About Me

About Me
Writer, Pengelola Rumah Baca Istana Rumbia, Staff redaksi Tabloid Taman Plaza, Admin Yayasan CENDOL Universal Nikko (Koordinator bedah cerpen OCK), perias dan Make-up artist PELANGI Asosiasi Entertainment, Crew Wonosobo Costume Carnival dan Crew 'A' Event Organizer (Multazam Network), pernah bekerja di Hongkong dan Singapura. Cerpenis Terbaik VOI RRI 2011, dan diundang untuk Upacara HUT RI ke 66 di Istana Negara bersama Presiden RI. BMI Teladan yang mengikuti Sidang Paripurna DPR RI 2011 dan menjadi tamu Ketua DPD RI. Dinobatkan sebagai Pahlawan Devisa Penulis Cerpen BNP2TKI Tahun 2011. Pemuda Pelopor Dinas Pendidikan, pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Tengah kategori Seni-Budaya Tahun 2012. Menyukai langit, stasiun kereta, dan warna biru. Salah satu penulis Undangan Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali. Dapat dihubungi via Email FB/YM : Nessa_kartika@yahoo.com.

Monday, November 15, 2010

Suamiku Nomer Wahid

Suamiku nomer Wahid. Bukan karena kebetulan namanya Wahid, tapi itu satu-satunya kata yang bisa menggambarkan arti kehadirannya untukku.

Masa berpacaran kami tak singkat dan penuh aral melintang. Perbedaan latar belakang membuat orang-orang meragukan kesungguhanku saat mereka tahu aku menerima pinangannya.

Aku seorang gadis Bengal. Masa sekolah kuhabiskan dengan kegiatan-kegiatan yang mereka bilang bukan untuk gadis. Orangtua dan kakakku selalu menasehatiku sampai berbusa, aku tetap pada kegemaranku naik gunung, panjat tebing, lintas alam, camping dan segala kegiatan yang mereka bilang tak aman, hanya berhura-hura dan membahayakan jiwaku.

Sementara Mas Wahid, pemuda desa sederhana tukang ojek tamatan SD tukang adzan di masjid desa asal mama. Desa yang terpaksa menjadi rumahku saat mama dan Bapak memutuskan untuk bercerai.

Tak ada yang percaya aku jatuh cinta padanya. Bahkan teman-teman penggiat alamku selalu mengolok-olok calon suamiku yang mereka bilang tak setara dengan pacar-pacarku sebelumnya. Tapi inilah cinta dan aku tak bisa menjelaskannya. Saat itu alasanku hanya satu. Lelah. Ya, aku lelah dengan semua petualanganku. Aku membutuhkan seseorang yang tak neko-neko menjadi dermaga terakhirku. Tempatku berlabuh dan bersandar sampai ke akhir masa. Yang kubutuhkan adalah orang yang menerimaku apa-adanya dan mencintaiku selama hidupnya.

Impianku hanya rumah mungil dan suami setia dengan anak-anak yang manis yang akan menjadi milikku seumur hidupku. Perceraian orangtuaku telah mengakibatkan kepahitan hidupku dan saudara-saudaraku. Aku tak menginginkan hal itu sama sekali.

Tak ada seorangpun yang mengerti. Bahkan pakdhe ku sebagai kepala keluarga mencoba dengan berbagai alasan dan cara untuk memisahkan kami. Beliau berusaha menyadarkanku akan ketidakserasian kami. Bahkan hal sesepele warna kulit menjadi pengganggu di mata mereka.

Singkat kata. Akhirnya pakdhe dan mama menyuruhku pergi bekerja ke luar negeri. Memang di luar negeri hubunganku dengan ‘Si Dia’ terputus, namun janji nya untuk menunggu kepulanganku kupegang erat meski akhirnya aku sibuk dengan kehidupan dan pekerjaanku di perantauan.

Tuhan telah menggariskan. Jodoh tetaplah jodoh. Saat aku akhirnya pulang ke Indonesia dan memenuhi janjiku padanya keluargaku pun tak bisa berkata apa-apa. Dengan acara sangat sederhana hanya dihadiri keluarga dan sahabat dekat setelah acara ijab qabul singkat di Kantor Urusan Agama kami pun resmi menikah.

