(Pernah dimuat di STORY Magazine edisi 33. Non-edited version)
Jack
mengenali Aira dalam sekali pandang. Gadis itu datang bersama kira-kira tujuh
pendaki lain, terlihat bersinar, penuh semangat, ceria, natural membuat
siapapun jatuh hati. Tak terkecuali Jack. Aira adalah teman sekolah Cody, adik
Jack.
Aira
sering mampir kerumah Cody karena rumah pamannya, Pak Abi, hanya beda beberapa
blok dari rumah Jack dan Cody. Namun begitu, Aira sama sekali tak mengenalinya
sebagai kakak Cody karena mereka tak pernah bertemu muka di rumah Cody. Kadang
berpapasan saja, kadang bertemu di warung mie ayam pak Ucup. Tapi Jack tak mau
dikira SKSD kalau tiba-tiba menyapa Aira, jadi ia diam saja. Lagipula, hubungan
Cody dan Aira begitu dekat sampai Jack pikir mereka pacaran.
Sampai saat Jack melihat Aira
menggandeng cowok lain dengan mesra lewat di depan tokonya. Saat itu Jack tau
dia cemburu. Entah kapan dimulainya keberadaan Aira telah menumbuhkan rasa
ingin tau di hatinya yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi rindu dan
cinta. Ironisnya, Aira bahkan tak pernah mengenalnya. Bahkan saat ini.
Tenda grup Aira dengan tendanya hanya
berjarak sekitar duapuluh meter. Aira berdiri di sana, bersenda gurau penuh kehidupan.
Sementara Jack duduk, asyik mendentingkan gitarnya sambil memandangi Aira
terang-terangan. Beberapa kali Aira jadi salah tingkah karena ulahnya. Tapi
Jack cuek, bahkan ia sengaja meninggikan suaranya, menyanyikan lagunya Dewa
Kau boleh acuhkan diriku, menganggapku tak ada
Tapi tak kan
merubah perasaanku kepadamu
Yakin pasti suatu saat semua kan
terjadi
Kau kan
mencintaiku dan tak akan pernah melepasku
Aku mau mendampingi dirimu
Aku mau cintai kekuranganmu
Selalu bersedia bahagiakanmu
Apapun terjadi kujanjikan aku ada
Kau boleh jauhi diriku Namun kupercaya
Kau kan
mencintaiku dan tak akan pernah melepasku
Aku yang rela melepas untukmu selalu...
...Aku ada...
Jam
sepuluh malam. Semua sibuk berbenah untuk memulai pendakian. Ada semangat yang aneh menjalar saat
merasakan udara dingin Sindoro menguasai seluruh indra, menumbuhkan kekuatan
untuk sebuah penaklukan. Entah sudah ke berapa puluh kali Jack mendaki gunung
ini, namun perasaan cintanya pada gunung yang dihadapinya selalu bertambah tak
pernah berkurang. Meski kondisi Jack tak se-fit dulu. Akhir-akhir ini
nafasnya tak sepanjang dulu, padahal ia tak punya penyakit asma, merokok pun
tak pernah.
Ibar, rekan pendakinya mengemas tenda
lipat mereka, Jack mematikan sisa-sisa api.
"Huk..huk...huk..." Jack
terbatuk.
"Jack kamu oke? akhir-akhir ini
batukmu jadi tambah sering ya?"
"Aku OK." kata Jack
singkat, padahal dadnya merasa sesak. Batuk mulai menghebat namun pandangan
matanya tertuju pada grup Aira yang sedang berdoa dalam lingkaran hening, lalu
bubar, memulai pendakian.
Beberapa orang melambai pada Jack dan
Ibar, "Hai, Bar... kita jalan duluan ya...?" teriak salah seorang di
antara mereka. Jack mengenalinya sebagai cowok yang digandeng Aira waktu itu.
"OK." sahut Ibar.
Jack menyenggolnya, "Kamu
mengenal mereka?"
"Itu anak-anak Garuda Wana. Yang
barusan si Tony, temanku juga..."
