About Me

About Me
Writer, Pengelola Rumah Baca Istana Rumbia, Staff redaksi Tabloid Taman Plaza, Admin Yayasan CENDOL Universal Nikko (Koordinator bedah cerpen OCK), perias dan Make-up artist PELANGI Asosiasi Entertainment, Crew Wonosobo Costume Carnival dan Crew 'A' Event Organizer (Multazam Network), pernah bekerja di Hongkong dan Singapura. Cerpenis Terbaik VOI RRI 2011, dan diundang untuk Upacara HUT RI ke 66 di Istana Negara bersama Presiden RI. BMI Teladan yang mengikuti Sidang Paripurna DPR RI 2011 dan menjadi tamu Ketua DPD RI. Dinobatkan sebagai Pahlawan Devisa Penulis Cerpen BNP2TKI Tahun 2011. Pemuda Pelopor Dinas Pendidikan, pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Tengah kategori Seni-Budaya Tahun 2012. Menyukai langit, stasiun kereta, dan warna biru. Salah satu penulis Undangan Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali. Dapat dihubungi via Email FB/YM : Nessa_kartika@yahoo.com.

Saturday, March 10, 2012

[CERPEN] Bus Terakhir ke Purwokerto

(Pernah dimuat di Tabloid Taman Plaza edisi Maret 2012)

 

Wanita muda duapuluhan tahun itu bergeming di tempatnya. Kekasihnya, seorang lelaki tegap berkaos hitam memandanginya dengan lembut. Hujan makin menderas di pertigaan Secang.

“Aku membenci hal ini, Alisa.”
“Apa, Mas?”
“Aku benci perpisahan.”

Alisa menyibakkan rambutnya, mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk menyembunyikan airmata. Airmata itu perlahan menitik. Alisa berharap dapat menyamarkannya dengan hujan.

Alisa mengulurkan tangan. Digenggamnya tangan sang kekasih, lalu ia menyurukkan kepalanya di leher lelaki itu. “Kita harus berpisah, Mas. Tapi bukan untuk selamanya. Bukankah aku sudah berjanji padamu untuk kembali?”

“Alisa, kau pulang untuk menolaknya kan…?”

Alisa merinding. Bukan oleh hujan, namun oleh ketakutan tak jelas yang tiba-tiba mencekamnya. Ia sendiri tak tahu apakah ia takut jika kini meninggalkan kekasihnya, lelaki itu akan hilang selamanya. Ataukah takut pada apa yang akan dihadapinya jika ia menolak untuk pulang ke Wonosobo.

“Bapak sudah kekeuh menjodohkan aku dengan dia, Mas Danu.”

Lelaki bernama Danu itu mengusap rambut kekasihnya. Ia mengedarkan pandangannya ke suasana pertigaan yang sepi. Seseorang tampak memandangi mereka dari mushola kecil di seberang jalan. Langit masih menumpahkan hujan. Tak satupun bus menuju Wonosobo lewat. Mereka sudah berdiri hampir satu jam. Orang-orang yang sama-sama kemalaman dengan mereka hampir semuanya sudah mendapatkan angkutan mereka.

Danu hanya mengantar Alisa sampai Secang. Entah bagaimana cara ia kembali ke Jogja, ke Bandara, nanti. Yang penting Alisa mendapatkan bis jurusan Semarang-Purwokerto itu untuk pulang ke Wonosobo. Seorang manol tadi memberitahu mereka bahwa masih ada bus terakhir nanti tepat pukul sepuluh. Alisa dan Danu menunggu.
Semua gara-gara Danu hingga Alisa kemalaman. Danu menahan Alisa sebisa mungkin untuk menghabiskan waktu terakhir kalinya hanya dengan duduk memandangi lalu lalang orang dan kendaraan di terminal Giwangan. Hanya duduk. Tiada kata yang dapat mewakili kesedihan mereka. Tiada kata yang dapat mengubah kenyataan, bapak Alisa yang telah menyekolahkannya sedemikian tinggi di Jogja pada akhirnya hanya ingin putrinya menikah dengan pemuda pilihannya.

Ketika mereka tiba di terminal Magelang, mereka sudah ketinggalan bus terakhir ke Wonosobo. Alisa dan Danu menumpang mobil carteran menuju Secang.

Kini, dua jam kemudian, mereka masih terdampar di Secang.

Seseorang di balik kaca jendela mushola itu masih memandang tajam.
***
            
Tepat pukul sepuluh. Bus Semarang-Purwokerto itu datang.

Alisa dan Danu sama-sama terhenyak. Suara kondektur yang sudah meneriakkan kota-kota tujuan dari atas bus yang masih tertahan di lampu merah membuat mereka panik.

Alisa melepaskan pegangan tangannya.

