About Me

About Me
Writer, Pengelola Rumah Baca Istana Rumbia, Staff redaksi Tabloid Taman Plaza, Admin Yayasan CENDOL Universal Nikko (Koordinator bedah cerpen OCK), perias dan Make-up artist PELANGI Asosiasi Entertainment, Crew Wonosobo Costume Carnival dan Crew 'A' Event Organizer (Multazam Network), pernah bekerja di Hongkong dan Singapura. Cerpenis Terbaik VOI RRI 2011, dan diundang untuk Upacara HUT RI ke 66 di Istana Negara bersama Presiden RI. BMI Teladan yang mengikuti Sidang Paripurna DPR RI 2011 dan menjadi tamu Ketua DPD RI. Dinobatkan sebagai Pahlawan Devisa Penulis Cerpen BNP2TKI Tahun 2011. Pemuda Pelopor Dinas Pendidikan, pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Tengah kategori Seni-Budaya Tahun 2012. Menyukai langit, stasiun kereta, dan warna biru. Salah satu penulis Undangan Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali. Dapat dihubungi via Email FB/YM : Nessa_kartika@yahoo.com.

Monday, December 13, 2010

[CERPEN] "RUMAH AKONG"

By. Nessa Kartika

Aku memanggilnya Akong. Nama kecilnya adalah Tan Ah Beng. Lelaki kecil tua renta dengan rambut kelabu yang mulai menipis dikepalanya ini, masih tersenyum saat aku meninggalkan kedai yang menjual aneka macam minuman tempatnya bekerja.

Akong adalah lelaki yang baik hati dan tidak membosankan. Berbeda dengan lansia-lansia lain yang kutemui di seluruh sudut warung kopi ini. Mereka bercengkrama disana hanya untuk melewatkan hari tua mereka daripada bosan di rumah. Akong ini selalu ada disana kapanpun aku kesana. Seolah-olah tak pernah pulang ke rumahnya. Bahkan saat ia tak perlu bekerjapun ia akan tetap ada disana.

Akong selalu menyempatkan waktu untuk ngobrol denganku saat jam-jam makanku. Bagiku Akong sudah seperti kakekku sendiri. Aku tinggal sendirian sejak lulus sekolah. Meski orangtua dan nenek-kakekku masih hidup, hanya kadang-kadang saja aku melihat mereka.

Dari percakapan kami. Kesimpulanku, Akong bekerja bukan untuk uang. Tunjangan hari tua yang diterimanya dari pemerintah lebih dari cukup untuk makan sehari-hari dan membayar pengobatan tubuh rentanya.

Lalu mengapa Akong bekerja?

Karena bagi Akong rumah bukanlah lagi menjadi rumah.

***

“Warung kopi inilah rumahku kini.” Katanya padaku dengan nada getir siang itu. Untuk pertama kalinya kulihat buliran hujan dibalik matanya yang telah rabun karena katarak yang dideritanya.

“Tapi anak dan istrimu ‘kan dirumah semua.” Tanyaku. Aku tahu istri dan anak-anaknya. Kadang-kadang aku melihat mereka atau kebetulan bersama denganku naik lift pulang pergi ke rumah. Meski kami tak pernah saling menyapa. Biasanya karena aku terlalu sibuk dengan gadget mainan di tanganku. Akong dan keluarganya tinggal di lantai tujuh. Rumahku sepuluh tingkat diatasnya.

Akong mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Seolah takut ada orang lain yang akan mendengar rahasianya. Koran pagi yang sedang berusaha dibacanya dari balik kacamata berkibar-kibar tertiup angin dari kipas yang terletak tepat di atas kepala kami. Kutahu Akong akan bercerita. Dengan sabar aku menunggunya mulai berbicara.

***

Duapuluhan tahun yang lalu.

Akong muda gemar berjudi. Dari 4D, Toto, judi balap kuda sampai judi sepakbola. Sekali pasang bisa ratusan dolar ia mengadu keberuntungannya. Memang kadang menang… tapi itupun tak seberapa. Tak sebanding dengan uang taruhannya.

