, tangan Jack-lah yang menangkapnya. Saat Aira lelah, di pundak Jack-lah ia beristirahat. Hingga entah mulai dari mana, mereka berjalan berdua, memisahkan diri dari grup mereka tanpa sengaja. Mencapai puncak Sindoro berdua, tepat saat sinar pertama matahari pagi itu menyinari langit, menunjukkan hari baru.
            Aira merasakan aliran rasa percaya yang deras menghangati hatinya. Berbeda dengan yang diberikan oleh Tony selama ini. Aira tak pernah mampu memaksa dirinya menerima cinta Tony. Bukan karena ia tak menyukai Tony, namun karena ada satu ruang dihatinya menunggu. Menunggu kehadiran seorang seperti Jack.
            Jack begitu berbeda. Meski baru bertemu, Aira mempercayainya dan ini bukan satu kenaifan. Aira tahu apa yang dirasakannya.
            Ctek!!
            Suara patahan kayu mengagetkan Aira .
            "Puas melototin aku?" tanya Jack.
            Aira merenges. "Gantian, di bawah, kemarin kamu melototin aku juga..."
            Jack tersenyum, masih sibuk membuat api.
            "Jack..."
            "Ya?"
            "Kalo orang lihat kita sekarang, mereka pikir kita pasangan bulan madu."
            Jack berdehem, "Bulan madu di atas gunung? yang bener aja... kalo aku merit, aku berikan yang lebih baik..."
            "Aku mungkin lebih suka begini dari hal apapun... "
            "Benarkah?"
            "Ya. Karena hatiku menyukai hal ini, menyukai suasana ini..."
            "Kamu ngomong kayak kamu merencanakan untuk merit ma aku aja..."
            Aira tersenyum, "Ayo, mainkan gitarmu lagi... " cetusnya.
            Jack mulai mendentingkan gitarnya, Aira yang bernyanyi. Mereka terus bernyanyi sambil saling menatap sampai suara-suara dari tebing memberitahukan kedatangan teman-teman mereka.

***

"Hallo, Oom Jack..." Suara Hezel, anak laki-laki Ibar mengagetkannya. Ibar datang dengan putranya yang berusia tiga tahun.
            "Hallo, Hezel... kamu tampan sekali pakai kacamata hitam..." komentar Jack.
            "Kamu kelihatan lebih segar," kata Ibar.
            Jack mengamati dirinya sendiri, terbaring di ranjang rumah sakit, lemah dan tidak sempurna. "Trims, tapi aku tahu aku kelihatan sebaliknya."
            Ibar menepuk lengannya, "Hei... Kamu kan besok udah boleh pulang... jangan manyun..." Ibar tersenyum, "atau kamu betah di sini ditemenin suster-suster cantik?"
"Sialan... nggak lah... yaw. " Sebulan opname karena Pneumonia adalah mimpi buruk bagi Jack dan keluarganya.
"Sory, aku cuma bercanda."
Jack mengerti. Ia benar-benar berterima kasih pada Ibar karena telah menghiburnya, menjadi teman dan saudara laki-laki yang baik selama ini. Juga yang paling setia menjaga rahasianya.
"Jack, kamu Ok?"
Jack mengangguk, "Ya. Eh, ada kabar apa dari luar sana?" tanyanya pelan.
"Biasa... salam dari anak-anak dan ... kemaren Aira nyariin kamu lagi."
Jack membuang pandangannya keluar jendela yang tak menyediakan apa-apa untuk matanya, hanya langit kosong seluas-luasnya. "Jangan katakan dimana aku."
Ibar memainkan rambut putranya yang berbaring di sisi Jack dengan nyamannya, "Kamu yakin nggak mau Aira tahu? Kalau memang Aira mencintaimu dia nggak mungkin membiarkanmu kesepian bergulat sendiri melawan penyakitmu."
"Aku sanggup, Bar... Jangan khawatir." Jack menyela.
