About Me

About Me
Writer, Pengelola Rumah Baca Istana Rumbia, Staff redaksi Tabloid Taman Plaza, Admin Yayasan CENDOL Universal Nikko (Koordinator bedah cerpen OCK), perias dan Make-up artist PELANGI Asosiasi Entertainment, Crew Wonosobo Costume Carnival dan Crew 'A' Event Organizer (Multazam Network), pernah bekerja di Hongkong dan Singapura. Cerpenis Terbaik VOI RRI 2011, dan diundang untuk Upacara HUT RI ke 66 di Istana Negara bersama Presiden RI. BMI Teladan yang mengikuti Sidang Paripurna DPR RI 2011 dan menjadi tamu Ketua DPD RI. Dinobatkan sebagai Pahlawan Devisa Penulis Cerpen BNP2TKI Tahun 2011. Pemuda Pelopor Dinas Pendidikan, pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Tengah kategori Seni-Budaya Tahun 2012. Menyukai langit, stasiun kereta, dan warna biru. Salah satu penulis Undangan Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali. Dapat dihubungi via Email FB/YM : Nessa_kartika@yahoo.com.

Friday, January 21, 2011

[CERPEN] SELEPAS HUJAN

By. Nessa Kartika



"Hujan lagi..." Bisik Sky tak sadar pada diri sendiri. Gadis ini menatap rinai hujan membasahi alam. Hadiah yang dilimpah Tuhan dari langit untuk makhlukNya. Suara nyanyian hujan yang berdansa dengan angin di luar jendela perpustakaan membuat Sky terpekur, tak lagi menikmati buku yang sedang dibacanya. Sky tak bergeming. Hujan hari ini membuatnya gelisah. Ia pun tak mengerti apa sebabnya.

"Sky..." panggil Jin pelan, menggeser laptopnya ke samping.
Sky menoleh.
"Kamu bosan?" tanya kekasihnya itu.
"Ah, nggak kok... cuma menikmati suara hujan. " kata Sky tersenyum.
Jin membalas senyumnya. Dia menengok jam tangan di pergelangan tangan Sky. “Jam lima lebih... Kamu lapar?"

Sky mengangguk, ia baru menyadari kalau ia lapar sekali gara-gara tadi siang ia lupa makan. Pulang kuliah mereka langsung masuk perpustakaan. Ternyata tahu-tahu sekarang sudah waktunya makan malam.

"Ayo pergi..." Ajak Jin.
Mereka mengumpulkan barang-barangnya lalu keluar dari perpustakaan.

Sky lebih dahulu keluar ke loby. Berusaha meregangkan persendiannya yang pegal karena duduk terlalu lama. Tiba-tiba ia melihat sekitarnya berubah warna menjadi kekuningan. Sky tercekat. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Hanya desah terpatah. Ia terhuyung meraih pilar loby.

"Kenapa Sky?" tanya kekasihnya.

Sky menggeleng. "tak ada apa-apa." Sky mengerjap-ngerjapkan matanya. Semua kembali seperti semula.
Sky merasa aneh, namun Sky tak merasa perlu mengatakannya pada Jin.

Jin memandanginya khawatir.

Sky tersenyum, berusaha menunjukkan pada Jin bahwa ia baik-baik saja. Jin menatapnya, lalu menawarkan lengannya yang langsung digandeng oleh Sky. Jin sudah membuka payung untuk mereka.

Mereka melangkah ke arah rumah makan di sebelah gedung perpustakaan. Tapi di tengah jalan kembali Sky melihat dunianya menguning, lalu kelabu. Ia mencekal lengan Jin lebih erat. Jin yang memfokuskan pandangannya pada jalan becek yang tercipta karena genangan air hujan tak menyadari bahwa langkah Sky tak terkendali.

Sky mengandalkan lengan Jin menuntun langkahnya. Hatinya berbisik, "Sayang, 'ketika aku memelukmu. Tidakkah kau tahu aku mengandalkanmu? menjadikan lenganmu sebagai tongkat dan desah nafasmu adalah pelita mataku yang tiba-tiba gelap?" Batin Sky. "Tidakkah kau merasakan hal yang sama? Melihat kebutaan aneh yang tiba-tiba menyergapku?"

 Anehnya kebutaan Sky hanya berlangsung selama beberapa menit. Sky sangat ketakutan. Saat mereka tiba di warung itu penglihatan Sky kembali normal. Sky buru-buru duduk. Badannya gemetaran. Sky tak bisa berkata-kata.