Puncaknya keserakahan membuat Akong mulai gila judi. Dia keranjingan judi sampai tega menjual barang-barang berharga di rumahnya. Istrinya dan dua anaknya yang telah menginjak remajapun mulai tak diperdulikannya.

Tak ada lagi uang, Akong berusaha menjual rumahnya. Beruntung, Awi, anak lelaki sulungnya. Berhasil mencegah ibunya untuk menandatangani surat jual-beli. Surat yang disodorkan ayahnya dengan sumpah serapah dan ancaman pada ibunya itu dirobek oleh Awi.

Tak berhasil menjual rumah. Akong lari ke rentenir. Ribuan dolar dipinjamnya namun pada akhirnya ia tak bisa mengembalikan. Jadilah Hutang akong menumpuk. Rumah dan keluarga pun menjadi sasaran gangguan dan terror dari geng yang disewa lintah darat yang meminjamkan uang pada Akong.

Berkali-kali rumah mereka disiram dengan cat merah menyala dengan graffiti ‘O$P$’ (Owe Money, Pay Money) "Bayar Hutangmu!!" Di seluruh tembok dari lantai dasar ke lantai tujuh. Bahkan lift pun tak jarang menjadi sasaran tumpahan cat merah itu di seluruh sisinya. Berkali-kali pula Akong menjadi sasaran amukan para ah Long (Rentenir) ini. Pulang ke rumah dengan lebam dan luka di sekujur tubuhnya. Akhirnya Awi menjual sepeda motornya untuk menutup utang-utang ayahnya.



Awi bahkan pergi ke Warung kopi untuk mengancam siapapun disana. “Kalian semua jangan pernah pinjamkan uang pada ayahku… Apapun yang terjadi! Kalau ada yang masih meminjamkan, aku tak akan membayarmu untuknya. Dia bukan ayahku lagi.” Katanya pada semua teman kerja ayahnya.

Sejak itu, Akong berhenti berjudi. Berhenti pulalah hubungan ayah-anak antara Akong dan Awi. Istri Akong pun pindah tidur bersama anak perempuannya. Meski mereka masih serumah, namun tiada lagi kehangatan di keluarga ini. Tiada lagi percakapan normal layaknya ayah, ibu dan anak.

Rumah, tak lagi menyambut Akong.

***

Aku menepuk bahu Akong. Kucoba menbersihkan cekat di tenggorokanku. Aku tersenyum pada Akong yang balik tersenyum padaku.
“Sabar, Akong.” Kataku.
“Iya, Ryan. Terimakasih selalu menemaniku ngobrol.”
Aku mengangguk, menengok jam di pergelangan tanganku. Aku punya kencan dengan Angela, calon istriku, limabelas menit lagi. “Aku harus pergi.” Kataku.
Akong menganggukan kepala. Lelaki yang umurnya tiga kali umurku ini memandangiku lekat.
Kutinggalkan Akong dengan suatu perasaan aneh. Ada yang lain. Tapi kusingkirkan semua pikiran yang menyimpang.

***

Minggu jam sepuluhan pagi kuterbangun karena berisik di bawah blokku. Biasanya hari minggu begini aku akan tidur sampai tengah hari. Malas-malasan aku bangkit. Rasa ingin tahu membuatku mencoba intip keriuhan itu dari jendela. Namun aku tak dapat melihat apa-apa. Hanya mobil polisi disana dengan beberapa petugas berseragam biru. Merasa tak ada hubungannya denganku, aku tidur lagi.

***

Senin, Jam 7 pagi keesokan harinya. Aku terbangun dengan perut kelaparan dan sakit kepala. Aku ingat, Semalam aku pergi ke pesta perkawinan rekan kantorku. Mereka mencekokiku dengan beberapa gelas minuman. Aku yang tak terbiasa minum, ambruk. Terpaksa kawan-kawanku mengantarku pulang. Sekarang kepalaku mau pecah tapi aku tetap harus pergi kerja. Segera kukenakan baju kerjaku. Kusambar handphone, kunci mobil dan dompetku. Aku turun ke warung kopi. Membutuhkan dengan segera secangkir kopi dan sepiring nasi sebelum berangkat  ke tempat kerja.