Jack mencatat dalam otaknya.
"Ketemu di puncak ya, Mas
Ibar..." pamit Aira, melambai dan tersenyum ceria pada Ibar.
Ibar balik melambai, "OK,
sayang..."
Jack merasa panas di dadanya, cemburu,
tak menyangka Aira mengenal Ibar. .. lalu mengapa Aira tak mengenalinya?
"Gimana kalau ketemu di rumah
Pak Abi saja?" kata Jack.
Aira yang hampir melangkah berbalik,
"Hei... kamu kenal aku?" tanyanya heran.
Jack tersenyum, "Kamu bener
keponakannya pak Abi kan?"
Aira mengangguk, "Kamu siapa?
Aku jarang melihatmu dengan grup Mas Ibar."
"Kamu teman adikku 'kan?"
Aira mengernyitkan alis, "siapa
adikmu ?"
"Cody."
Aira melongo, "Oooh... jadi kamu
kakaknya Cody? ehm..." Aira berpikir, "Kamu Jack kan?"
Jack mengangguk, well paling tidak
Aira tau namanya.
"Aku Aira."
"Aku tau..."
Aira tersenyum, " maaf ya, aku
tak mengenalimu. Tapi senang bertemu denganmu. Cody sering cerita tentang
kamu," Aira mendekat.
Jack mengulurkan tangan, Aira
menjabatnya.
"Cody cerita yang
aneh-aneh?"
Aira tertawa renyah, "Nggak
lah... dia cerita tentang kakaknya yang gila petualangan, seperti aku
hehehe..." Aira cengengesan, "... dan dia bilang..." Aira
berhenti.
"Apa?"
"Kalau kita bertemu..."
"Ya, kita sudah bertemu..."
"Hmmm..." Aira tersenyum
nakal, "Bukan hal yang penting," katanya lalu melangkah pergi.
Jack menangkap lengannya,
"Jangan membuatku penasaran..."
Aira tersenyum malu, Jack memuji rona
merah jambu yang terkilas di pipi Aira, manis.
"Dia bilang... Kalau kita
bertemu, Kita akan jatuh cinta satu sama lain..."
Aira meninggalkan Jack masih tertegun
di sana. Jack
tak menyangka Cody akan mangatakan hal seperti itu tentang dia dan Aira. Jack
curiga Cody tau Jack jatuh cinta pada Aira sejak lama. Jack memaki, "Dasar
si bodoh Cody... Jelas-jelas Aira berpacaran dengan Tony..." tapi mereka
masih pacaran... belum menikah. Sebelum janur kuning melengkung, Jack punya
kesempatan besar untuk membuat hubungannya dengan Aira lebih dekat. Jack tak
usah lagi jadi pengintai seperti selama ini.
Jack sudah memutuskan.
***
1500 dpl. Aira di sana. Di antara ilalang.
Berlatarbelakang kegelapan perkebunan teh yang seolah tak terbatas luasnya. Di
bawah langit yang mahakelam hanya dengan satu sabit. Aira begitu kokoh, bahkan
di tengah alam yang hanya menawarkan dingin, Sosok Aira begitu indah
menghangati hati Jack.
"Hai, Jack!! Mas Ibar!!!"
Aira melambai, "Sini!!" Aira mengacungkan jagung bakar dari depan api
unggun pos III.
Ibar mendorong Jack, "Pergilah
mengikuti kata hatimu..."
"Apa?"
"Aku
selama ini curiga kamu sedang jatuh cinta. Kini aku melihatnya. Bidadari di
tengah belantara..." Ibar, tertawa, "Aku mengenalnya sejak lama
tapi tak tau kamu mengenalnya juga, tak terpikir kamu jatuh cinta
padanya..."
"Asal ngomong aja kamu..."
"Eh? jangan anggap remeh Oom
Ibar, gitu loh... kalau tau..."
Jack meninju bahu Ibar, "Hei,
kamu ngomong apa? kamu buta ya? dia kan
pacaran ama Tony..."
