Wanita muda
duapuluhan tahun itu bergeming di tempatnya. Kekasihnya, seorang lelaki tegap
berkaos hitam memandanginya dengan lembut. Hujan makin menderas di pertigaan
Secang.
“Aku membenci hal
ini, Alisa.”
“Apa, Mas?”
“Aku benci
perpisahan.”
Alisa menyibakkan
rambutnya, mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk menyembunyikan
airmata. Airmata itu perlahan menitik. Alisa berharap dapat menyamarkannya
dengan hujan.
Alisa mengulurkan
tangan. Digenggamnya tangan sang kekasih, lalu ia menyurukkan kepalanya di
leher lelaki itu. “Kita harus berpisah, Mas. Tapi bukan untuk selamanya.
Bukankah aku sudah berjanji padamu untuk kembali?”
“Alisa, kau pulang
untuk menolaknya kan…?”
Alisa merinding.
Bukan oleh hujan, namun oleh ketakutan tak jelas yang tiba-tiba mencekamnya. Ia
sendiri tak tahu apakah ia takut jika kini meninggalkan kekasihnya, lelaki itu
akan hilang selamanya. Ataukah takut pada apa yang akan dihadapinya jika ia
menolak untuk pulang ke Wonosobo.
“Bapak sudah kekeuh
menjodohkan aku dengan dia, Mas Danu.”
Lelaki bernama Danu
itu mengusap rambut kekasihnya. Ia mengedarkan pandangannya ke suasana
pertigaan yang sepi. Seseorang tampak memandangi mereka dari mushola kecil di
seberang jalan. Langit masih menumpahkan hujan. Tak satupun bus menuju Wonosobo
lewat. Mereka sudah berdiri hampir satu jam. Orang-orang yang sama-sama
kemalaman dengan mereka hampir semuanya sudah mendapatkan angkutan mereka.
Danu hanya mengantar
Alisa sampai Secang. Entah bagaimana cara ia kembali ke Jogja, ke Bandara,
nanti. Yang penting Alisa mendapatkan bis jurusan Semarang-Purwokerto itu untuk
pulang ke Wonosobo. Seorang manol tadi memberitahu mereka bahwa masih ada bus
terakhir nanti tepat pukul sepuluh. Alisa dan Danu menunggu.
Semua gara-gara Danu
hingga Alisa kemalaman. Danu menahan Alisa sebisa mungkin untuk menghabiskan
waktu terakhir kalinya hanya dengan duduk memandangi lalu lalang orang dan
kendaraan di terminal Giwangan. Hanya duduk. Tiada kata yang dapat mewakili
kesedihan mereka. Tiada kata yang dapat mengubah kenyataan, bapak Alisa yang
telah menyekolahkannya sedemikian tinggi di Jogja pada akhirnya hanya ingin
putrinya menikah dengan pemuda pilihannya.
Ketika mereka tiba
di terminal Magelang, mereka sudah ketinggalan bus terakhir ke Wonosobo. Alisa
dan Danu menumpang mobil carteran menuju Secang.
Kini, dua jam kemudian,
mereka masih terdampar di Secang.
Seseorang di balik
kaca jendela mushola itu masih memandang tajam.
***
Tepat pukul sepuluh.
Bus Semarang-Purwokerto itu datang.
Alisa dan Danu
sama-sama terhenyak. Suara kondektur yang sudah meneriakkan kota-kota tujuan
dari atas bus yang masih tertahan di lampu merah membuat mereka panik.
Alisa melepaskan
pegangan tangannya.
Danu memandangi
Alisa yang maju ke trotoar tanpa mempedulikan hujan membasahi sosok cantiknya.
Butiran hujan yang mengenai wajah ayunya berkilau ditimpa sorot lampu bus
beberapa detik kemudian.
Danu mengejarnya,
menciumnya kening kekasihnya sekejap. “Hati-hati…”
Alisa mengangguk.
Pintu bus terbuka. Wanita itu melompat naik.
Bus melaju
meninggalkan Danu sendirian di pertigaan Secang.
Alisa tak kebagian
tempat duduk. Ia berdiri berdesakkan dengan para penumpang lain.
Alisa menoleh ke
belakang. Ingin memandangi Danu hingga bus melaju jauh menghilangkan sosok itu,
namun Alisa tak bisa mendapatinya. Alisa malah mendapati sosok di balik jendela
mushola itu masih memandanginya. Hingga beberapa kilometerpun Alisa masih
merasakan sorot seseorang di balik jendela mushola.
***
“Aneh, padahal bus
ini penuh. Tapi kenapa bus sepi sekali?” batin Alisa.
