About Me

About Me
Writer, Pengelola Rumah Baca Istana Rumbia, Staff redaksi Tabloid Taman Plaza, Admin Yayasan CENDOL Universal Nikko (Koordinator bedah cerpen OCK), perias dan Make-up artist PELANGI Asosiasi Entertainment, Crew Wonosobo Costume Carnival dan Crew 'A' Event Organizer (Multazam Network), pernah bekerja di Hongkong dan Singapura. Cerpenis Terbaik VOI RRI 2011, dan diundang untuk Upacara HUT RI ke 66 di Istana Negara bersama Presiden RI. BMI Teladan yang mengikuti Sidang Paripurna DPR RI 2011 dan menjadi tamu Ketua DPD RI. Dinobatkan sebagai Pahlawan Devisa Penulis Cerpen BNP2TKI Tahun 2011. Pemuda Pelopor Dinas Pendidikan, pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Tengah kategori Seni-Budaya Tahun 2012. Menyukai langit, stasiun kereta, dan warna biru. Salah satu penulis Undangan Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali. Dapat dihubungi via Email FB/YM : Nessa_kartika@yahoo.com.

Wednesday, February 16, 2011

[BUKU] Sakban Rosidi Saminoe, Suka-Duka Merawat Cinta

Suka-Duka Merawat Cinta[1]

by Sakban Rosidi Saminoe on Wednesday, February 16, 2011 at 11:35pm



Sakban Rosidi[2]
Ketika membina kelas Australian Society and Culture di sebuah perguruan tinggi bahasa dan sastra asing, saya menganjurkan para peserta kuliah membaca tak hanya sejumlah bahan bacaan wajib, tetapi juga menganjurkan paling tidak dua bacaan penyegar, antara lain karya Ratih Hardjono[3], dan karya Ruhan Tagar.[4]
Setelah perkuliahan selesai, peserta kuliah lebih banyak mengingat berbagai persoalan perjumpaan lintas budaya melalui buku berpendekatan populer ketimbang monograf akademik. Walhasil, mahasiswa muslim memahami dengan baik bagaimana ibadah Bulan Ramadhan dan perayaan Iedul Fitri bisa menimbulkan persoalan tersendiri bagi muslim Indonesia yang bermukim di luar negeri, termasuk di Australia.
Kesamaan dan kebersamaan muslim Indonesia di tanah air --- yang tak jarang muncul sebagai bentuk kendali sosial --- menjadikan ibadah Bulan Ramadhan dan perayaan Iedul Fitri sebagai hajat bersama. Demikian pun, informasi mengenai kapan mulai berpuasa dan kapan merayakan Iedul Fitri, akan dengan mudah didapatkan di tanah air.
Jam segini kok belum ada konfirmasi. Kalau di Indonesia pasti sudah takbiran. Aku cemas.
"Terus gimana dong…"
"Telepon aja lagi, entar…"
Tak ada jalan lain. Jam setengah sepuluh malam, aku sudah sangat mengantuk. Sebelum tidur aku menelepon ke Konsulat. Jawabnya, "Masih belum ada konfirmasi."
Ya sudah, akhirnya aku tidur. Mungkin lebarannya esok lusa.
Ketika keesokan hari aku bangun, aku tak jadi libur. Aku masuk kerja, dan bilang kepada bos supaya mengundurkan liburku sehari.
"Kenapa?"
"Karena alasan teknis yang susah dijelaskan, dan kami tidak memakai kalender internasional, tapi kalender Islam."
Selesai kerja, aku segera menelepon Konsulat.
"Bagaimana Pak, lebarannya kapan?"
"Hari ini. Tadi pagi sudah diselenggarakan sembahyang Ied di Manchville."
"Ya, ampun. Jadi saya masih puasa di hari Lebaran."
"Tapi enggak apa-apa. Kamu masih bisa merayakan bersama orang-orang Arab. Mereka merayakan Lebaran besok pagi!"
Benar. Akhirnya, aku merayakan Lebaran bersama orang-orang Arab di sebuah mesjid Arab.[5]
Memang tidak banyak tulisan tentang ibadah Bulan Ramadhan dan perayaan Iedul Fitri yang ditulis oleh bukan agamawan Islam. Kalaupun tidak bisa disebut langka, paling tidak buku ini harus dikategorikan sebagai salah satu dari yang sedikit tersebut. Karena itu, buku ini pun cenderung menjadi unik dan menarik.
