Sebenarnya ini laporan pandangan mata yang gaje. Ga jelas bo… tapi cukup mengganggu pikiranku.
Sebelumnya aku mau jujur dulu. Aku ga baca satupun buku Djenar Maesa Ayu. Ga punya dan selalu gagal saat mau pinjem. Tapi kekontroversialannya yang termasyur kemana-mana membuatku tahu type tulisan-tulisannya.
Suatu ketika, aku menulis tentang seorang pelacur bernama Samy. Tapi bukan tentang pelacuran yang kubahas dalam cerpen itu. Cerpen bergenre misteri ini mengulas juga tentang sisi psikologis Samy. Thriller.
Dari 13 penulis dalam buku itu, (100 Topeng Kematian-Leutika Prio 2011). Hanya cerpenku yang didebatkan paling panjang. Bahkan hamper saja membuat buku itu gagal terbit. Memang sangat kecewa. Karena tokohnya memang pelacur, tapi ada sisi kemanusiaan di sana yang kuangkat.
Aku tidak berkaca pada karya siapapun. Karena saat itu aku termasuk ga pernah baca karya siapapun. Sangat jarang aku bertemu dengan buku karya penulis Indonesia. Hanya sesekali, tidak pasti enam bulan sekali majikan mengajakku ke Library dan membiarkanku meminjam 2 buku dari jatah 6 buku dari Library. Stok buku di Library juga terbatas. Yang kutemui kebanyakan adalah karya penulis Indonesia yang sudah di-malay-kan. Diterjemahkan dalam bahasa Melayu. Kalau sudah gitu… aku menyerah. Aku gagal pinjam. Pusing membaca bahasa malay. Meski agak mirip tapi beda.
Aku berkaca pada Djenar dan karya-karyanya yang meskipun tak kubaca. Pikirku, “Djenar aja bisa… kenapa aku engga?”
Aku tetap kekeuh tidak mengganti cerpenku dengan cerpen lain. Cerpenku yang berjudul Tamu Masa Lalu, secara tidak langsung lolos karena motivasi dari seorang penulis wanita bernama Djenar Maesa Ayu.
Aku kemudian pulang ke Indonesia. Sempat mencari-cari bukunya, namun apalah daya tinggal di kota kecil yang hanya punya satu toko buku kecil, itupun isinya buku-buku returan. (Ga niat banget yah? Hehehe…)
Sampai kesempatan berjumpa langsung dengan Djenar muncul di depan mata.
-oOo_
Oh My God!
Begitu melihat nama Djenar dalam daftar penulis Ubud Writers And Readers Festivaol di Ubud, Bali. Aku langsung melingkari main program di mana Djenar akan berbicara di panel.
Minggu, 9 Oktober 2011. Mulai sekitar pukul 11 AM di Indus Restaurant, Ubud.
Hari itu sebenarnya jadwalku check out dan menuju bandara Ngurah Rai Denpasar yang jaraknya satu jam dari Ubud. Untuk penerbangan jam 15.15WITA. aku harus sudah check out jam 12 dan tiba di Bandara untuk Check in jam 2.
Tapi aku masih memaksa Mas Donatus, Swiestien dan Mbak Dela untuk menemaniku masuk ke panel Djenar yang saat itu bersama Mbak Avianti Armand dan Julia Suyahadikusuma.
Aku harus melihat Djenar dan mengatakan langsung padanya betapa dia memotivasiku. Tentu saja tak akan kukatakan aku belum membaca buku-bukunya. Hahahaha…
Di panel Djenar aku berjumpa Uthaya, sahabat baruku penulis dari Malaysia. Kukatakan pada Uthaya bahwa Djenar idolaku. Uthaya, seperti sekitar seratus hadirin (mayoritas bule… eh, ada Mba Clara Ng juga loh) agak heran melihat ‘idolaku’ yang saat itu mengenakan baju supermini, memegang sebuah rokok, menghadap sebotol bir yang terus mengalir ke mulutnya.
Aku tersenyum melihat keheranan Uthaya, apalagi saat moderator bilang bahwa Djenar itu udah jadi seorang nenek. Makin heran lah kawanku ini pastinya.