Akong ada disana seperti biasa. Ia tersenyum sumringah padaku ia melambaikan tangannya, menyuruhku duduk bersamanya. Aku membalas senyumnya. Kupesan seporsi nasi ayam dan kopi pahit kosong sebelum kuhampiri Akong.

“Hai… Akong…” Sapaku, “Sudah makan belum?”
“Sudah. Ayo duduk sini.” Katanya. Tangan tuanya menarik satu kursi plastic warung kopi disisinya untukku. Aku menurutinya duduk disana.
“Lagi gembira ya?” Tanyaku heran dengan raut mukanya yang terlihat begitu gembira.
“Iya… aku gembira sekali, Ryan.” jawab Akong.
“Ceritakan padaku…” kataku.
Akong mengangguk.

Kemarin pulang dari kopitiam Akong merasa ada yang aneh. Istrinya yang biasanya bersantai didepan televisi tak terlihat. Padahal sandalnya ada di depan rumah. Pintu pun tak terkunci. Akong masuk rumah sambil terheran-heran. Selama duapuluh tahun terakhir ini Akong terbiasa dengan kesunyian rumah dan aksi diam istrinya. Namun hari itu semua terasa berbeda.

Menuruti naluri, Akongpun memeriksa seluruh isi rumah. Kamar Awi, anak laki-lakinya yang kini telah menikah kosong dan tampak biasa-biasa saja. Ia ke kamar istri dan anak perempuannya. Kamar itu ternyata berantakan dan berbau mencurigakan. Dibukanya kamarnya sendiri. Sama berantakannya.

Akong yakin ada yang tidak beres. Ia pergi ke dapur. Disanalah ia mendengar gaduh yang membuat nyalinya kecut. Ia juga mendengar suara istrinya merintih minta tolong. Tiba-tiba muncul lelaki asing kekar berkulit hitam. Perampok!

Akong segera meneriaki rampok itu dan menerjangnya hingga lelaki itu tak sadarkan diri di lantai dapur. Barang-barang hasil jarahannya terserak di lantai. Akong mendapati istrinya diikat dan dibungkam di kamar mandi. Segera ia memanggil polisi. Beberapa menit kemudian polisi berdatangan.

“Owh… jadi itu sebabnya kemarin kulihat banyak polisi di bawah blok…” Kataku.
Akong mengangguk-angguk lagi. “Aku senang karena sekarang istriku mau bicara denganku lagi. Anak-anakku pun sudah mulai tersenyum padaku. Kini aku bisa pulang ke rumah dengan hati bahagia. Mereka semua menyambutku..” Katanya dengan senyum yang luarbiasa tulusnya."Aku bisa kembali pulang ke rumah..."
Aku ikut gembira. Akhirnya Akong mempunyai rumah yang benar-benar menjadi tempatnya pulang di masa senjanya.
Nasi ayam pesananku sudah terhidang di meja. Rasa gembira membuat nafsu makanku bertambah.
Akong bangkit. “Kamu makanlah… Aku pulang ke rumah dulu. Jaga diri kamu baik-baik ya…” Kata Akong yang segera melangkah pergi tak menungguku menjawab.

Aku menyantap sarapanku.

Kulihat Koran pagi Akong tergeletak di meja. Kutengok kemana-mana Akong sudah tak tampak. Iseng kubuka dan kubaca Koran itu.

Kubaca halaman pertama. Berita tentang perampokan.

SENIN - Pembunuhan sadis bermotif perampokan terjadi Lantai 7 Kartika Street. Kakek Tan Ah Beng (70) dan Istrinya Mutiara (65) ditemukan tewas dengan luka di bagian leher oleh anaknya, Awi (40), Minggu (12/12) pagi hari sekitar pukul 08.30.

***

Singapore, 12 Dec 2010
(Memenuhi janjiku pada Bunda Faradina untuk menulis tentang Singapura)

No comments:

Post a Comment