Kalau tulisan para agamawan Islam berkisar pada maksud, keutamaan, hikmah dan tata-cara ibadah-ibadah Bulan Ramadhan, maka tulisan muslim Indonesia --- baik karena sedang bekerja maupun sedang belajar --- dalam buku ini menuturkan pengalaman nyata mereka menjalankan ibadah Bulan Ramadan di berbagai negara, anta lain Hong Kong, Korea, Taiwan, Malaysia, Singapura, Jepang, Amerika, dan Finlandia.
Kalau tulisan para agamawan Islam membesarkan hati ummat karena para setan akan dibelenggu selama Bulan Ramadan, tulisan Muslim Indonesia dalam buku ini justru membuktikan betapa godaan dan rintangan tak hanya datang dari para setan. Selain dari diri sendiri, godaan dan rintangan juga datang dari majikan, kawan-kawan, warga sekitar, dan bahkan orang-orang yang menaruh rasa sayang kepada mereka. Bagaimana tidak?
Seorang teman di tempat kerja part time juga pernah mengingatkan saya tentang pentingnya minum. Menurut dia, saya harus berdoa kepada Tuhan supaya boleh minum selama bekerja, karena bekerja itu penting dan segalanya. Saya jadi belajar makna bekerja bagi orang Jepang. Bagi mereka, bekerja keras dan sungguh-sungguh adalah hal penting yang perlu mendapat dispensasi dari ketentuan ibadah.[6]
Sejumlah pengalaman nyata, dari yang mengherankan hingga memprihatinkan timbul karena perbedaan mencolok dalam keyakinan, budaya, serta norma-norma sosial antara penulis dengan masyarakat setempat. Beberapa penulis berasal-usul sosial perkampungan muslim Indonesia, dan bahkan ada yang pernah tinggal cukup lama di Arab Saudi. Karena itu, praktis buku ini menyerupai kajian perbandingan menjalankan ibadah Bulan Ramadhan hingga Iedul Fitri secara lintas budaya Indonesia, Asia Tenggara, Eropa, Asia Timur Tengah, Amerika, dan Asia Timur.
“Kamu tidak lapar?” tanya nyonyaku saat mereka makan siang, “Makan sedikit saja, masa tidak boleh?”
“Kami sudah terbiasa, Nyonya,” jawabku teriring senyum.
“Kalian memang aneh! Tuhan kalian itu juga aneh. Masa tidak boleh makan sebulan penuh? Gila!” nenekku menambahi.
Aku tahu makna dari kata-katanya. Itu bukan untuk menghina Allah, Tuhanku, melainkan mereka tidak memahami-Nya. Berkali-kali aku menjelaskan, tetapi mereka tak paham jua. Yah, mungkin sama halnya ketika aku bertanya kenapa saat sembahyangan mereka membakar kertas-kertas. Allahhualam….
“Cece, makan, ya, dikit saja,” ujar momonganku.
Aku menggeleng. “Nanti jam tujuh cece baru makan,” jawabku menjelaskan.
Seisi rumah majikanku hanya bisa geleng-geleng kepala tanda tak akan pernah paham.[7]
Kalau Tuhan saja disebut gila, maka semestinya mereka yang mematuhi perintah “Tuhan Gila”, pasti juga bodoh. Pengalaman disebut bodoh ini pula yang dihadapi oleh seorang rekan yang bekerja di Taiwan.
Apa tanggapan majikanku atas penjelasanku? Sungguh mengejutkan! “Ah bodoh!” katanya berteriak. “Mengapa menyiksa diri sendiri? Tak usah dijalani!” sambungya dengan nada tinggi.
Itulah kata majikanku. Aku dibilang bodoh karena berpuasa, karena berpuasa baginya adalah menyiksa diri, lalu dia menyarankan agar aku tidak usah berpuasa.
Lalu kujelaskan bahwa puasa Ramadan ini adalah perintah dalam agama Islam yang kuanut. Kujelaskan juga bahwa bila menjalankannya, aku mendapat pahala dan bila meninggalkannya, aku berdosa.
