About Me

About Me
Writer, Pengelola Rumah Baca Istana Rumbia, Staff redaksi Tabloid Taman Plaza, Admin Yayasan CENDOL Universal Nikko (Koordinator bedah cerpen OCK), perias dan Make-up artist PELANGI Asosiasi Entertainment, Crew Wonosobo Costume Carnival dan Crew 'A' Event Organizer (Multazam Network), pernah bekerja di Hongkong dan Singapura. Cerpenis Terbaik VOI RRI 2011, dan diundang untuk Upacara HUT RI ke 66 di Istana Negara bersama Presiden RI. BMI Teladan yang mengikuti Sidang Paripurna DPR RI 2011 dan menjadi tamu Ketua DPD RI. Dinobatkan sebagai Pahlawan Devisa Penulis Cerpen BNP2TKI Tahun 2011. Pemuda Pelopor Dinas Pendidikan, pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Tengah kategori Seni-Budaya Tahun 2012. Menyukai langit, stasiun kereta, dan warna biru. Salah satu penulis Undangan Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali. Dapat dihubungi via Email FB/YM : Nessa_kartika@yahoo.com.

Friday, October 5, 2012

[Cerpen] SENANDUNG GERIMIS



Deg!
Jantungku berdegub kencang saat kudengar Mas Rahman mengucapkan kata, “tentara.”
Ada sesuatu menusuk ulu hatiku. Aku tak bisa menamainya. Rasa ini baru untuk pertama kalinya kurasakan. Bukan salah kakak sepupuku itu kalau ia ingin menjodohkanku. Usiaku dua puluh Sembilan, umur yang dimana-mana dianggap sudah kasep. Terlambat menikah. Dan bukan salah Mas Rahman juga kalau orang yang dijodohkannya denganku adalah seorang tentara.
“Dia saat ini bertugas di Makasar, Ran. Orangnya pulang bulan Oktober ini. Kalau kalian berjodoh, ia ingin segera menikahimu dan memboyongmu ke Makasar.”
Mas Rahman memberiku shock yang kedua dengan lancarnya. Seolah kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya sebatas kabar burung yang disebar setiap pagi oleh ibu-ibu kompleks saat bertemu di warung Mbak Nah.
“Mas tahu ini mengagetkanmu. Mas hanya ingin membantu. Pikirkan baik-baik, Ran. Kalau dia pulang, Mas Rahman juga akan ambil cuti dan pulang ke Wonosobo.”
Kakak sepupuku yang kini menjadi instuktur di Pusdik-Bekang Bandung itu lalu mengakhiri pembicaraan.
Aku hanya mampu menatap kosong pada benda bernama telepon genggam di tanganku. Pelan, aku mulai mencerna kalimat-kalimat yang dikirim oleh Mas Rahman baru saja.
“Profesinya tentara …,” gumamku tanpa sadar.
Otakku melanjutkan, jika aku menerimanya, aku harus siap melepaskan segalanya. Melepaskan kehidupanku di Wonosobo, melepaskan kebahagiaan sebagai wanita single, melepaskan kebebasanku … dan sebagai istri seorang Tentara aku harus siap ditinggal-tinggal. Siapkah aku?
***
Siang itu gerimis. Mutiara-mutiara langit berjatuhan dan menimbulkan bunyi kemeretak kecil di atap seng rumah. Setelah kemarau semusim, gerimis mampu sedikit menyiram kegersangan. Aku menatap ke arah dedaunan berbagai pepohonan di luar rumah. Debu luruh. Hanya gerimis, namun warna-warni alam yang selama ini dicuri oleh kemarau kembali lagi. Hijau menjadi hijau, merah menjadi merah. Seolah ada peri yang menyulap permukaan bumi … Tring! 
Kesenduan muncul begitu saja, mengamini situasi. Begitu juga dengan lelucon tentang kenyataan bahwa ternyata aku tidak menyukai kesendirian, namun aku merasa masih terlalu galau.
Aku mencorat-coret buku tulis yang kupegang dengan gambar benang kusut. Tak satu kata pun aku hasilkan, padahal seharusnya aku membuat draft untuk surat lamaran kerja dan curriculum vitae.
Endah yang datang padaku membawakan info lowongan pekerjaan dan untuk memaksaku melamar kerja di sebuah toko swalayan, akhirnya menjadi tempat membuang segala uneg-uneg. Itulah gunanya sahabat, bukan?