"Dingin?" Tanya Jin. Menyangka Sky gemetar karena hujan.

Sky mengangguk. Meski gemetarnya adalah karena cemas yang melandanya tanpa ampun.
Dalam hujan bulan desember dingin itu, otak Sky berusaha membahas semua ini. Kesadarannya butuh waktu yang lama untuk mengerti apa sebab semua ini. Anehnya Sky tak merasa sakit, ia mencoba untuk membunuh rasa khawatir.

***

Beberapa bulan berlalu. berkali-kali pandangan Sky meredup dan gelap. Ada yang aneh di mata gadis muda berbola mata hitam yang selalu memantulkan warna kebiruan ini. Sky mencoba menahan diri untuk tak mengadu pada mama tentang penderitaannya.

Namun suatu sore saat Sky terbangun dan menatap sekelilingnya. Dan seperti pernah terjadi sebelumnya ia merasa hilang dalam gelap gulita.

Sky mendengar suara hujan dan dapat membaui lembabnya. Namun Sky tak melihat apa-apa. Rinai nyanyian hujan terdengar gemeretak riuh namun jiwanya sepi. Dari dua bola mata Sky yang tak dapat melihat apa-apa menitik manik air.

"Tuhan... Kutukan apakah yang menimpaku?" Ratapnya lirih. Tetes demi tetes berubah menjadi aliran air seperti hujan yang tetesan-tetesannya menjadi air terjun dari ujung atap. Sky mendengar gerujuknya, namun semua hanya irama. Ia mengandalkan nalurinya untuk berimaji. Indra penglihatannya yang selalu tiba-tiba hilang membuat indra lainnya menolong jiwa nelangsanya. Sky tak tahu sampai kapan kegelapan ini akan menemaninya. Yang diinginkan Sky seseorang yang menemaninya dan menuntun langkahnya menerobos gulita ini.

Kring... kring... kring...

Sky mendengar hapenya berdering entah dimana. Sky memaksa dirinya sendiri untuk bangkit namun tak dapat. Ia meraba-raba mencoba mengingat letak meja kamarnya hingga  ia mendapati hapenya yang berdering dan bergetar.

Jin, nama itu tertera di LCD... namun Sky tak dapat melihatnya.

Tiba-tiba ia kembali diserang rasa berat dan gelap. Hape itu terpental ke lantai.

Sky merasa kelu untuk bersuara, ia ingin memanggil Mama namun gelombang demi gelombang menghempaskannya ke dalam pusaran angin dan badai. Mencabut kesadarannya dengan sempurna. Sky terkapar di lantai.

***

Kepala Sky berdenyut-denyut. "Kenapa aku berbaring disini...? kenapa aku tak bisa melakukan apa-apa? Apa lagi yang terjadi padaku?" Batin Sky. Pikirannya kosong, namun ada sesuatu yang membuat kepalanya mau meledak. Sky dapat melihat semuanya. Ia melihat sinar mentari menerobos hangat ke jendela ruang rawatnya. Sky tahu ia berada di rumah sakit saat melihat Mamanya masuk bersama seorang wanita berjas putih. Sky ingin menyapa mereka namun kesadaran seolah berada terlalu jauh dari raganya.

Sky hanya mendengar percakapan Mama dengan dr.Any, dokter itu, di sampingnya.
"Dokter, sebenarnya ada apa dengan anak saya?" tanya Mama, mewakili apa yang ingin diucapkan Sky.
"Leukimia..." kata dr.Any dengan hati-hati sekali. Namun efeknya tetap sama, tetap sakit, tetap membingungkan. "mungkin ia akan mengalami kebutaan. Andai tak segera ditolong akan sangat membahayakan nyawa putri ibu juga..."
Mama menangis. Sky terlalu sadar untuk menangis...
"Apakah ada obat untuk menyembuhkan, Dok? Tolong, dok… Dia putri saya satu-satunya…" ratap Mama.

Dokter Any menggeleng, "Obatnya hanya satu, sumsum tulang belakang yang cocok... Namun itu harus melalui daftar tunggu, dan untuk menemukan donor yang cocok sangat susah."

Dari tatapan Mama, Sky tau. Mama akan rela menukar badannya sendiri untuk menanggung derita Sky. Namun Sky bahkan tak tau, apakah dia menderita...