Ibar menatap Jack panjang sebelum berkata mantap, "Aku tak akan bilang."
"Terima kasih, Bro... "
Ibar mengamati ekspresi Jack, ada sesuatu di sana, ada rahasia di mata itu.
***
           Jack merasa geli saat merasakan seseorang menggelitik punggungnya. Ia tertidur dengan posisi telungkup di kios-nya. Jack menangkap tangan usil itu dan kaget merasakan texture-nya, tangan cewek. Jack membalikkan badan.
Aira di sana lengkap dengan seragam SMU-nya yang membuatnya terlihat muda, tersenyum ceria, "Hai... " sapanya.
Sejak pendakian pertama itu Aira dan Jack memang sering bertemu. Kadang di toko, di rumah, sekolah Aira atau  di pendakian-pendakian lain.
Jack melepaskan tangan Aira, gugup.
            "Sebulan nggak jualan, kemana aja?"
Jack bangkit, "ada deh... "
"Mas Ibar bilang kamu nyari barang dagangan ke Bandung ya? Ada oleh-oleh apa aja dari Bandung?"
Bandung? Jack berpikir cepat, Jadi itu alasan yang diberikan Ibar pada Aira? Jack akan mengikutinya."Sebenarnya niatku nyari barang dagangan, tapi ketemu teman ... jadinya aku cuma dolan aja."
"Oh, gitu." Aira menodongkan kedua tangannya. "Oleh-oleh...?"
Jack tertawa, "Aku nggak beli oleh-oleh."
Aira mencibir, "Payah... Pergi nggak bilang-bilang, pulang nggak bawa oleh-oleh..." katanya merajuk.
"Kangen ya?" tembak Jack.
Wajah Aira bersemu merah, "ngggggaaaakkk..." kilahnya.
"Oke... oke... Aku traktir makan aja, mau?"
"Mau...!"
"Mau makan apa?"
"Hari ini aku mau makan soto."
"Oke... tumben? ngidam ya?"
            Aira tertawa renyah, "Nggak lah yaw..." katanya sambil membuntuti Jack yang berjalan keluar dari toko. Mereka berjalan beriringan menuju ke Warung Remaja 16 yang terletak di kompleks Penjara. Meski bukan soto terenak bagi Aira, namun moment bersama Jack adalah terindah baginya.
Usai makan, mereka duduk di alun-alun kota mengamati lalu lalang kendaraan, pertandingan sepakbola di sana membuat susana ramai. Namun baik Aira maupun Jack tak tertarik dengan sepakbola. Dunia mereka adalah gunung, pantai... alam. Mereka asyik bertukar cerita tentang segala hal yang pernah mereka alami.
"Ra..."
"Ya."
"Apa cita-citamu yang sebenarnya?"
Aira tersenyum manis, "jadi penulis."
"Penulis?"
Aira mengangguk."Ya. Aku suka bepergian... naik gunung, naik bis ke tempat jauh... mungkin kelak ke luar negeri... dan semua pengalamanku akan kutulis."
Jack merasa tertarik. "Sekarang?"
"Sekarang aku hanya mengandalkan imajinasiku menulis fiksi saja, kelak... aku akan menuliskan kenyataan."
Jack bertepuk tangan. "Hebat!"
"Kamu kan udah kemana-mana... Gunung-gunung di jawa dan luar jawa udah kamu satroni. Pasti bagus kalo bisa jadi tulisan."
"Haha... aku tak bisa menulis."
"Puisi?"
"No."
"Surat cinta?"
"Nehi."
"Payah..."
"Emangnya gua pikirin..." Jack tertawa lebar, "Menulis itu tugas anak sekolah seperti kamu. Aku udah tua, sebentar lagi mati, jadi hidupku untuk main-main saja."
"Kata siapa?!" pekik Aira was-was.
"Kataku."
"Payah! Nakut-nakutin orang saja."