“Ini Taiwan, bukan Indonesia! Tidak ada aturan seperti itu, nanti saja kalau sudah pulang ke Indonesia (kalau mau puasa, Ed.)!” sahut majikan perempuanku.[8]
Masih pengalaman menjalankan ibadah Islam di Taiwan. Ternyata ketiadaan pengalaman berhubungan dengan ajaran Islam menjadikan warga Taiwan mengambil sikap untuk menentang pelaksanaan ibadah baik sholat maupun berpuasa Ramadan. “Banyak Temanku Dilarang Salat dan Berpuasa” tulis Okti Li[9]. “Bulan Puasa, Saya Makan Babi di Siang Hari”, ungkap Minie Kholik.[10] Karena itu, sungguh mengharukan kalau kemudian hanya untuk beribadah saja, seorang hamba Allah harus berbohong kepada orang lain. “Demi Puasa, Aku Curangi Majikanku”, kata Tety N.[11] Bagaimana lagi, karena “Majikanku Melarang Keras Aku Berpuasa”, kata D’zahra Zhou Xiaocie membenarkan.[12] Tak mengherankan kalau “Ramadanku Akan Tetap Biru” seperti kara Yoest.[13] Karena bisa saja “Sahurku Piring Tertelungkup”, seperti dialami oleh Okti Li.[14]
Rintangan menjalankan ibadah ternyata tak jarang justru timbul dari mental menghalalkan segala cara pada sejumlah pribadi atau lembaga penyalur tenaga kerja. Bahkan, sejak sebelum berangkat beberapa tenaga kerja Indonesia sudah dipaksa untuk tidak taat terhadap ajaran agamanya.
"Kamu mau, tidak, makan daging babi?" Salah seorang anggota keluarga bertanya pada saya dalam bahasa Mandarin.
"Kata Agensi, mau tidak mau, saya diharuskan makan daging babi, padahal sebenarnya saya tidak mau," jawab saya dengan polos.
"Kalau kamu tidak mau makan, ya tidak apa-apa. Kami tahu kamu Muslim dan tidak boleh makan babi."
Dalam hati aku bersyukur. Alhamdulillah…. “Terimakasih. Kalau boleh tidak makan, saya sangat senang sekali," sahut saya.
Maka sejak itu saya selamat. Tak peduli bagaimana perjanjian saya dengan pihak agensi. Yang jelas, keluarga majikanku cukup pengertian untuk tidak mengajak, apalagi sampai memaksaku, untuk makan daging babi.
Hari, minggu, dan bulan berlalu. Saya benar-benar tidak makan daging babi atau masakan yang ada unsur babinya. Namun, saya sering menangis mengingat dosa karena saya meninggalkan ibadah wajib saya, yaitu salat lima waktu. PT (PJTKI, Red) penyalur saya dulu melarang semua BMI membawa perlengkapan salat ketika diberangkatkan ke negara tujuan untuk bekerja.
PT melarang membawa perlengkapan salat dengan alasan, "Nanti orang tua yang kalian jaga, bisa mati jantungan karena kaget melihat kalian pakai putih-putih seperti hantu." Alasan yang tidak bisa saya tolak, karena memang saat di Indonesia, saya belum tahu seperti apa Taiwan ini dan bagaimana pekerjaan saya di negeri ini. Yang ada dalam hati saya waktu itu hanyalah cepat terbang, bekerja, mendapat upah, kemudian pulang membawa hasil dan meneruskan cita-cita saya.[15]
Memang tidak semua begitu mengenaskan, lebih-lebih bila dilandasi oleh rasa syukur. Bukankah bersyukur adalah mengakui dan menghargai secara bertanggungjawab segala karunia Tuhan, besar ataupun kecil, tersurat ataupun tersirat? Bersyukur karena tak hanya diperbolehkan menjalankan ibadah sebagaimana layaknya muslimah, tetapi juga karena “Salat Id, Aku Diantar Supir Pribadi Presiden Taiwan” seperti pengakuan Tina Yanes.[16] Bersyukur karena akhirnya bisa menjalankan puasa Ramadan tanpa sembunyi-sembunyi lagi.[17] Bersyukur pula karena, “… suka-duka itu malah semakin membuatku mengerti arti puasa yang sesungguhnya dan semakin membuatku mensyukuri nikmat yang telah Allah SWT limpahkan padaku”.[18] Bersyukur karena hampir sebulan penuh makan bermenu telor ceplok dan mie instan dengan iringan lagu Iwan Fals, Ethiopia.[19]