Sky tahu tak mungkin ia akan merelakan mama menghadapi apa yang telah dilaluinya. Kegelapan itu membunuh Sky pelan-pelan. Sky tak ingin mama tahu, tapi sekarang mama telah mengetahui semuanya. Sky yakin ia pasti pingsan kemarin sore.

Sky tak mampu lagi mencerna keadaan di sekitarnya. Tiba-tiba di otaknya yang ada hanya kata 'Leukimia'. Berdengung, ribut seperti suara badai hujan... meneror seluruh indra hingga ke setiap hela nafasnya.

Apakah itu leukimia? Sky pun tak mengerti.

Meski begitu kata-kata dr.Any telah menjawab pertanyaannya selama ini. Menjawab keanehan-keanehan yang dirasakan oleh raganya, hilangnya indra penglihatan Sky.

Mendung hadir di kedua mata Sky. Kata Leukimia bagai kilat dan membuat pandangannya kembali berkelebat gelap. Petir itu menggelegar tanpa siapapun bersiap. Sky hanya bisa berdoa, berdoa dan berdoa. Kesadaran memukul dadanya yang sesak oleh airmata yang tercekat. Kesabarannya meragu, Kecemasannya membadai.

Satu pertanyaan baru muncul di benaknya, "sejak kapan?"

"Sky...?"

Suara Mama memanggil Sky kembali ke alam sadar. Membangunkan Sky dari mimpi dan angan-angan. Wanita yang melahirkannya ke dunia ini ada di ujung sana dalam terowongan gelap gulita. Sky tak melihatnya namun suara mama menuntunnya, menariknya kembali ke dunia nyata. Membuatnya makin menyadari, ini bukan mimpi... ini nyata...

Satu bagian hati Sky berharap kesadaranya ini hanya terjadi dalam mimpi. Berharap dia tak akan pernah bangun... berharap tidak tahu bahwa tubuh yang ditinggali oleh jiwanya ini ternyata tak akan sempurna lagi selamanya.

Andai punya pilihan Sky ingin mati tanpa tahu apa-apa.

"Sky?" panggil Mama lagi.
"Ma..." Sky membenci suaranya yang lemah. Ia telah koma selama beberapa hari ini, jadi mungkin itulah yang telah melumpuhkan perbendaharaan kosakatanya.
Mama menggenggam tangan Sky. "Sky, kamu pulang Nak.."
"Sky kenapa, Ma?"
Mama geleng-geleng kepala, "kamu tidur panjang, Nak... Bagaimana perasaanmu pagi ini?"

Sky tertegun. "Begitukah?" Ia bahkan tak bisa lagi membedakan antara pagi, siang dan malam. Selama ini ia begitu kehilangan warna cerianya... ia merindukan warna dan udara bebas.

Sky menatap keluar jendela, "langit mendung, Ma..."  Sky melihat awan kelabu menjanjikan warna sepi. Langit mengarak pedih, bersiap menumpahkan airmata. Seperti juga dirinya.

"Sky... Bagi mama, kamu langit biru yang bebas... itulah kenapa nama kamu Sky..." bisik Mama tersenyum tapi matanya berkaca-kaca. Sky melihat hujan disana, memantulkan wajah Sky dalam genangannya. "Ada orang bilang, mendung tak berarti hujan kan?" kata Mama lagi.

Sky tertawa kecil. Hatinya menangis.

"Dan dibalik hujan ada pelangi. Pelangi itu hanya menunggu waktu yang tepat..." kata Mama lagi sambil menyuapkan sesendok air ke mulut Sky. Sky meneguknya namun rasa pahit membuat kerongkongannya tak dapat mengalirkan cairan bening itu dengan sempurna ke dalam pencernaannya, ia berdehem. Berusaha melancarkan tenggorokannya. Mama menyeka mulut Sky dengan selembar tissue. "Semua hal ada takdirnya masing-masing. Tuhan telah menentukan semuanya untuk kita. Sehat, sakit, mati... Jodoh..." Kata beliau lagi, arif.

"Sky belum mengerti maksud Mama," sahut Sky lirih.
"Kita pasti mendapatkannya,Sky..." kata Mama optimis.

Sky kembali redup. Kita, Mama mengucapkan kita seolah mereka berdua sama-sama mengidap penyakit ini. Sky tahu begitu berat bagi Mama mendapati putrinya seperti ini. Seandainya Mama belum tahu, ingin rasanya Sky menutupi semua ini dan menyimpannya untuk dirinya sendiri. Menanggungnya sendiri. Namun sampai saat ini, Mama telah turut menganggung kesedihan Sky, membagi cerianya untuk meringankan rasa sakit Sky.