Mereka tertawa bersama. Aira hendak meninju bahu Jack, namun Jack berkelit, membuatnya kebablasan dan tergatuh di pelukan Jack.
Waktu seakan berhenti berputar. Yang ada di seputar mereka adalah keajaiban sehingga sulit bagi indra untuk memahami apa yang terhampar di sana. Mata bertemu mata, hati bertemu hati, cinta ...
Aira ingin menarik diri, namun ada ikatan di hatinya menyatukan mereka dengan benang merah yang tak kasat mata. Ikatan masa lalu, ikatan masa depan, ikatan keabadian.
 Ikatan cinta.

Jack iba-tiba teringat akan kondisi kesehatannya. Ia buru-buru melepaskan Aira. Ia tak sempurna untuk Aira. Aira hanyalah gadis SMU yang belia, ia akan mendapatkan cinta lain yang lebih tepat. Jack mengharamkan dirinya mencintai Aira.
            Aira terkejut dengan perubahan sikap Jack yang tiba-tiba. Namun malu untuk menanyakan kenapa.
            "Kelak kalau kamu jadi penulis, apakah kau akan menulis tentang aku?" tanya Jack.
Nada dingin pada suara Jack membuat Aira tanpa sadar menitikkan airmata. " Ya. Aku akan menuliskan tentangmu. Aku janji."
Jack tak berkata apa-apa. Bangkit berdiri lalu memberi isyarat pada Aira untuk pergi dari situ.
***
            Aira merasa yakin Jack mencintainya juga, namun sikap Jack dirasanya semakin menjauh dan menghindar. Beberapa hari terakhir malah Jack seolah sengaja memancing pertengkaran dengan Aira. Aira benar-benar tak mengerti. Hingga suatu ketika sepulang sekolah ia shock, toko Jack digunakan oleh orang lain.
"Jack mana, Mbak?" tanya Aira pada wanita yang menjual tanaman hias di toko Jack. Barang-barang dagangan Jack sudah tak ada.
"Yang dulu jualan di sini ya, Mbak? saya juga nggak tahu." jawab Mbak Pemilik toko.
Aira gelisah. Ia hanya bisa menangis. Ia merindukan Jack.
***
            Jack sebenarnya ingin bahagia. Aira mencintainya. Namun kenyataan pahit yang harus dihadapinya membuatnya melepaskan Aira. Hasil tes menunjukkan membalik kebahagiaan menjadi mimpi buruk. Paru-parunya hanya berfungsi 55% saja. Batuk berkepanjangan yang dideritanya bukan karena Pneumonia yang disebabkan karena hoby-nya naik gunung dan lain-lain, tapi kanker.
Kanker Paru-paru.
Jack tak percaya, bagaimana mungkin? Ia bahkan bukan seorang perokok. Jack baru duapuluh tiga tahun, tokonya berkembang pesat dan mampu diandalkan untuk masa depan, ia juga nyaris punya Aira. Mungkin lima tahun lagi ia bisa memperistri Aira, namun... sekarang ia tak yakin ia bisa hidup hingga tahun depan. Tidak juga esok.
            Sudah dua minggu ia kembali ke rumah sakit dan kondisinya terus menurun drastis. Jack tak mengerti, tapi juga tak ingin mencari tahu. Mungkin sudah takdir dari Tuhan. Aira hanyalah bidadari yang menjadi alasan hidupnya selama dalam perjalanannya mengejar gadis itu. Sekarang setelah tahu bahwa Aira mencintainya, hatinya merasa puas dan raganya ingin pergi secepatnya. Tanpa mengeluh sedikitpun pada Tuhan, Jack hanya ingin Aira hidup bahagia tanpanya. Ia bukan untuk Aira.
            Sebuah suara ketukan di pintu memotong lamunan Jack.
"Hai, Jack."
Jack  menoleh, "Tony..." masker oksigen di mulutnya mengeluarkan uap dan embun, pertanda panas tubuhnya yang demam. Nafasnya berat, namun Jack mendorong masker itu ke samping.