Alisa berdiri mendekap
tas tangannya bersandar di bangku sebelah kiri bus yang diduduki oleh sepasang
lelaki dan perempuan separuh baya. Alisa tak bisa mengatakan bahwa mereka
pasangan suami istri, karena ini angkutan umum, siapapun bisa duduk di dalamnya
bersebelahan meski orang asing sekalipun.
Dua orang itu tak
berbicara satu sama lain. Wanita itu memandang keluar jendela sedangkan
laki-laki itu memandang lurus ke depan. Alisa menebak jalan pikiran dua orang
ini sama seperti dirinya, ingin cepat-cepat sampai rumah.
Penumpang-penumpang
lain pun tak ada yang berbicara. Bahkan kondektur bus pun tak lagi
berteriak-teriak memberitahukan nama kota tujuan yang kemungkinan akan dituju
calon penumpang.
“Ah, mungkin karena
pemberhentian selanjutnya masih nanti di Temanggung,” pikir Alisa. “Dia pasti
lelah berteriak-teriak seharian.” Alisa masih meneruskan pikiran yang
ditujukannya untuk lelaki tangguh berseragam perusahaan bus itu.
Di Terminal
Temanggung ternyata bus tidak berhenti. Meski kondektur bus menawarkan, tak ada
satu penumpang pun yang turun.
Alisa menahan rasa
aneh yang menyusupi pikirannya. Ia berpikir mungkin memang tak ada satu pun
penumpang yang mau turun di Temanggung.
Bus kembali melaju.
Maron – Kedu – Parakan pun ternyata sama. Tak satupun penumpang yang turun.
Hingga bus merayap mendaki wilayah Kledung pass, Alisa mulai merinding lagi.
Bukan karena hawa dingin yang menusuk. Tapi karena keanehan yang dirasakannya.
Alisa merapatkan
jaket berwarna hijau toska yang dikenakannya. Ia memandangi kembali satu persatu
penumpang yang benar-benar tanpa ekspresi. “Tak satupun dari mereka yang turun…
Kemana mereka menuju?” bisik hati Alisa.
Tadinya Alisa
berpikir jika ada beberapa penumpang yang turun mungkin mereka masih akan
mendapatkan tempat duduk. Kini ia hanya bisa menahan pegal di kakinya dengan
seanggun mungkin. Hanya memindahkan tumpuan berdirinya dari kaki kanan ke kaki
kiri bergantian. Untung ia mendapat sandaran meskipun agak tidak sopan karena
tepat diatas orang yang sedang duduk. Alisa berharap laki-laki yang sedang
duduk ini maklum.
Alisa berwajah ayu.
Kulit wajahnya mulus, matanya bagus berbulu lentik. Bibirnya juga berwarna pink
cerah meskipun tanpa polesan apapun. Biasanya jika di angkutan umum seperti ini
selalu ada saja yang mengajaknya berkenalan. Ada yang iseng, ada yang memang
pencerita yang baik dan bisa dijadikan teman dalam perjalanan. Alisa sendiri
selalu menyambut baik orang-orang yang menyapanya dengan ramah. Kecuali jika
orang iseng yang mengajaknya ngobrol di bus, Alisa akan memasang tampang jutek.
Malas meladeni.
Danu pernah berkata,
Alisa adalah calon empuk korban penipuan, pembiusan dan segala kriminal di
angkutan umum karena wanita ini gampang saja percaya pada orang-orang asing
yang mengajaknya bicara.
“Mas Danu… ah…”
Diingatkan pada Danu membuat Alisa kembali bersedih.
Bapak adalah seorang
diktator. Bahkan saat Alisa tidak ingin kuliah di Jogja dan jauh dari Ibu,
Bapak memaksa. Bapak bilang untuk masa depannya. Kini, setelah ia wisuda…
Tiba-tiba Bapak ingin ia menikah dengan Saputra.
Alisa mengenal
Saputra sejak kecil. Alisa tahu seperti apa sifat Saputra. Sombong, tengil,
playboy sejati dan sialnya ia anak orang kaya. Bapaknya Saputra, Pak Nikun
adalah pemilik tujuh hektar perkebunan teh di Sigedang sana.
Alisa terlalu mencintai
Danu. Lelaki yang tinggal dan bekerja di Jakarta itu bahkan rela mengisi hari
libur kerjanya untuk terbang ke Jogja menemuinya kapanpun Alia atau lelaki itu
rindu. Bahkan sering hanya terbang pergi pagi dan terbang pulang sore harinya.
“Mas tidak perlu
serepot ini. Aku takut Mas malah jadi boros dan capek. Kita kan masih bisa
berhubungan lewat telepon dan email, Mas.” Alisa pernah berkata.