Ibar menoleh sebentar lalu hanya
mengedikan bahu. "Terserah kamu ... Kamu berhak memutuskan apa yang akan
kamu lakukan," Ibar menurunkan ranselnya, "Tapi aku kasih tau ya...
Mereka belum jadian. Eva masih bebas, percaya deh..." Ibar mengeluarkan
rokoknya. "Rokok?" tawarnya.
Jack menggeleng, "Berusahalah
untuk menghargai hidupmu sendiri dengan berhenti merokok, Ibar..."
Ibar tertawa, "Life is free,
Jack. lagipula, aku nggak gampang mati, nggak bakal mati karena rokok."
Jack mencibir.
Ringtone Love will keep us alive-nya
Scorpion mengalun dari handphone Ibar yang segera mengangkatnya. Takjub dengan
ketinggian ini masih ada sinyal, dahi Jack berkerut. Sebentar kemudian ia
kembali gamang. Banyak hal berputar-putar di otaknya. Life is free... love will
keep us alive. Jack bangkit, tak menyukai kenyataan bahwa ia akan terus
hanya menjadi pemuja bila ia tidak pernah berusaha meraih Aira, apapun
resikonya. Love, itulah kuncinya. "Bar, aku nyamperin Aira
ya...?" pamitnya.
Ibar tersenyum, "OK. nanti aku
nyusul..."
Jack menghampiri Aira yang sedang
asyik pesta jagung bakar dengan teman-temannya.
"Hai, masih ada jagungnya?"
tanya Jack.
Aira tersenyum lebar, menggeser
pantatnya, memberi ruang untuk Jack duduk di sebelahnya. "Sini...!!"
Jack melihat di seputar mereka ada
banyak tempat, Aira sengaja agar Jack duduk di sebelahnya. Jack menurutinya,
mengambil jagung muda mentah yang tersedia di situ dan segera membakarnya.
Mereka bercakap-cakap, mengkonfirmasi banyak hal. Yang membuat Jack takjub adalah
kenyataan bahwa Aira belum pernah mengenal Jack sebelumnya meski beberapa tahun
ini dekat dengan Cody.
Jack
benar-benar kecewa. Lebih dari dua tahun Jack mengenal Aira, mengamatinya,
menarik perhatiannya dan sudah jatuh cinta padanya namun ternyata, Aira sama
sekali tak menyadari keberadaannya. Namun Jack menyadari kesalahannya, tak
mungkin Aira menangkap sinyalnya bila Jack tak menuntunnya ke alamat yang
benar. Maksudnya, tak mungkin Aira memahaminya bila gadis cantik ini bahkan tak
mengenalinya. Maka dari itu, kini adalah kesempatan untuk membuat Aira
mengenalnya lebih dekat dan membuat Aira jatuh cinta padanya.
***
Cody
benar, begitu mudah untuk jatuh cinta pada seorang Jack. Aira memandangi langit
yang menampilkan semburat warna pertama pagi itu. Menghela nafas. Menghirup
pagi.
"Menyesal sudah mengakhiri
pendakian?" suara Jack menyadarkannya.
Aira tersenyum pada Jack yang sedang
membongkar ranselnya, mendirikan dome. "Setelah mencapai puncak, kadang
aku merasa bodoh... apa yang kucari disini?"
Jack tertawa, "Itulah
penaklukan... kadang kita tak tau apa yang akan kita perlakukan pada sang
korban... " Jack melirik, "... Setelah puas."
Aira tak menganggap Jack mempunyai
pikiran kotor, " Kita tak bisa melanjutkan maju karena itu artinya kita
harus punya kemampuan untuk mendaki langit." sahut Aira.
"Bagaimana kalau dibawa
pulang?" tanya Jack, mambuat tawa Aira meledak.
"Ada-ada
aja..." Aira tertawa sampai ia menyadari teman-teman yang lain tak ada,
yang ada hanya dia dan Jack. Jack yang luar biasa.