Sujud syukurku kini padaMu Ya Allah…. Tidak ada yang tidak mungkin untukMu. Dua tahun finish kontrak dari majikan yang pertama, akhirnya do’aku terkabulkan juga. Aku hanya ingin mendapatkan majikan yang bisa memberi waktu dan tempat untuk menunaikan ibadah. Dan kini, aku mendapatkan majikan yang baik, majikan yang memberikan kebebasan dan waktu untukku menunaikan ibadah. Subhanallah…[20]
Bumi memang bundar. Karena itu, terpaan sinar matahari sebagai penanda siang dan malam juga berbeda. Beruntung ummat muslim yang bermukim di belahan utara bumi apabila tepat Bulan Ramadhan matahari memancar dari sebelah selatan khatulistiwa. Karena malam lebih panjang ketimbang siang, maka hari berpuasa menjadi lebih pendek dari malam kala boleh berbuka. Sebaliknya, menjadi lebih berat manakala Bulan Ramadhan ummat muslim bermukim di belahan bumi utara dan matahari memancar dari sebelah selatan khatulistiwa. Karena siang menjadi lebih panjang ketimbang malam, maka hari berpuasa pun menjadi lebih panjang dari malam kala boleh berbuka.
Setiap hari kami harus membuka salah satu website untuk mengetahui jadwal shalat  pada hari itu, yang waktunya tidak pernah sama dengan hari lainnya karena pergeseran musim yang menyebabkan panjang pendek siang dan malam selalu berbeda, kemudian me-reset alarm di telepon genggam kami agar kami dapat shalat  pada waktunya dan tidak terlalu cepat dari jadwal yang ditentukan.
”Kulta, illallinen on valmiina,” aku memanggil suamiku, mengajaknya untuk makan malam dan segera membatalkan puasa kami yang hari itu memakan waktu sekitar 17 (tujuh belas) jam.
”Ok,” jawabnya, yang beberapa saat kemudian muncul dengan membawa catatan di tangannya. Begitulah suamiku yang seorang mualaf, doa-doa yang harus dipelajarinya dicatatnya di dalam buku kecil yang dapat dibawanya ke mana saja.
Kami berdua kemudian duduk berhadap-hadapan di meja makan. Seraya tersenyum, suamiku membuka buku catatannya, dan kami pun bersama-sama menengadahkan tangan dan membaca doa berbuka puasa: "Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa 'alaa rizqika afthartu birahmatika ya arhamarrohimin".[21]
Kajian tentang keserba-budayaan, menawarkan konsep "lian" (the otherness) untuk menggambarkan cara pandang seseorang yang berasal dari budaya atau sub-budaya lain. Ini bisa terentang dari sekedar tak dikenal (the unknown), asing (the stranger), manca (the foreigner), hingga makhluk planet lain (the alien). Persoalannya, perbedaan budaya baik pada tingkat gagasan, pola perilaku, maupun benda-benda buatan manusia, tak selalu dipahami secara nomimal, melainkan secara ordinal. Artinya, perbedaan tidak dipahami dan dihayati dalam kesetaraan, melainkan tinggi-rendah, dan bahkan kecurigaan serta permusuhan.
“Saya tidak pernah bisa sahur, Bu. Tak punya makanan,” keluh Siti, BMI asal Sragen, Jawa Tengah. Dia duduk tepat di samping saya.
Siti bercerita bahwa majikan melarangnya menyimpan makanan di kulkasnya. Setiap pulang libur, majikan memeriksa tasnya dengan alasan khawatir Siti membeli makanan yang tidak sehat. Takut anak majikan ikut memakan makanan yang Siti beli. Sedihnya, majikan Siti juga pelit.
“Saya puasa dan salat tanpa sepengetahuan majikan. Majikan pernah marah ke saya. Dia tidak ingin ada dua Tuhan di rumahnya. Sering saya salat di kamar mandi atau di garasi mobil, saat saya mencuci mobil.”