“Dipikir dulu baik-baik. Toh, kamu tak wajib menerima lamaran si Fana ini. Aku sebagai sahabat hanya bisa berdoa yang terbaik bagimu. Keputusan tetap di tanganmu,” kata Endah tanpa beban.
Aku sendiri tak tahu kenapa kali ini merasa begitu terbebani, ada yang memberatiku dalam perjodohan ini.
“Entahlah, Ndah. Rasanya semua belum nyata bagiku,” aku menyahuti sahabatku yang sedang hamil anak kedua itu menghadap sendiri sebaskom opak dan secobek sambel gosreh. Makanan favorit kami yang murah meriah.
“Jangan kebanyakan sambal, Ndah. Nanti bayimu cengeng,” kataku lagi memperingatkan.
“Apanya yang nggak nyata? Makasar? Fana? Atau tentara?” Endah tak menyahuti peringatanku. Baginya mengurusi soal perjodohanku lebih menarik.
“Sudah kubilang, aku tak keberatan dengan apapun profesi suamiku atau berasal darimana ia. Hanya saja, semua masih mengganjal. Ada hal-hal yang belum bisa kuterima secara normal,” kataku gamang.
Endah manggut-manggut. “Iya, sih. Kalau aku jadi kamu, aku juga pasti begitu.”
Lalu percakapan tentang Fana si Tentara pun berakhir di sini. Kami tersedot oleh kemagisan gerimis, membuat diam lebih menyenangkan daripada sekedar mengobrol. Menikmati DVD film Korea terbaru yang dibawa Endah sambil mengemil.
Pikiranku kembali sibuk. Aku menanti Oktober.
***
            Bulan Oktober datang seperti hama. Kuingin menghindari dan memberantasnya, tapi aku tak dapat mengembalikan waktu. Aku menjadi sangat jumpy, kaget oleh hal remeh temeh yang terjadi di sekitarku –terutama bunyi hape.
            Bunyi hape yang sesungguhnya kutunggu datang dua hari kemudian. Kali ini Mas Rahman memberitahuku bahwa temannya yang bernama Fana itu sudah berada di Wonosobo, tapi Fana akan menemuiku bersama Mas Rahman.
            “Aku sedang siap-siap mau pulang. Kalau aku berangkat nanti jam enam atau tujuh, aku sampai Wonosobo sekitar subuh.” Kakak sepupuku terdengar bersemangat.
            Ah, aku merasa berdosa.
            “Mas cuti berapa hari sih?”
            “Cuma dua hari. Besok malam aku kembali ke Bandung. Makanya aku ingin kamu mengambil keputusan yang tepat. Jangan sampai menyesal.”
            “Iyaaaaa … Iya, hati-hati di jalan. Tak usah buru-buru.”
            “Sip. Sampai jumpa besok. Dandan yang cantik. Aku yakin dia makin naksir kalau sepupuku lebih cantik orangnya daripada fotonya.”
            Aku garuk-garuk kepala, “foto mana sih yang dia lihat?”
            “Sudah kubilang yang kamu pakai bando pas pada ke Bandung, itu lah ….”
            I’m totally forget.
            “Dia sudah tau foto aku, kenapa aku nggak dikasih lihat fotonya?” aku merajuk.
            “Besok juga kamu lihat orangnya.”
            “Curang,” cibirku.
            “Dan siap-siap aja berkata ‘I do’
            “Norak!” rutukku.
            “Kenapa? Kalau bisa kasih aja aku jawabannya sekarang juga. Jadi besok aku tinggal menikahkan kalian.”
            “Idih, dimana keadilan? Ini bukan jamannya Siti Nurbaya kaliiiii …,” elakku.
“Iya, iya. Kamu memang harus melihat orangnya dulu.” Kakak sepupuku tertawa dan menutup telepon.
            Aku lupa aku masih belum memutuskan apa-apa, karena aku tak tahu apa yang harus kupikirkan.
***
            Gerimis tumpah lagi. Hanya gerimis. Tak pernah naik skalanya menjadi hujan yang menyegarkan. Tidak juga sampai membuat kota asri ini basah. Hanya butiran-butiran penanda musim panas yang panjang usai sudah.
            Menyambar jaket pink-ku, kuterobos gerimis.
            Aku melarikan motorku ke arah selatan. Menuju rumah budheku di Selomerto. Mas Rahman menungguku di rumah ibunya. Aku tahu pasti temannya yang bernama Fana ini sudah berada di sana.
            Aku merasakan wajahku merona.