“U got ur character, Djenar.” J
Tema panel kali ini adalah The Motherland. Bagaimana tanah air menyikapi karya mereka yang bisa dibilang banyak dibicarakan dan banyak dikecam.
Well, agak kecewa saat Djenar lebih memilih untuk bicara dalam bahasa Indonesia padahal aku bisa melihat jelas kemampuan bahasa Inggris Djenar. (Siapa aku? :D) Tapi selebihnya keren. Bunda Julia sih bahasa Inggrisnya TOP BGT. Tapi Mbak Avianti tuh waktu intro udah pakai bahasa Inggris, pertanyaan berikutnya kok jawabnya pakai bahasa Indonesia? :D
Hadeeeuh … aku kok malah ngomongin soal bahasa sih? *plak!
Moderator bertanya tentang karya-karya para penulis wanita itu,(yang disebut sebagian kalangan sebagai sastrawangi). Apakah sebagai penulis minoritas, mereka tidak merasa terancam?
Djenar jelas merasa tidak terancam sama sekali. Tentu saja, karena menurut Djenar dan beberapa hadirin, Djenar lah yang mengancam. Hahaha.. Aku kurang faham dalam hal apa ancam-mengancam itu berhubungan dengan sastrawangi. Karena bagaimanapun, meskipun aku bukan penulis betulan yang menguasai sastra. Tetap saja aku termasuk penulis wanita (dari kalangan buruh) dan berhubungan dengan sastrawangi.
Djenar sempat mengeluh begini : "Ketika saya menggunakan kata 'memek', semua orang ribut. Tapi ketika penulis lain seperti Putu Wijaya menggunakan kata 'memek' yang sama, media besar seperti Kompas pun tetap memuatnya."
Kupikir aku akan mendengar lebih tentang bagaimana sastrawangi yang dimaksud, namun panel banyak berisi candaan dari Djenar yang membuatku makin bingung.
Terutama saat salah seorang penulis pria dari Iran yang hadir, bertanya tentang kebiasaan Djenar (dan ditunjukkannya saat itu) minum, merokok dan keluar malam.
Djenar mengaku ia nyaman menjadi dirinya. Bahkan hal ini ia tegaskan pula pada -mantan- suaminya. Bagaimana Djenar tidak suka dia dilarang-larang. Itu sebabnya mereka berpisah. *maaf aku jadi ngegosip.
"So, I ask you. If your husband drunk and come home late, are you going to allow him?" tanya penulis dari Iran itu.
Djenar mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. "Of course!"
"All the best!" sahut si Penulis Iran, mendoakan Djenar.
Aku nyengir aja. Semua hadirin bertepuk tangan.
Moderator bertanya tentang karya-karya para penulis wanita itu,(yang disebut sebagian kalangan sebagai sastrawangi). Apakah sebagai penulis minoritas, mereka tidak merasa terancam?
Djenar jelas merasa tidak terancam sama sekali. Tentu saja, karena menurut Djenar dan beberapa hadirin, Djenar lah yang mengancam. Hahaha.. Aku kurang faham dalam hal apa ancam-mengancam itu berhubungan dengan sastrawangi. Karena bagaimanapun, meskipun aku bukan penulis betulan yang menguasai sastra. Tetap saja aku termasuk penulis wanita (dari kalangan buruh) dan berhubungan dengan sastrawangi.
Djenar sempat mengeluh begini : "Ketika saya menggunakan kata 'memek', semua orang ribut. Tapi ketika penulis lain seperti Putu Wijaya menggunakan kata 'memek' yang sama, media besar seperti Kompas pun tetap memuatnya."
Kupikir aku akan mendengar lebih tentang bagaimana sastrawangi yang dimaksud, namun panel banyak berisi candaan dari Djenar yang membuatku makin bingung.
Terutama saat salah seorang penulis pria dari Iran yang hadir, bertanya tentang kebiasaan Djenar (dan ditunjukkannya saat itu) minum, merokok dan keluar malam.