Kehidupan perkawinan memang ternyata tak semulus yang kubayangkan. Sebagai seorang dari keluarga broken home, aku tak tahu bagaimana cara yang benar hidup dengan orang lain. Sifat keras kepalaku kerap kali berbenturan dengan sifat suamiku yang sederhana. Namun suami selalu sabar menuruti kemauanku. Ketidak cocokan ku dengan mertua selalu menjadi duri dalam pernikahan kami. Berulangkali Pakdhe berusaha menasehatiku untuk tak menyia-nyiakan suami. Aku marah namun kemudian tersadar akan kekhilafanku. Aku bukanlah lagi cewek single yang bebas kemana-mana dan berbuat apa saja sesukaku. Aku adalah seorang istri dan menikahi suamiku berarti pula aku menikahi keluarganya.

Karena tak tahu bagaimana menyikapi keluarga suamiku saat aku berada di rumah sehari-hari akhirnya aku nekad mencari kerja. Akupun diterima bekerja di sebuah stasiun radio swasta. Jarak dari rumah suamiku di desa ke kantorku di stasiun radio yang berada di kota sangat jauh. Namun suami dengan setianya mengantar ku pulang-pergi. Alasan kami memang untuk pengiritan karena dengan diantar jemput aku dapat menghemat biaya transport karena memang gajiku tak seberapa. Tapi siapapun yang tahu jarak dari rumah ke kantor, mereka mengacungkan jempol untuk kesabaran dan kesetiaan suamiku.

Ketika saat melahirkan tiba, akupun berhenti bekerja, karena jalan di desaku masih berbatu dan tak rata membahayakan kehamilanku bila naik motor. Alhamdulillah proses persalinan lancar, Aku melahirkan bayi laki-laki yang sehat dan tampan.

Setelah kelahiran putraku aku kembali bosan tinggal di rumah. Pertengkaran-pertengkaranku dengan mertua membuatku makin tak tahan. Akupun keluar bekerja lagi. Untungnya di tempat kerjaku yang baru aku diperbolehkan membawa putraku.

Namun Tuhan berkehendak lain. Beberapa bulan kemudian, kantor tempatku bekerja gulung tikar. Bangkrut. Dan aku kembali tinggal di rumah. Stress dan depresi membuatku makin tak tahan dengan mertuaku. Pertengkaran dengan suami karena masalah mertua semakin sering dan suatu ketika suami khilaf memukulku. Dia segera bersimpuh meminta maaf tapi aku benar-benar tak dapat menerima perlakuannya yang terlalu mendukung orangtuanya hingga memukul istrinya.

Rasa sakit hati yang kurasakan lebih besar daripada rasa sakit dari pukulannya. Akhirnya aku minta pindah dari rumah mertua. Dan untuk mewujudkan itu artinya kami harus membangun gubuk kami sendiri.

Suamiku mengusulkan diri untuk bekerja merantau ke Kalimantan tapi itu artinya aku harus masih tinggal dengan mertuaku. Aku tak sanggup. Akhirnya aku berkorban dengan kembali bekerja ke luar negeri demi membangun gubuk yang kami impikan.

Di luar negeri inilah rasa kesendirian dan keterasingan membuat rasa cinta dan rindu pada suami dan putraku makin erat. Disinilah aku tersadar bahwa kebersamaan lebih penting daripada segalanya. Kelak jika pulang, Aku akan berusaha lebih keras untuk menerima mertuaku apa adanya.

Tahun demi tahun berlalu, Putra kami pun sekarang menjadi lelaki kecil yang pintar. Ia memuja bapaknya sedemikian rupa, membuat ku terbelenggu haru luar biasa. Suka dan duka telah kami lewati. Pertengkaran ataupun kebahagiaan pun telah kami nikmati. Semua seolah tiada terasa dibanding melihat buah hati kami. Pernikahan kami yang berawal tanpa doa restu memang belum sukses sepenuhnya namun kami akan terus berjuang memelihara keutuhannya hingga akhir hayat kami.

Aku yakin kami pasti bisa, karena suamiku nomer Wahid!.


 

SELAMAT ULANG TAHUN MAS

No comments:

Post a Comment