Semalaman
ia berusaha melindungi langkah Aira tanpa membuat Aira merasa dibuntuti. Saat
Aira menggigil, Jack sigap menghangatkannya dengan canda dan secangkir
coffemix-nya. Saat Aira tergelincir, tangan Jack-lah yang menangkapnya. Saat
Aira lelah, di pundak Jack-lah ia beristirahat. Hingga entah mulai dari mana,
mereka berjalan berdua, memisahkan diri dari grup mereka tanpa sengaja.
Mencapai puncak Sindoro berdua, tepat saat sinar pertama matahari pagi itu
menyinari langit, menunjukkan hari baru.
Aira merasakan aliran rasa percaya
yang deras menghangati hatinya. Berbeda dengan yang diberikan oleh Tony selama
ini. Aira tak pernah mampu memaksa dirinya menerima cinta Tony. Bukan karena ia
tak menyukai Tony, namun karena ada satu ruang dihatinya menunggu. Menunggu
kehadiran seorang seperti Jack.
Jack begitu berbeda. Meski baru
bertemu, Aira mempercayainya dan ini bukan satu kenaifan. Aira tahu apa yang
dirasakannya.
Ctek!!
Suara patahan kayu mengagetkan Aira .
"Puas melototin aku?" tanya
Jack.
Aira merenges. "Gantian, di
bawah, kemarin kamu melototin aku juga..."
Jack tersenyum, masih sibuk membuat
api.
"Jack..."
"Ya?"
"Kalo orang lihat kita sekarang,
mereka pikir kita pasangan bulan madu."
Jack berdehem, "Bulan madu di
atas gunung? yang bener aja... kalo aku merit, aku berikan yang lebih
baik..."
"Aku mungkin lebih suka begini
dari hal apapun... "
"Benarkah?"
"Ya. Karena hatiku menyukai hal
ini, menyukai suasana ini..."
"Kamu ngomong kayak kamu
merencanakan untuk merit ma aku aja..."
Aira tersenyum, "Ayo, mainkan
gitarmu lagi... " cetusnya.
Jack mulai mendentingkan gitarnya,
Aira yang bernyanyi. Mereka terus bernyanyi sambil saling menatap sampai
suara-suara dari tebing memberitahukan kedatangan teman-teman mereka.
***
"Hallo,
Oom Jack..." Suara Hezel, anak laki-laki Ibar mengagetkannya. Ibar datang
dengan putranya yang berusia tiga tahun.
"Hallo, Hezel... kamu tampan
sekali pakai kacamata hitam..." komentar Jack.
"Kamu kelihatan lebih
segar," kata Ibar.
Jack mengamati dirinya sendiri,
terbaring di ranjang rumah sakit, lemah dan tidak sempurna. "Trims, tapi
aku tahu aku kelihatan sebaliknya."
Ibar menepuk lengannya, "Hei...
Kamu kan
besok udah boleh pulang... jangan manyun..." Ibar tersenyum, "atau kamu
betah di sini ditemenin suster-suster cantik?"
"Sialan...
nggak lah... yaw. " Sebulan opname karena Pneumonia adalah mimpi buruk
bagi Jack dan keluarganya.
"Sory,
aku cuma bercanda."
Jack
mengerti. Ia benar-benar berterima kasih pada Ibar karena telah menghiburnya,
menjadi teman dan saudara laki-laki yang baik selama ini. Juga yang paling
setia menjaga rahasianya.
"Jack,
kamu Ok?"
Jack
mengangguk, "Ya. Eh, ada kabar apa dari luar sana?" tanyanya pelan.
"Biasa...
salam dari anak-anak dan ... kemaren Aira nyariin kamu lagi."
Jack
membuang pandangannya keluar jendela yang tak menyediakan apa-apa untuk
matanya, hanya langit kosong seluas-luasnya. "Jangan katakan dimana
aku."
Ibar
memainkan rambut putranya yang berbaring di sisi Jack dengan nyamannya,
"Kamu yakin nggak mau Aira tahu? Kalau memang Aira mencintaimu dia nggak
mungkin membiarkanmu kesepian bergulat sendiri melawan penyakitmu."
"Aku
sanggup, Bar... Jangan khawatir." Jack menyela.