“Aku hanya ingin
menikmati saat-saat bersamamu. Berapapun jauh jarak yang harus kutempuh.
Berapapun singkatnya waktu yang kita punya.”
Saat itu Alisa tak
bisa berkata apa-apa kecuali merebahkan kepalanya di bahu lelaki itu.
Alisa sedang
tersenyum mengenang kembali hari-hari indahnya bersama Danu ketika diingatkan
lagi dengan bayangan Bapak dan saputra.
“Bapak, Alisa sangat
mencintai Mas Danu. Laki-laki itu telah berkorban banyak untuk Alisa. Alisa
ingin memiliki Mas Danu sampai waktu yang tak terbatas. Ijinkan Alisa menolak
Saputra, Pak…” bisik hati Alisa. Semakin menguatkan tekadnya untuk tidak
menerima Saputra.
Ingatan Alisa
melayang pada beberapa bulan yang lalu saat Alisa mengajak Danu pulang ke
Wonosobo. Niatnya ingin memperkenalkan Danu pada keluarganya. Namun Bapak malah
berang tanpa alasan. Membuat Alisa sangat malu pada Danu. Untung Danu mau
mengerti dan tetap memberikan banyak limpahan cinta pada Alisa, meski saat itu
Danu pulang ke Jakarta dengan tatapan sangat terluka.
Sekarang Alisa tahu
alasan kemarahan Bapak, karena ia telah dijodohkan dengan putra Pak Nikun itu,
Saputra. Alisa tiba-tiba tak ingin bertemu Bapak. Alisa ingin kembali ke
pelukan Danu. Alisa merasa ia telah salah. Jikapun ia pulang, ia tak akan mampu
menolak. Alisa tak ingin pulang!
“Tuhan tolong aku…”
Airmata Alisa menitik.
Alisa buru-buru
menyekanya. Ia lalu celingukan, kuatir dua lelaki yang berdiri di dekatnya
melihat ia menangis di bus dan menganggapnya aneh. Tapi dua lelaki itu tampak
asyik dengan pikiran mereka sendiri-sendiri. Alisa lalu mengalihkan
pandangannya ke luar bus. Tapi yang didapatinya hanya gelap. Dari dinginnya
hawa yang menusuk, Alisa tahu saat ini ia ada di Kledung Pass. Tepat di antara
Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro.
Sedang berusaha
mencari-cari cahaya apapun yang menerangkan dimana ia berada, ketika lampu di
dalam bus mati.
Alisa gelagapan. Ia
berusaha menoleh kekanan dan kekiri. Mencari setitik terang. Namun ia hanya
merasakan dadanya menyesak. Sangat sesak… Alisa tak melihat apa-apa dalam
kegelapan itu.
Alisa terperangkap
dalam gelap.
***
“Sayang, ada apa?”
Suara laki-laki yang
sangat dikenalnya membuat Alisa buru-buru membuka mata.
Anehnya, yang ada di
hadapannya adalah pemandangan Stasiun Giwangan yang sibuk. Danu ada di
sampingnya. Tatapan mata elang laki-laki itu dilingkupi cemas.
“Mas Danu?”
“Ada apa? Kenapa
tiba-tiba kamu seperti mau pingsan?”
Alisa tak mampu
menjelaskan.
Bukankah baru saja
mereka mengalami perjalanan panjang dari Giwangan ke Magelang, dari Magelang ke
Secang. Alisa kemudian meninggalkan Danu di Secang menuju Wonosobo? Bukankah
baru saja Alisa masih berada di atas bus jurusan Semarang-Purwokerto yang aneh
itu?
Kenapa kini mereka
masih berada di Terminal Giwangan?
Alisa bangkit.
“Aku nggak jadi
pulang, Mas. Aku akan ikut kamu ke Jakarta saja.”
Danu terperangah.
Kecemasan di matanya berkali lipat, namun Alisa merasakan kebahagiaan di sorot
wajah lelakinya. “Alisa, kamu yakin?"
Alisa mengangguk
mantap. Ia bangkit. “Ayo kita pergi, Mas.”
Danu mengikutinya
bangkit.
Mereka kemudian
menuju pintu keluar terminal. Kali ini mereka melewati masjid kecil di depan
Terminal Giwangan itu. Alisa melihat lagi sosok di balik jendela. Sosok yang
sama yang dilihatnya di Mushola pertigaan Secang.
Kali ini Alisa
tersenyum pada sosok itu dan menggandeng Danu lebih erat.
*** Selesai ***
No comments:
Post a Comment