Sky berusaha memutar ulang rekaman otaknya, semalam ia mendengar mama dan dokter berbicara tentang donor bone-marrow...

Ya... mungkin itulah pelangi yang dimaksud oleh Mama.

Pelangi itu adalah harapan baginya. Dalam enam bulan ini, RS akan berusaha mendapat pendonor bone marrow untuk Sky. Itulah satu-satunya harapan bagi Sky. Namun Sky tahu harapannya tipis, Ia memang masuk daftar tunggu untuk menerima donor, namun hanya Tuhan yang tahu, Berapa, Kapan dan Siapa?

Sky tahu dia boleh berharap. Namun apa gunanya? Kini hal pertama yang akan dilakukannya begitu keluar dari RS adalah menemui Jin. Satu-satunya orang yang menguasai hatinya namun juga satu-satunya orang yang Sky tak ingin ia mengetahui penyakit Sky.
        
"Ya, Allah. Tetap bergunakah kepergian mendung untuk kembali menerangi langit, bila ternyata yang dihadapi langit adalah gelapnya malam? bukan pelangi seperti yang diharapkan?".

***

Jin menatap Sky pahit. "Sky... Aku tak mengerti mengapa kamu terus menghindari aku... Kenapa kamu tak pernah kuliah? Aku tahu kamu mencintai aku..." bisik Jin gemetar.

Sky membalas tatapan cowok yang tulus dicintainya itu dengan teguh hati. "Maafkan aku kalau aku memaksamu untuk melepaskan aku. Aku tak perlu alasan untuk memilih hidupku sendiri 'kan, Jin?"      Kata Sky berusaha tampak tenang, meski hatinya tertawa sinis. Hidup? andai Sky bisa terus hidup... Selama ini Ia begitu yakin Jin adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya. Calon imamnya. Namun sekarang ia tak yakin lagi. Ia tak ingin Jin menderita karenanya. Ia akan segera buta, Sky tak mau Jin menghabiskan waktu dengan wanita buta sepertinya. Ia ingin Jin bahagia... ia hanya bisa pasrah.

"Sky, tak bisakah kita berbagi kehidupan kita seperti yang kita lakukan selama ini?" Jin membuang rokoknya, frustasi... diinjak-injaknya benda itu hingga lumat rata dengan lantai.

"Maaf, Jin... tapi aku ingin sendiri..."
"Kamu mencintaiku 'kan?"
Sky terdiam, "Aku cinta padamu... "
"Lalu kenapa?!" Jin berteriak. Pada langit, pada matahari, pada awan-awan kelabu yang berarak.

Sky memejamkan mata, "Jin, mengertilah... Kamu harus melupakan aku... Kamu harus membagi hidupmu dengan kehidupan lain yang lebih layak menerima cintamu... Jangan memaksaku untuk mengatakan apa yang tak ingin kau dengar... Kita tak berjodoh, Jin"

"Sky, bukan kamu yang menentukan jodoh... tapi Tuhan Yang Berkuasa... Kalau di hatimu yakin kita berjodoh, kita pasti akan dapat mengatasi semuanya Sky... Ceritakan padaku masalahmu, Sky..."

Sky tak bersuara. Ia merasakan gelombang itu lagi, gelombang hitam yang seolah akan menelannya bulat-bulat. Ia ingin segera pergi dari sana. "Jin, please... Relakan aku..." Setetes airmata bergulir di pipi Sky.

"Sky..."

Sky cepat-cepat menghapusnya sebelum derainya memusnahkan kekuatan yang mati-matian dihimpunnya selama ini.

"Jin, lupakan aku..." Sky cepat-cepat pergi, meninggalkan Jin yang masih tertegun oleh airmata Sky. "Jangan pernah mencariku lagi." Sky berlari keluar dari rumah Jin. Di luar hujan mulai turun, meluruhkan langit. Seperti luruhnya Sky. Segala kekuatan telah luntur bersama kata-kata yang telah disusunnya. Namun Sky merasa lega telah melepaskan Jin. Meski ia merasa berat akan kehilangan pria itu, seperti halnya ia merasa kehilangan waktu.

Sky berjanji pada dirinya sendiri, tak akan ada lagi tangis. Tangis hanya akan menyadarkannya akan kehilangan yang lebih parah lagi.