Ibar menatap Jack panjang
sebelum berkata mantap, "Aku tak akan bilang."
"Terima
kasih, Bro... "
Ibar
mengamati ekspresi Jack, ada sesuatu di sana,
ada rahasia di mata itu.
***
Jack merasa geli saat merasakan
seseorang menggelitik punggungnya. Ia tertidur dengan posisi telungkup di
kios-nya. Jack menangkap tangan usil itu dan kaget merasakan texture-nya,
tangan cewek. Jack membalikkan badan.
Aira di sana lengkap dengan
seragam SMU-nya yang membuatnya terlihat muda, tersenyum ceria, "Hai...
" sapanya.
Sejak
pendakian pertama itu Aira dan Jack memang sering bertemu. Kadang di toko, di
rumah, sekolah Aira atau di pendakian-pendakian lain.
Jack
melepaskan tangan Aira, gugup.
"Sebulan nggak jualan, kemana
aja?"
Jack
bangkit, "ada deh... "
"Mas
Ibar bilang kamu nyari barang dagangan ke Bandung
ya? Ada oleh-oleh apa aja dari Bandung?"
Bandung? Jack berpikir cepat, Jadi itu
alasan yang diberikan Ibar pada Aira? Jack akan
mengikutinya."Sebenarnya niatku nyari barang dagangan, tapi ketemu teman
... jadinya aku cuma dolan aja."
"Oh,
gitu." Aira menodongkan kedua tangannya. "Oleh-oleh...?"
Jack
tertawa, "Aku nggak beli oleh-oleh."
Aira
mencibir, "Payah... Pergi nggak bilang-bilang, pulang nggak bawa
oleh-oleh..." katanya merajuk.
"Kangen
ya?" tembak Jack.
Wajah
Aira bersemu merah, "ngggggaaaakkk..." kilahnya.
"Oke...
oke... Aku traktir makan aja, mau?"
"Mau...!"
"Mau
makan apa?"
"Hari
ini aku mau makan soto."
"Oke...
tumben? ngidam ya?"
Aira tertawa renyah, "Nggak lah
yaw..." katanya sambil membuntuti Jack yang berjalan keluar dari toko. Mereka
berjalan beriringan menuju ke Warung Remaja 16 yang terletak di kompleks
Penjara. Meski bukan soto terenak bagi Aira, namun moment bersama Jack adalah
terindah baginya.
Usai
makan, mereka duduk di alun-alun kota mengamati
lalu lalang kendaraan, pertandingan sepakbola di sana membuat susana ramai. Namun baik Aira
maupun Jack tak tertarik dengan sepakbola. Dunia mereka adalah gunung,
pantai... alam. Mereka asyik bertukar cerita tentang segala hal yang pernah
mereka alami.
"Ra..."
"Ya."
"Apa
cita-citamu yang sebenarnya?"
Aira
tersenyum manis, "jadi penulis."
"Penulis?"
Aira
mengangguk."Ya. Aku suka bepergian... naik gunung, naik bis ke tempat
jauh... mungkin kelak ke luar negeri... dan semua pengalamanku akan
kutulis."
Jack merasa
tertarik. "Sekarang?"
"Sekarang
aku hanya mengandalkan imajinasiku menulis fiksi saja, kelak... aku akan
menuliskan kenyataan."
Jack
bertepuk tangan. "Hebat!"
"Kamu
kan
udah kemana-mana... Gunung-gunung di jawa dan luar jawa udah kamu satroni.
Pasti bagus kalo bisa jadi tulisan."
"Haha...
aku tak bisa menulis."
"Puisi?"
"No."
"Surat
cinta?"
"Nehi."
"Payah..."
"Emangnya
gua pikirin..." Jack tertawa lebar, "Menulis itu tugas anak sekolah
seperti kamu. Aku udah tua, sebentar lagi mati, jadi hidupku untuk main-main
saja."
"Kata
siapa?!" pekik Aira was-was.
"Kataku."
"Payah!
Nakut-nakutin orang saja."