Danu memandangi Alisa yang maju ke trotoar tanpa mempedulikan hujan membasahi sosok cantiknya. Butiran hujan yang mengenai wajah ayunya berkilau ditimpa sorot lampu bus beberapa detik kemudian.
Danu mengejarnya, menciumnya kening kekasihnya sekejap. “Hati-hati…”

Alisa mengangguk. Pintu bus terbuka. Wanita itu melompat naik.

Bus melaju meninggalkan Danu sendirian di pertigaan Secang.

Alisa tak kebagian tempat duduk. Ia berdiri berdesakkan dengan para penumpang lain.

Alisa menoleh ke belakang. Ingin memandangi Danu hingga bus melaju jauh menghilangkan sosok itu, namun Alisa tak bisa mendapatinya. Alisa malah mendapati sosok di balik jendela mushola itu masih memandanginya. Hingga beberapa kilometerpun Alisa masih merasakan sorot seseorang di balik jendela mushola.
***
            
“Aneh, padahal bus ini penuh. Tapi kenapa bus sepi sekali?” batin Alisa.

Alisa berdiri mendekap tas tangannya bersandar di bangku sebelah kiri bus yang diduduki oleh sepasang lelaki dan perempuan separuh baya. Alisa tak bisa mengatakan bahwa mereka pasangan suami istri, karena ini angkutan umum, siapapun bisa duduk di dalamnya bersebelahan meski orang asing sekalipun.

Dua orang itu tak berbicara satu sama lain. Wanita itu memandang keluar jendela sedangkan laki-laki itu memandang lurus ke depan. Alisa menebak jalan pikiran dua orang ini sama seperti dirinya, ingin cepat-cepat sampai rumah.

Penumpang-penumpang lain pun tak ada yang berbicara. Bahkan kondektur bus pun tak lagi berteriak-teriak memberitahukan nama kota tujuan yang kemungkinan akan dituju calon penumpang.

“Ah, mungkin karena pemberhentian selanjutnya masih nanti di Temanggung,” pikir Alisa. “Dia pasti lelah berteriak-teriak seharian.” Alisa masih meneruskan pikiran yang ditujukannya untuk lelaki tangguh berseragam perusahaan bus itu.

Di Terminal Temanggung ternyata bus tidak berhenti. Meski kondektur bus menawarkan, tak ada satu penumpang pun yang turun.

Alisa menahan rasa aneh yang menyusupi pikirannya. Ia berpikir mungkin memang tak ada satu pun penumpang yang mau turun di Temanggung.

Bus kembali melaju. Maron – Kedu – Parakan pun ternyata sama. Tak satupun penumpang yang turun. Hingga bus merayap mendaki wilayah Kledung pass, Alisa mulai merinding lagi. Bukan karena hawa dingin yang menusuk. Tapi karena keanehan yang dirasakannya.

Alisa merapatkan jaket berwarna hijau toska yang dikenakannya. Ia memandangi kembali satu persatu penumpang yang benar-benar tanpa ekspresi. “Tak satupun dari mereka yang turun… Kemana mereka menuju?” bisik hati Alisa.

Tadinya Alisa berpikir jika ada beberapa penumpang yang turun mungkin mereka masih akan mendapatkan tempat duduk. Kini ia hanya bisa menahan pegal di kakinya dengan seanggun mungkin. Hanya memindahkan tumpuan berdirinya dari kaki kanan ke kaki kiri bergantian. Untung ia mendapat sandaran meskipun agak tidak sopan karena tepat diatas orang yang sedang duduk. Alisa berharap laki-laki yang sedang duduk ini maklum.

Alisa berwajah ayu. Kulit wajahnya mulus, matanya bagus berbulu lentik. Bibirnya juga berwarna pink cerah meskipun tanpa polesan apapun. Biasanya jika di angkutan umum seperti ini selalu ada saja yang mengajaknya berkenalan. Ada yang iseng, ada yang memang pencerita yang baik dan bisa dijadikan teman dalam perjalanan. Alisa sendiri selalu menyambut baik orang-orang yang menyapanya dengan ramah. Kecuali jika orang iseng yang mengajaknya ngobrol di bus, Alisa akan memasang tampang jutek. Malas meladeni.

Danu pernah berkata, Alisa adalah calon empuk korban penipuan, pembiusan dan segala kriminal di angkutan umum karena wanita ini gampang saja percaya pada orang-orang asing yang mengajaknya bicara.
“Mas Danu… ah…” Diingatkan pada Danu membuat Alisa kembali bersedih.

Bapak adalah seorang diktator. Bahkan saat Alisa tidak ingin kuliah di Jogja dan jauh dari Ibu, Bapak memaksa. Bapak bilang untuk masa depannya. Kini, setelah ia wisuda… Tiba-tiba Bapak ingin ia menikah dengan Saputra.

Alisa mengenal Saputra sejak kecil. Alisa tahu seperti apa sifat Saputra. Sombong, tengil, playboy sejati dan sialnya ia anak orang kaya. Bapaknya Saputra, Pak Nikun adalah pemilik tujuh hektar perkebunan teh di Sigedang sana.