***

Ini pertama kalinya Sky menangis di hadapan Jin. Selama ini Sky yang yang dikenal Jin adalah Sky si pemberani. Teman berpetualang dan kekasih yang tercintanya. Sky selalu manjadi penghidup di kelompok Pecinta Alam mereka.  Sky seolah telah menjadi maskot bagi kelompok mereka. Hal itu pulalah yang membuat Jin jatuh cinta padanya. Belum pernah Jin merasakan cinta yang menantang seperti mencintai seorang Sky. Sungguh sulit menaklukan Sky yang mandiri dan seolah tak pernah membutuhkan lelaki untuk melindunginya. Semakin Jin mengenalnya, semakin tenggelam Jin dalam pesona Sky. Sampai akhirnya pada suatu pendakian, Sky terluka. Jinlah yang selalu ada di sampingnya... saat itulah Sky mengetahui tentang pesona Jin, dan Jatuh cinta padanya.

Bagi Jin, Sky adalah Cinta sejatinya.
Bagi Sky, Jin adalah Cinta pertamanya.

Masa-masa yang mereka lewati bersama begitu indah. Sampai sebulan yang lalu, Jin mulai merasa ada yang tak beres dengan Sky yang mulai mengabaikan panggilan-panggilan telepon dan smsnya. Kuliah tak pernah lagi dihadiri oleh Sky, Rumahpun selalu kosong jika Jin kesana. Akun fesbuk Sky juga deactivated. Dan sore ini Sky mengajaknya bertemu lalu menyampaikan keinginannya untuk mengakhiri hubungan mereka. Putus.

Jin begitu tulus mencintai Sky. Terlalu mencintai untuk melepaskan Sky. Pun meski Sky telah mendeklarasikan perpisahan mereka. Bahkan saat Jin tak mengerti mengapa tiba-tiba Sky memutuskan hubungan mereka. Jin masih mencintai Sky.

Di sisi lain, Sky yakin Jin akan tetap berada di sampingnya bahkan bila ia jujur akan keadaannya sekalipun. Namun, adilkah ini bagi Jin?

Jin tak perlu tahu.
Sky berharap, Jin tak akan pernah tahu selamanya.

***

Sebulan kemudian

Drrrt... Drrrt...

Handphone Sky di atas meja belajarnya bergetar. Sky yang sedang duduk di ranjang rumah sakit membaca sebuah buku favorite nya berusaha meraih hape itu. Namun Sky tiba-tiba tak mampu bergerak. Tubuh Sky lumpuh. Yang dirasakannya hanya gelombang kegelapan itu... tanpa cahaya, tanpa jalan keluar...

Sky masih bisa mendengar... ia mendengar kedatangan Mama.
“Sky.. ada telepon...?" tanya Mama.
Sky sadar, ia telah membuka matanya lebar-lebar dan lagi-lagi  tak dapat melihat apa-apa.

"Mama angkat ya, Sky..."

Sky berusaha menggeleng mencegah Mama. Namun Sky sendiri tak yakin ia bisa melakukannya. Terlalu gelap. Sky menangis dalam hati. "Ya Allah... dokter bilang aku punya waktu beberapa bulan untuk menunggu donor itu... Tapi aku pasrah ya Allah, kalau memang Kau ingin menjemputku sekarang..."

Sky berusaha menggapai Mama. Namun Mama tak melihatnya, karena ia sedang melihat layar hp Sky.
"Dari Jin..."
"Jangan diangkat, Ma..."
"Kenapa, nak?"
"Sky sudah putus dengan Jin, Ma"
Mama tertegun, "Nak, Kenapa?"
"Ini masalah Sky dan Jin, Ma"
"Sky..."

Sky menghela nafas dalam, "Sky sakit, Ma... Sky buta. Sky tak ingin Jin bersusah payah hidup bersama Sky. Jin akan mendapatkan jodohnya. Seseorang yang lebih baik dan lebih sempurna daripada Sky." Sky berusaha menoleh ke arah suara Mama.

Mama tahu yang dirasakan Sky,  wanita itu meletakkan tangannya di tangan Sky. Menggenggamnya. Lalu berbisik lirih, "Nak, Jodoh itu di tangan Tuhan..."

"Ma..." Sky meremas tangan mamanya. Berpegang. Ia tak melihat namun ia bisa membayangkan wajah mamanya sekarang. Mamanya terisak. Sky membawa tangan ibunya ke pipinya yang ternyata telah basah pula oleh airmata.