Mereka
tertawa bersama. Aira hendak meninju bahu Jack, namun Jack berkelit, membuatnya
kebablasan dan tergatuh di pelukan Jack.
Waktu
seakan berhenti berputar. Yang ada di seputar mereka adalah keajaiban sehingga
sulit bagi indra untuk memahami apa yang terhampar di sana.
Mata bertemu mata, hati bertemu hati, cinta ...
Aira
ingin menarik diri, namun ada ikatan di hatinya menyatukan mereka dengan benang
merah yang tak kasat mata. Ikatan masa lalu, ikatan masa depan, ikatan
keabadian.
Ikatan
cinta.
Jack
iba-tiba teringat akan kondisi kesehatannya. Ia buru-buru melepaskan Aira. Ia
tak sempurna untuk Aira. Aira hanyalah gadis SMU yang belia, ia akan
mendapatkan cinta lain yang lebih tepat. Jack mengharamkan dirinya mencintai
Aira.
Aira terkejut dengan perubahan sikap Jack yang tiba-tiba.
Namun malu untuk menanyakan kenapa.
"Kelak kalau kamu jadi penulis,
apakah kau akan menulis tentang aku?" tanya Jack.
Nada
dingin pada suara Jack membuat Aira tanpa sadar menitikkan airmata. " Ya.
Aku akan menuliskan tentangmu. Aku janji."
Jack tak
berkata apa-apa. Bangkit berdiri lalu memberi isyarat pada Aira untuk pergi
dari situ.
***
Aira merasa yakin Jack mencintainya
juga, namun sikap Jack dirasanya semakin menjauh dan menghindar. Beberapa hari
terakhir malah Jack seolah sengaja memancing pertengkaran dengan Aira. Aira
benar-benar tak mengerti. Hingga suatu ketika sepulang sekolah ia shock, toko
Jack digunakan oleh orang lain.
"Jack
mana, Mbak?" tanya Aira pada wanita yang menjual tanaman hias di toko
Jack. Barang-barang dagangan Jack sudah tak ada.
"Yang
dulu jualan di sini ya, Mbak? saya juga nggak tahu." jawab Mbak Pemilik
toko.
Aira
gelisah. Ia hanya bisa menangis. Ia merindukan Jack.
***
Jack sebenarnya ingin bahagia. Aira
mencintainya. Namun kenyataan pahit yang harus dihadapinya membuatnya
melepaskan Aira. Hasil tes menunjukkan membalik kebahagiaan menjadi mimpi
buruk. Paru-parunya hanya berfungsi 55% saja. Batuk berkepanjangan yang
dideritanya bukan karena Pneumonia yang disebabkan karena hoby-nya naik gunung
dan lain-lain, tapi kanker.
Kanker
Paru-paru.
Jack tak
percaya, bagaimana mungkin? Ia bahkan bukan seorang perokok. Jack baru duapuluh
tiga tahun, tokonya berkembang pesat dan mampu diandalkan untuk masa depan, ia
juga nyaris punya Aira. Mungkin lima tahun lagi ia bisa
memperistri Aira, namun... sekarang ia tak yakin ia bisa hidup hingga tahun
depan. Tidak juga esok.
Sudah dua minggu ia kembali ke rumah
sakit dan kondisinya terus menurun drastis. Jack tak mengerti, tapi juga tak
ingin mencari tahu. Mungkin sudah takdir dari Tuhan. Aira hanyalah bidadari
yang menjadi alasan hidupnya selama dalam perjalanannya mengejar gadis itu.
Sekarang setelah tahu bahwa Aira mencintainya, hatinya merasa puas dan raganya
ingin pergi secepatnya. Tanpa mengeluh sedikitpun pada Tuhan, Jack hanya ingin
Aira hidup bahagia tanpanya. Ia bukan untuk Aira.
Sebuah suara ketukan di pintu
memotong lamunan Jack.
"Hai,
Jack."
Jack
menoleh, "Tony..." masker oksigen di mulutnya mengeluarkan uap dan
embun, pertanda panas tubuhnya yang demam. Nafasnya berat, namun Jack mendorong
masker itu ke samping.