Tadarus dilakukan Siti saat dia mengantar anak majikan kursus atau setiap ada waktu luang. Makanya Al Quran berbentuk kecil selalu dibawanya.[22]
Ketak-setaraan cara pandang budaya akan menjadi kekuatan pemaksa ketika mengemuka bersama ketaksetaraan kedudukan sosial. Hampir pasti ini dialami oleh para pekerja dalam keluarga tanpa agama. Selain tidak mengenal halal dan haram, keluarga demikian juga bernalar untung-rugi. Berpuasa Ramadhan senantiasa disamakan dengan kemerosotan atau bahkan kehilangan kekuatan untuk bekerja.
Tak terasa satu tahun sudah aku berada di Negara Beton ini. Perjalanan penuh liku-liku yang melelahkan. Aku sangat berharap bisa menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadan tahun ini walau harus sembunyi-sembunyi. Aku tak mencoba meminta izin kepada majikanku karena akan menambah masalah saja. Bayangkan, sehari-hari saja dia menyuruhku makan daging babi. Aku pernah menolaknya, tapi dia mengancam akan memulangkanku ke Indonesia. Akhirnya, aku mengiyakannya walau sebenarnya aku selalu membuangnya, tanpa sepengetahuan dia.
Aku bersyukur majikanku menyuruhku makan di dapur dengan temanku yang juga anak Indonesia. Dengan demikian, aku bisa membuang daging babi itu ke tempat sampah, tanpa harus menerima omelen yang membuat nelangsa.
Sore itu, sebelum majikanku pulang dari kantornya, aku masak mie goreng made in Indonesia dan meletakkannya di dalam kotak makan. Kemudian, temanku, Indah, membawanya ke kamar kami yang berada di kok cai (atap rumah) beserta air putih dua botol.
Terrrrrrrrr…!! SMS dari bundaku. Ibu membangunkanku untuk makan sahur. Kubangunkan Indah pelan-pelan. Indah bangun, lalu dia berjingkat-jingkat pergi ke kamar mandi yang berada di lantai satu. Kami bekerja di Daerah Fairview yang penghuninya kebanyakan tinggal di villa. Dan rumah yang kami tempati ini berlantai dua.
Setelah selesai dari kamar mandi, aku dan Indah makan sahur dengan menyantap mie yang sudah terasa dingin karena AC yang kami nyalakan di kamar. Aku teringat ibuku yang sahur hanya bersama adik di rumah. Ayah juga sedang bekerja di Malaysia, sedangkan kakak perempuanku berada di Taiwan. Tak terasa air hangat menetes di pipiku.[23]
Masih ada sejumlah pengalaman sekaligus pelajaran penting dalam kumpulan tulisan ini. Pelajaran tentang kebersamaan, bahwa sesama muslim adalah saudara, baik dalam duka sebagaimana tampak dalam “Ramadanku Bersama Anggota Shelter KOTKIHO”[24], maupun ketika suka dalam “Pengalaman Berpuasa di Jerman”[25], juga pengalaman berpuasa di lingkungan “kauman” sebagaimana ditulis oleh Wawan Eko Yulianto[26]. Kebersamaan yang semoga mendorong kita bisa berkata:
Aku telah tinggal di tiga negara--Belanda, Malaysia, dan Inggris--dan merasai Ramadan di sana. Satu yang sama: kebersamaan dan kehangatan dari saudara-saudara Muslim di luar negeri membuat aku tidak pernah merasa sendiri di tanah yang asing. Ini, kadang membuatku yakin bahwa kita bisa juga menyebarkan rahmat untuk kaum selain Muslim.[27]
Pulang, berpuasa dan berlebaran di tanah air, di kampung halaman ternyata tetap menjadi daya tarik luar basa bagi sesiapa pun yang sedang di perantauan.[28] Demikian pun kepekaan nurani bisa menjadi semakin terasah karena jarak dan perbedaan.[29]
Berabad-abad lalu, Heroditus, seorang sejarawan Yunani, mengemukakan: "If one were to offer men the choice of all the customs in the world, they would examine the whole number and end up by prefering their own".[30] Lazimnya, para penulis dan pengajar pemahaman lintas budaya (cross-cultural understanding), seperti Esther Wanning, menganjurkan agar pata imigran melakukan apa-apa sebagaimana orang setempat melakukannya. "When in Rome, do as the Romans do" is a useful adage for both immigrants and short-terms visitors, but to follow it you must know what they do. … You do not need to adopt these customs as your own, …"[31]
Memang, sejauh tak menyangkut sistem keyakinan, peribadatan, dan hukum yang disucikan, anjuran tersebut akan lebih mudah dilakukan. Para pendatang dan imigran bisa melakukan segala sesuatu sebagaimana warga setempat melakukannya. Kalaupun tidak, sikap dan perilaku tenggang rasa dengan saling menghormati tanpa mengambil sepenuhnya kebiasaan warga setempat juga bisa dilakukan. Namun demikian, ketika sudah menyentuh sistem keyakinan, peribadatan serta hukum yang disucikan, jelas anjuran tersebut sangat berat untuk dilakukan.