Tony duduk di sebelah ranjang Jack. Mereka saling terdiam, saling menilai. Jack tak tahu kedatangan Tony adalah sebagai teman atau sebagai musuh. Namun kedatangan Tony yang mungkin setelah mengancam Ibar, satu-satunya orang yang tahu keberadaan Jack, menegaskan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Meskipun kemenangan tak ada sama-sekali di wajah Tony.
            "Aira sakit, Jack... ia merindukanmu." kata Tony, kepedihan membuncah di udara, "kamu masih tak mau mengatakan hal yang sebenarnya pada Aira?" Tony sebenarnya merasa bodoh mengatakannya, karena pria di hadapannya pun terbaring sakit tanpa ada harapan hidup. Hanya mata yang menyala penuh dengan keinginan-keinginan, namun jasad mengkhianatinya.
Jack tersenyum, "Aku hanya ingin semua berakhir seperti sebelum semua ini berawal."
Tony menghela nafas, "Aku tak merasa senang dengan semua ini."
"Bukankah kau mencintai Aira?"
"Sejak awal aku sudah mengerti bahwa ada satu bagian hati Aira menunggu kedatanganmu, Jack!"
Jack meraih tangan Tony, Tony menangkupnya. "Tapi aku sudah akan pergi."
Hening lagi, hanya suara nafas patah-patah Jack yang berdesah di selang oksigen yang terdengar.
            Tony merasa semua akan lebih mudah jika Jack tak sakit, lebih mudah merebut kembali hati Aira jika semua normal namun Tony tahu, semua tak mungkin.
            Kembali ke awalnya, Jack tahu, keadaan sudah berubah, andai ia pergi, ia akan pergi dengan patah hati. bukan patah hati karena cinta yang tak sampai, tapi patah hati karena cinta yang tak akan bisa dipeliharanya. Cinta yang ditinggalkannya. Patah hati karena telah membuat Aira patah hati.
            Jack menatap langit-langit ruang perawatan, "... Aira berjanji akan menulis tentang aku jika ia sukses jadi penulis kelak." katanya.
Airmata bergulir di pipi Tony. Jack mengangkat tangannya, Tony menjabatnya dan mereka bersalam rimba.
***
            Aira mematung terengah-engah di pintu. Tony muncul di belakangnya. Cody menyambutnya, "Aira..."
"Mana Jack?"
Cody menunduk.
"Mana Jack???!!!" pekik Aira tertahan.
Cody melangkah ke samping. Di ranjang sebujur tubuh kaku tertutup dengan kain. Di samping tubuh itu ada Ibar, dua orang suster, seorang dokter dan sepasang pria dan wanita paruh baya. Orangtua Jack dan Cody.
            Aira melangkah lambat ke ujung kepala ranjang, disingkapnya kain penutup. Dan wajah Jack di sana. Kaku, biru... dengan sebuah senyum di bibirnya, namun setetes manik airmata di sudut matanya yang tertutup. Untuk selamanya.
            Aira tak bisa menangis, ia malah tertawa, "Jack... kamu bercanda, kan? Bangun Jack... akhirnya aku menemukanmu... Jack... Bangun...." Aira terus mengulang-ulang kata-kata itu sampai Ibunda Jack meraihnya dalam pelukan dan pecahlah tangis Aira.
            "Jack sudah pergi, Aira... dengan senyum di bibirnya." bisik Ibunda Jack."Jangan kau tangisi, kita relakan dia supaya bebas berkelana, mendaki langit, seperti keinginannya ya?"
            Aira menahan isaknya. Tiba-tiba ia malu, Ibunda Jack saja mampu menahan tangis, kenapa ia tak bisa? Meski airmata masih berderai Aira mengangguk tanpa kata.
            “Jack… Tunggu aku di puncak.” Bisik hatinya.
 [NK]

No comments:

Post a Comment