Tony
duduk di sebelah ranjang Jack. Mereka saling terdiam, saling menilai. Jack tak
tahu kedatangan Tony adalah sebagai teman atau sebagai musuh. Namun kedatangan
Tony yang mungkin setelah mengancam Ibar, satu-satunya orang yang tahu
keberadaan Jack, menegaskan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Meskipun
kemenangan tak ada sama-sekali di wajah Tony.
"Aira sakit, Jack... ia
merindukanmu." kata Tony, kepedihan membuncah di udara, "kamu masih
tak mau mengatakan hal yang sebenarnya pada Aira?" Tony sebenarnya merasa
bodoh mengatakannya, karena pria di hadapannya pun terbaring sakit tanpa ada
harapan hidup. Hanya mata yang menyala penuh dengan keinginan-keinginan, namun
jasad mengkhianatinya.
Jack
tersenyum, "Aku hanya ingin semua berakhir seperti sebelum semua ini
berawal."
Tony
menghela nafas, "Aku tak merasa senang dengan semua ini."
"Bukankah
kau mencintai Aira?"
"Sejak
awal aku sudah mengerti bahwa ada satu bagian hati Aira menunggu kedatanganmu,
Jack!"
Jack
meraih tangan Tony, Tony menangkupnya. "Tapi aku sudah akan pergi."
Hening
lagi, hanya suara nafas patah-patah Jack yang berdesah di selang oksigen yang
terdengar.
Tony merasa semua akan lebih mudah jika Jack tak sakit,
lebih mudah merebut kembali hati Aira jika semua normal namun Tony tahu, semua
tak mungkin.
Kembali ke awalnya, Jack tahu,
keadaan sudah berubah, andai ia pergi, ia akan pergi dengan patah hati. bukan
patah hati karena cinta yang tak sampai, tapi patah hati karena cinta yang tak
akan bisa dipeliharanya. Cinta yang ditinggalkannya. Patah hati karena telah
membuat Aira patah hati.
Jack menatap langit-langit ruang
perawatan, "... Aira berjanji akan menulis tentang aku jika ia sukses jadi
penulis kelak." katanya.
Airmata
bergulir di pipi Tony. Jack mengangkat tangannya, Tony menjabatnya dan mereka
bersalam rimba.
***
Aira mematung terengah-engah di
pintu. Tony muncul di belakangnya. Cody menyambutnya, "Aira..."
"Mana
Jack?"
Cody
menunduk.
"Mana
Jack???!!!" pekik Aira tertahan.
Cody
melangkah ke samping. Di ranjang sebujur tubuh kaku tertutup dengan kain. Di
samping tubuh itu ada Ibar, dua orang suster, seorang dokter dan sepasang pria
dan wanita paruh baya. Orangtua Jack dan Cody.
Aira melangkah lambat ke ujung kepala
ranjang, disingkapnya kain penutup. Dan wajah Jack di sana.
Kaku, biru... dengan sebuah senyum di bibirnya, namun setetes manik airmata di
sudut matanya yang tertutup. Untuk selamanya.
Aira tak bisa menangis, ia malah
tertawa, "Jack... kamu bercanda, kan?
Bangun Jack... akhirnya aku menemukanmu... Jack... Bangun...." Aira terus
mengulang-ulang kata-kata itu sampai Ibunda Jack meraihnya dalam pelukan dan
pecahlah tangis Aira.
"Jack sudah pergi, Aira...
dengan senyum di bibirnya." bisik Ibunda Jack."Jangan kau tangisi,
kita relakan dia supaya bebas berkelana, mendaki langit, seperti keinginannya
ya?"
Aira menahan isaknya. Tiba-tiba ia
malu, Ibunda Jack saja mampu menahan tangis, kenapa ia tak bisa? Meski airmata
masih berderai Aira mengangguk tanpa kata.
“Jack… Tunggu aku di puncak.” Bisik hatinya.
[NK]
No comments:
Post a Comment