Mencermati berbagai persoalan muslim Indonesia di berbagai negara tersebut, tampak jelas tentang perlunya upaya yang lebih dari sekadar memberikan anjuran pemahaman dan penyesuaian lintas budaya. Harus ada kebijakan berpihak (affirmative policies) dari Pemerintah untuk membantu mereka baik melalui jalur diplomasi politik maupun kebudayaan. Kebijakan berpihak demikian tidak boleh sekali-kali hanya didasarkan pada pertimbangan devisa atau benefit yang disumbangkan oleh para pekerja migran dan pelajar Indonesia di luar negeri, tetapi harus diterima sebagai bagian dari amanat melindungi segenap warga negara dan tumpah-darah Indonesia.
Waktu itu keluarga majikanku makan malam sudah cukup malam. Sekitar pukul 10 malam. Saat mereka makan, sambil aku terus mengerjakan tugasku, aku menunggu-nunggu mereka menyelesaikan makannya supaya aku bisa segera makan. Perutku isinya hanya air, dan sudah sangat ingin aku makan karena lapar setelah berpuasa seharian. Tangan ini pun sudah gemetaran saking laparnya.
Namun, alangkah terkejutnya aku. Setelah mereka selesai makan, di meja makan ternyata tidak ada makanan tersisa baik nasi, sayur, maupun lauk-pauknya. Semua ludes! Aku melongo sebelum kemudian aku memberesi meja makan. Ya, melongo. Lha, aku harus makan apa, sementara perut ini sudah menagih minta diisi sedari tadi.
Majikanku tahu saat aku melongo di depan meja makan. Dia lalu bertanya. Aku menjelaskan apa adanya. Setelah kami bercakap-cakap, tahulah aku bahwa mereka yang tahu aku tengah berpuasa, rupanya mengira aku juga tidak perlu makan di malam hari. Karena itu, mereka sengaja menghabiskan semua makanan karena merasa sayang kalau makanan sisa dan sisa makanan itu hanya dibuang. Sebuah alasan yang sangat masuk akal, memang. Aku pun akan mengambil keputusan seperti itu kalau dalam posisi majikanku.[32]
Akhirnya, sebagai sesama muslim saya ingin berbagi cerita sederhana. Suatu ketika, seorang putra teman saya berkunjung ke rumah di Bulan Ramadhan. "Maaf Pak, menurut saya berpuasa di Indonesia, apalagi di Malang sini, pahalanya lebih kecil daripada berpuasa di Taiwan saat musim panas", katanya mantap.
"Kenapa bisa begitu", saya bertanya meminta penjelasan. Menurut dia, di Taiwan selain lebih panas, siangnya juga lebih lama daripada di Indonesia. Jadi berpuasa di Taiwan lebih berat ketimbang di Indonesia. Karena Allah Maha Adil, maka penghargaan yang akan diberikan juga mengikuti berat atau ringannya beribadah puasa. "Belum lagi kalau harus berhadapan dengan godaan dan rintangan dari orang sekitar yang sama sekali tidak mengetahui dan tidak peduli tentang kewajiban bagi orang Islam", tambahnya.  Ini senada dengan pengalaman seorang mahasiswa muslim Indonesia di Michigan.