Djenar mengaku ia nyaman menjadi dirinya. Bahkan hal ini ia tegaskan pula pada -mantan- suaminya. Bagaimana Djenar tidak suka dia dilarang-larang. Itu sebabnya mereka berpisah. *maaf aku jadi ngegosip.
"So, I ask you. If your husband drunk and come home late, are you going to allow him?" tanya penulis dari Iran itu.
Djenar mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. "Of course!"
"All the best!" sahut si Penulis Iran, mendoakan Djenar.
Aku nyengir aja. Semua hadirin bertepuk tangan.
Aku suka saat Djenar mengatakan bahwa dia malah senang kalau karya-karyanya dibicarakan (dikecam) karena bagaimanapun efek sampingnya adalah publikasi terhadap buku-bukunya. Iya juga yah… Pinter dia. :D
Aku jadi makin penasaran dengan apa yang ditulisnya selama ini. Aku menunggu karyanya berikutnya.
Saat ada yang bertanya apa yang sedang dia tulis sekarang?
Djenar dengan enteng menjawab, "tergantung siapa yang saya tiduri." Setelah itu ia mengaku ia sedang menulis dua scenario dan satu novel berjudul “Ranjang”.
Di bagian ini, Djenar agak curhat dengan bercanda.
"Novel ini sudah saya kerjakan selama 5 tahun, namun mentok. Mungkin karena selama ini saya hanya tidur dengan satu orang saja... Setelah event ini, saya akan tidur dengan lebih banyak orang biar novel saya cepat selesai." katanya.
(Kamu percaya?)
Saat ada yang bertanya apa yang sedang dia tulis sekarang?
Djenar dengan enteng menjawab, "tergantung siapa yang saya tiduri." Setelah itu ia mengaku ia sedang menulis dua scenario dan satu novel berjudul “Ranjang”.
Di bagian ini, Djenar agak curhat dengan bercanda.
"Novel ini sudah saya kerjakan selama 5 tahun, namun mentok. Mungkin karena selama ini saya hanya tidur dengan satu orang saja... Setelah event ini, saya akan tidur dengan lebih banyak orang biar novel saya cepat selesai." katanya.
(Kamu percaya?)
Hmmmm…
Mungkin selama aku belum baca, aku hanya akan menganggap Djenar menulis tentang itu-itu aja. Hehehe…
Mungkin selama aku belum baca, aku hanya akan menganggap Djenar menulis tentang itu-itu aja. Hehehe…
Aku seneng banget ketika kesempatan untuk ngobrol dan berfoto ria muncul juga.
"Mbak Djenar, makasih ya udah menginspirasi saya..." kataku dengan Pede-nya tapi Djenar malah dengan ramah menyambutku. Bahkan tak sungkan memelukku. Ah... satu lagi yang harus kulakukan kalau aku jadi penulis tenar seperti Djenar. TETAP RENDAH HATI.
-oOo-
Kesampaian sudah keinginanku yang terakhir di acara UWRF ini. Aku akhirnya dapat meninggalkan Ubud dengan tenang. (Apalagi Pak Agung udah menunggu dengan was-was di depan Indus, kuatir aku ketinggalan pesawat. Untung aja ga sampai ketinggalan pesawat… Wuih…)
Kutinggalkan Ubud saat panel Andrea Hirata dimulai. Sayang sekali yah? Tapi minimal aku udah cukup banyak kali ketemu dan ngobrol ma Mas Andre… :D *jangan pada iri yah…?
UWRF coooool… Moga tahun depan diundang lagi. Hehehe… Padahal nulis aja masih tertatih niiiihhh… Tunggu karyaku… Siapa tau aku bisa sekeren Djenar.
Ayo Djenar, tahun depan ngomongnya pakai bahasa Inggris yah! Aku tau kamu bisa…! :)
aku tidak menangkap sisi mbak Djenar di sini, karena lebih menceritakan sisi penulisnya serta kesibukannya di sana-sini.... :)
ReplyDeletebtw, it's okay!
Hahahaha... karena Djenar memang tidak bercerita apa-apa selain yang kutulis itu tadi. Selain itu... aku ga mau bergosip, bang Donald :D
ReplyDelete