Alisa terlalu mencintai Danu. Lelaki yang tinggal dan bekerja di Jakarta itu bahkan rela mengisi hari libur kerjanya untuk terbang ke Jogja menemuinya kapanpun Alia atau lelaki itu rindu. Bahkan sering hanya terbang pergi pagi dan terbang pulang sore harinya.

“Mas tidak perlu serepot ini. Aku takut Mas malah jadi boros dan capek. Kita kan masih bisa berhubungan lewat telepon dan email, Mas.” Alisa pernah berkata.

“Aku hanya ingin menikmati saat-saat bersamamu. Berapapun jauh jarak yang harus kutempuh. Berapapun singkatnya waktu yang kita punya.”

Saat itu Alisa tak bisa berkata apa-apa kecuali merebahkan kepalanya di bahu lelaki itu.

Alisa sedang tersenyum mengenang kembali hari-hari indahnya bersama Danu ketika diingatkan lagi dengan bayangan Bapak dan saputra.

“Bapak, Alisa sangat mencintai Mas Danu. Laki-laki itu telah berkorban banyak untuk Alisa. Alisa ingin memiliki Mas Danu sampai waktu yang tak terbatas. Ijinkan Alisa menolak Saputra, Pak…” bisik hati Alisa. Semakin menguatkan tekadnya untuk tidak menerima Saputra.

Ingatan Alisa melayang pada beberapa bulan yang lalu saat Alisa mengajak Danu pulang ke Wonosobo. Niatnya ingin memperkenalkan Danu pada keluarganya. Namun Bapak malah berang tanpa alasan. Membuat Alisa sangat malu pada Danu. Untung Danu mau mengerti dan tetap memberikan banyak limpahan cinta pada Alisa, meski saat itu Danu pulang ke Jakarta dengan tatapan sangat terluka.

Sekarang Alisa tahu alasan kemarahan Bapak, karena ia telah dijodohkan dengan putra Pak Nikun itu, Saputra. Alisa tiba-tiba tak ingin bertemu Bapak. Alisa ingin kembali ke pelukan Danu. Alisa merasa ia telah salah. Jikapun ia pulang, ia tak akan mampu menolak. Alisa tak ingin pulang!

“Tuhan tolong aku…” Airmata Alisa menitik.

Alisa buru-buru menyekanya. Ia lalu celingukan, kuatir dua lelaki yang berdiri di dekatnya melihat ia menangis di bus dan menganggapnya aneh. Tapi dua lelaki itu tampak asyik dengan pikiran mereka sendiri-sendiri. Alisa lalu mengalihkan pandangannya ke luar bus. Tapi yang didapatinya hanya gelap. Dari dinginnya hawa yang menusuk, Alisa tahu saat ini ia ada di Kledung Pass. Tepat di antara Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro.

Sedang berusaha mencari-cari cahaya apapun yang menerangkan dimana ia berada, ketika lampu di dalam bus mati.

Alisa gelagapan. Ia berusaha menoleh kekanan dan kekiri. Mencari setitik terang. Namun ia hanya merasakan dadanya menyesak. Sangat sesak… Alisa tak melihat apa-apa dalam kegelapan itu.
Alisa terperangkap dalam gelap.
***
            

“Sayang, ada apa?”

Suara laki-laki yang sangat dikenalnya membuat Alisa buru-buru membuka mata.

Anehnya, yang ada di hadapannya adalah pemandangan Stasiun Giwangan yang sibuk. Danu ada di sampingnya. Tatapan mata elang laki-laki itu dilingkupi cemas.

“Mas Danu?”
“Ada apa? Kenapa tiba-tiba kamu seperti mau pingsan?”
Alisa tak mampu menjelaskan.

Bukankah baru saja mereka mengalami perjalanan panjang dari Giwangan ke Magelang, dari Magelang ke Secang. Alisa kemudian meninggalkan Danu di Secang menuju Wonosobo? Bukankah baru saja Alisa masih berada di atas bus jurusan Semarang-Purwokerto yang aneh itu?

Kenapa kini mereka masih berada di Terminal Giwangan?

Alisa bangkit.
“Aku nggak jadi pulang, Mas. Aku akan ikut kamu ke Jakarta saja.”

Danu terperangah. Kecemasan di matanya berkali lipat, namun Alisa merasakan kebahagiaan di sorot wajah lelakinya. “Alisa, kamu yakin?"

Alisa mengangguk mantap. Ia bangkit. “Ayo kita pergi, Mas.”

Danu mengikutinya bangkit.

Mereka kemudian menuju pintu keluar terminal. Kali ini mereka melewati masjid kecil di depan Terminal Giwangan itu. Alisa melihat lagi sosok di balik jendela. Sosok yang sama yang dilihatnya di Mushola pertigaan Secang.

Kali ini Alisa tersenyum pada sosok itu dan menggandeng Danu lebih erat.

*** Selesai ***

No comments:

Post a Comment