Selain lamanya waktu siang hari, tantangan lain bagi orang Islam yang sedang berpuasa di musim panas adalah menjaga mata dari pemandangan-pemandangan yang membatalkan puasa kita. Musim panas adalah musim yang ditunggu-tunggu oleh beberapa masyarakat Michigan, setelah menghadapi musim dingin. Sebagian besar siswa dan mahasiswa menghabiskan waktu liburan musim panas untuk berlibur. Walaupun demikian, ada juga mahasiswa yang tetap mengikuti perkuliahan di musim panas. Di musim panas beberapa mahasiswa biasanya menikmati terik panas matahari dengan berjemur di beberapa area kampus.[33]
Pahalanya lebih besar dari berpuasa di Indonesia? Masuk akal, karena adil berarti memberi penghargaan lebih tinggi untuk perbuatan baik yang berat dalam pelaksanaan, dan penghargaan lebih rendah untuk perbuatan baik yang ringan dalam pelaksanaan. Semoga Allah menguatkan lahir dan batin saudara-saudara saya di mana pun berada agar tetap tegar menjalankan segala kewajiban dan menghindari segala larangan, serta memberikan pahala berlipat-ganda atas semua ibadah dan amal baik mereka. Amin.
Malang, 23 September 2010


[1] Naskah ini sedianya dipersiapkan sebagai pengantar atas buku tentang pengalaman warga negara Indonesia muslim dan musliman yang menjalankan ibadah Ramadhan di luar negeri.
[2] Sakban Rosidi adalah seorang pendidik yang meluangkan waktu berbagi cerita dan nasehat melalui jejaring sosial facebook, tinggal di Kota Malang, Jawa Timur.
[3] Ratih Hardjono, Suku Putihnya Asia: Perjalanan Australia Mencari Jati Dirinya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
[4] Ruhan Tagar, Australi Ya Ya Ya …: Catatan Seorang Imigran Gelap, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996.
 [5] Ruhan Tagar, Australi Ya Ya Ya …: Catatan Seorang Imigran Gelap, 142-143.
 [6] Periksa tulisan Nino Viartasiwi.
 [7] Periksa tulisan Indira Margareta.
 [8] Periksa tulisan Ismi Iis.
 [9] Periksa tulisan Okti Li.
 [10] Periksa tulisan Minie Kholik.
 [11] Periksa tulisan Tety N.
 [12] Periksa tulisan D’zahra Zhou Xiaocie.
 [13] Periksa tulisan Yoest.
 [14] Periksa tulisan Okti Li.
 [15] Periksa tulisan Hesty Pramitha.
 [16] Periksa tulisan Tina Yanes.
 [17] Periksa tulisan Kine Risty, Indira Margareta, dan Bilqis.
 [18] Periksa tulisan Muntamah Cendani.
 [19] Periksa tulisan Slamet Hidayat Wikarto.
 [20] Periksa tulisan Ani Ramadhan.
 [21] Periksa tulisan Lutfi Shoviana.
 [22] Periksa tulisan Mega Vristian.
 [23] Periksa tulisan Kine Risty.
 [24] Periksa tulisan Mega Vristian.
 [25] Periksa tulisan Early Rachmawati.
 [26] Periksa tulisan Wawan Eko Yulianto.
 [27] Periksa tulisan Rilda A. Oe. Taneko.
 [28] Periksa tulisan Nessa Kartika.
 [29] Periksa tulisan Dang Aji.
 [30] Bila seseorang menawarkan pilihan semua kebiasaan di dunia kepada sejumlah orang lain, mereka memang mau mempelajari semua kebiasaan tersebut dan berakhir dengan memilih kebiasaan mereka sendiri. Periksa Esther Wanning, Culture Shock! USA: A Guide to Customs and Etiquette, Portland, Oregon: Graphic Arts Center Publishing Company, 1997: 8.
 [31] "Ketika berada di Roma, lakukanlah sesuatu sebagaimana warga Roma melakukannya", adalah pepatah yang berguna baik bagi imigran ataupun pendatang jangka pendek, tetapi untuk mengikutinya anda harus mengetahui apa yang mereka lakukan. Anda tidak perlu menjadikan kebiasaan-kebiasaan mereka sebagai kebiasaan anda sendiri. Periksa Esther Wanning, Culture Shock! USA: A Guide to Customs and Etiquette, 9.
 [32] Periksa tulisan Siti Allie.
 [33] Periksa tulisan Imam Wahyudi Karimullah.

No comments:

Post a Comment