“Apa-apaan ini?” desisku. Tak mungkin aku tertarik pada Fana sebelum aku bertemu orangnya. Tak mungkin aku menyerah begitu saja pada Makasar dan Tentara. Tak mungkiiiiin …
Kenyataannya, hati kecilku tak berhenti berdebat tentang waktu. Musim hujan datang lagi dan tahun akan berganti. Usiaku akan bertambah. Aku akan menjadi tua dan akan tetap tanpa pendamping jika usaha Mas Rahman menjodohkanku kali ini gagal.
Aku tak ingin menghitung berapa perjodohan yang kugagalkan karena ketololanku. Ketidakmampuanku mengambil keputusan. Hasilnya? Endah, sahabat yang seumur denganku kini sudah punya putra dan sedang hamil lagi. Aku masih tetap sendiri.
            Bermalam-malam aku mencoba mengartikan rasa ngilu yang menusuk ketika pertama kutahu profesi Fana adalah tentara. Mungkinkah itu karena aku bahagia? Akhirnya menemukan laki-laki mapan? Putera Negara? Memang selama ini berulangkali sahabat dan keluargaku berusaha menjodohkanku dengan berbagai macam laki-laki. Selalu kutolak dengan alasan belum cocok.
Tapi, aku tak pernah merasa seperti ini.
Pikiranku berkecamuk dalam gerimis. Fokusku mengendarai motor buyar. Di pertigaan stopan Selomerto, aku bertabrakan dengan sebuah mobil pick-up.
***
            Bau anyir dan gelombang gelap menghantamku, membuatku ingin tidur saja, tak usah bernafas saja, namun rasa seperti perut terinjak membuatku muntah. Dan aku sadar.
            Alam tak beraturan, bayangan warna-warninya menjadi ganda… menjadi tiga. Aku merasakan orang-orang bicara, namun hanya denging di telingaku. Aku kembali terpejam.
***
            Di luar masih gerimis, belum menjadi hujan.
            Ingin aku bangkit, membuka jendela dan mencium aroma air langit, namun aku belum sanggup hidup tanpa mesin-mesin dan selang yang dihubungkan ke tubuhku oleh dokter.
            “Ini keajaiban bahwa kamu baik-baik saja, otak berfungsi sempurna dan tak mengalami luka berarti.” Dokter mencatat sesuatu di berkasnya. “Entah apa yang membuatmu koma sekian lama,” katanya lagi sebelum beranjak keluar dari bangsalku menuju pasien yang lainnya.
            Sekian lama?
            Ya, aku koma selama sebulan. Gila kan? Otakku bahkan masih berfungsi untuk mengingat setiap detail sebulan yang lalu dan sebelum-sebelumnya. Aku baik-baik saja. Dokter sudah meyakinkanku dengan bolak-balik men-scan kepalaku. Bolak-balik dalam artian sebenarnya.
            Aku merasakan gerimis mulai turun di wajahku. Menyesali waktu, memaki takdir. Tuhan sedang bercanda dengan aku.
            Ibu dan Endah masuk ke kamar perawatan. Melihatku yang menangis, mereka segera memelukku.
            “Haish, jangan menangis. Yang penting sekarang kamu baik-baik saja,” kata Ibu dan Endah seirama.
            Aku hanya terdiam, di tanganku menggenggam sebuah foto, foto Fana yang diambil Endah ketika ia menungguiku koma di Rumah Sakit.
“Dia terus berbicara padamu meski kamu koma saat itu. Dia bersungguh-sungguh telah jatuh cinta padamu,” kata Endah.
 Aku menatapnya. Setelah melihat Fana meski dalam gambar, perasaanku tak berubah dari sebelumnya, bukan tampang yang kujadikan patokan. Namun, hatiku makin yakin bahwa selama ini aku menunggu laki-laki sepertinya. Bukan karena tampangnya atau karena dia tentara, tapi kesungguhannya.
           Fana sudah kembali ke Makasar, bersama janjinya untuk pulang untukku. Janjiku untuknya : jika dia pulang lagi nanti, aku sudah punya jawaban untuknya. 
           Perlahan ... gerimis menjadi hujan. [NeKa]     

Suka terharu dengan pernikahan anggota TNI. Kalau ngrias ceweknya selalu membuatku berpikir. Semoga mereka semua bahagia. Amin.
 

SELAMAT HARI TNI ke 67
Dirgahayu!

No comments:

Post a Comment