Telepon berdering lagi. Mama menatap Sky. Lalu tanpa menghiraukan protes Sky, Mama meraih telepon.

Sky ingin berteriak, mencegah Mama. Namun lagi-lagi gelombang gulita itu meluluh lantakkan indranya. Sky lunglai di ranjang rumah sakit itu, tak punya kekuatan untuk berpegang lagi. Mama menjerit dan segera menekan bel untuk kasus darurat yang terletak di sisi ranjang. Beberapa saat kemudian dokter dan para perawat sibuk memeriksa Sky.

Di luar kamar, Mama panic menekan nomor telpon Jin.
"Assalamualaikum, Jin..."

***

"Sky, kamu bangun?"

Sky mengerjap, silau oleh sinaran. Tak lagi gelap. Air menitis dari hijau dedaunan yang menjuntai diluar jendela kamar perawatan. Sky masih di situ, tak bergerak. Kesejukan di sana membangunkan indranya. Keindahan warna-warna mencekamnya. Sky tahu tadi hujan lebat. Namun semua basah justru membersihkan semua warna ke asalnya. Sky menikmati saat ini.

"Ini di rumah sakit lagi?" tanya Sky separo heran, separo kesal.
Sky mendengar tawa itu. Sky mengenal tawa itu... Saat pelan-pelan pandangannya terfokus, ia mengenali Jin.
"Jin... Apa yang kamu lakukan disini?"
Jin tersenyum. "Aku pernah bilang aku bersedia membagi hidupku untukmu, Sky..."
Sky tak mengerti.

"Ada orang bilang, bila kita menyelamatkan nyawa seseorang, kita bertanggung jawab atas hidup orang itu selamanya. Seumur hidupnya... Dan aku tahu itu benar, Selamanya kamu adalah bagian hidupku, Sky."

Sky tersenyum kecut, "Kamu ngomong apa?"
Jin hanya tersenyum, mencium tangan Sky. Nafas Jin begitu hangat dan lembut menyentuh kulitnya.

Sky tiba-tiba sadar, ia tak merasa sakit lagi. Gelap itu sudah hilang. Ia kembali dapat merasakan kehangatan yang nyata. "Apakah aku sudah mati? kenapa sekarang terasa begitu ringan? kemanakah kegelapan itu? kenapa sinar itu kembali?"

Tirai biru muda pintu pemisah bilik Sky tersibak.  Mama berdiri disana, menangis tapi matanya tersenyum. "Sky... Ya Allah, Terima kasih Kau telah kembalikan Sky padaku."

"Sky... belum mati?" tanya Sky membuat airmata Mama semakin berderai.

"Jin tak kan membiarkan Sky mati. Ia telah membagi separuh nyawanya untukkmu, Sky. Sebulan yang lalu engkau terbawa koma, Nak. Mama menghubungi Jin. Jin langsung memaksa dokter untuk menjalankan pemeriksaan kecocokan tulang sungsum kalian. Ajaib… Semua sesuai." Kata Mama.

Sky memandang Mama dan Jin bergantian.

"Siapa yang menyangka bone marrow Jin begitu sempurna untukmu... Tuhan telah mengirim Jin untukmu. Mama yakin ia pulalah yang akan menjagamu selamanya."

Sky menatap Jin, "Jin... benarkah?"
Jin hanya mengecup tangan Sky.
"Jin...."
"Aku mencintaimu, Sayang... "
"Jin..."

"Berjanjilah untuk tak pernah lagi menyembunyikan apapun dariku, teruslah disisiku... Kalau di masa depan ada cobaan lagi, berjanjilah kita akan menghadapinya bersama... Jangan pernah meninggalkan aku..." kata Jin tak memberi kesempatan pada Sky untuk mencegah.

"Jin..."
"Jangan pernah mengabaikan aku, Sky."
"Stop!" Seru Sky.
"Ya, Sayang..."

"Kupikir, Selepas hujan seperti langit dan matahari, kamu adalah sepuluh matahari yang selalu menerangiku dan menciptakan pelangiku." Sky tersenyum.

Jin bergetar. Airmata kelegaan dan kebahagiaan menggenang di sepasang mata elangnya tak berani ditumpahkannya. "Ya, Sky... Semua untuk langitku."

***

Singapore, after midnight...

Buat seseorang bertitel Jin,
 "Aku pinjam namamu... thx dah nemenin aku nyelesein cerita ini."
 Nov 20'07

Re-Write : 21 Januari 2011

No comments:

Post a Comment