About Me

About Me
Writer, Pengelola Rumah Baca Istana Rumbia, Staff redaksi Tabloid Taman Plaza, Admin Yayasan CENDOL Universal Nikko (Koordinator bedah cerpen OCK), perias dan Make-up artist PELANGI Asosiasi Entertainment, Crew Wonosobo Costume Carnival dan Crew 'A' Event Organizer (Multazam Network), pernah bekerja di Hongkong dan Singapura. Cerpenis Terbaik VOI RRI 2011, dan diundang untuk Upacara HUT RI ke 66 di Istana Negara bersama Presiden RI. BMI Teladan yang mengikuti Sidang Paripurna DPR RI 2011 dan menjadi tamu Ketua DPD RI. Dinobatkan sebagai Pahlawan Devisa Penulis Cerpen BNP2TKI Tahun 2011. Pemuda Pelopor Dinas Pendidikan, pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Tengah kategori Seni-Budaya Tahun 2012. Menyukai langit, stasiun kereta, dan warna biru. Salah satu penulis Undangan Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali. Dapat dihubungi via Email FB/YM : Nessa_kartika@yahoo.com.

Friday, January 28, 2011

[CERPEN] Aku Menulis Untuk Anakku

Ketika Romo menyuruhku menikahi Andri aku merasa nyeri. Hatiku terbelah menjadi dua, simpati yang membuatku ingin menolak dan rasa cintaku pada pemuda itu yang membuatku ingin menggenggam uluran tangannya erat.

Andri seorang pemuda yang kuat dan tegar. Aku tahu itu dan aku yakin itu. Selama ini Andri selalu menyambangiku dengan senyum manisnya. Tak pernah ia mengeluhkan tentang pekerjaannya yang berdiri seharian di depan kompor panas pabrik roti kering milik Pakdhe Tarjo. Padahal Andri biasa bangun pagi buta setiap hari, lalu selepas sholat subuh ia dan kawan-kawannya memulai pekerjaannya memanggang dan melipat roti yang tak jarang melepuhkan tangannya.Tak satu keluhan pun ia lontarkan, karena ia selalu menyukaiku tersenyum. Andri pun selalu penuh senyum kala bersamaku. Senyum yang tak pernah membuatku jemu.

Jam tujuh pagi dan jam satu siang, Andri dan kawan-kawan akan datang ke rumahku untuk makan masakan yang sudah aku dan Bunda siapkan. Saat-saat itulah yang membuat aku dan Andri kian dekat. Semua tahu dan semua turut bersukacita ketika kami jadian. Namun, menikahi Andri adalah hal terakhir yang terlintas di kepalaku.

Kebersamaanku dengan Andri semakin tak terhitung. Kami mulai tak terpisahkan. Itulah sebab Romo menyuruh kami meresmikan hubungan kami ke jenjang pernikahan.

"Kamu sudah cukup umur, Rani. Lagipula Andri itu Romo tahu luardalam... dia itu pemuda baik. Saudara kita di Wonosobo tahu sepak terjangnya." Kata Romo berusaha meyakinkan aku. Separuh hati aku percaya, namun separuh hati aku meragukan masa depanku di tangan Andri.
Mampukah Andri menjadi imam keluargaku? Mampukah kelak Andri mendidik anak-anak kami? Hatiku berkata tidak.
Aku menggeleng. "Tidak, Romo. Rani tak akan menikahi Andri." kataku tegas.

Romo secara tidak langsung menyampaikan penolakanku. Sejak itu Andri menarik diri dariku. Aku melihat duka di mata Andri namun tak bisa berbuat apa-apa ketika seminggu kemudian ia mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan Jogjakarta. Meninggalkanku.

Keanehan mulai kurasakan, klise. Aku merindukan Andri.  Kehadirannya setiap pagi dan siang di rumahku seolah sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa kuhilangkan dari ingatan. Ketika kini Andri sudah pulang di kampungnya, aku selalu menanyakan kabarnya dari saudara yang datang dan pergi. Meski beberapa pemuda karyawan pabrik roti Pakdhe Tarjo mengutarakan ketertarikan mereka padaku, aku tak pernah menganggap serius.

Andri mulai menjadi patokanku dalam mengena setiap pemuda. Si ini tidak secakap Andri, si Itu tak setrampil Andri... dan lain sebagainya. Setiap malam aku menangisi penyesalanku. Di sela do'aku aku selalu menyelipkan nama Andri. Sebagai seorang gadis, tak mungkin bagiku untuk memanggil Andri kembali. Aku hanya bisa berharap meskipun aku tahu harapanku hanya setipis lembaran kertas, namun aku ingin Andri tak pernah melupakanku. Seperti aku tak pernah melupakannya.

***

Suatu sore, ketika aku sedang mengantarkan jajan pasar dan beberapa gelas kopi panas untuk karyawan Pakdhe Tarjo, aku melihat Andri. Andri bukan bekerja lagi di pabrik roti Pakdhe, ia hanya ke Jogjakarta untuk mengantar roti-roti pesanan karena Mas Ali yang biasa bertugas jatuh sakit dan harus menginap opname di Rumah Sakit di Wonosobo.

Kabar yang dibawa oleh Andri membuat kami semua memutuskan untuk pergi ke Wonosobo, menjenguk Mas Ali. Susah payah aku merayu Romo dan Bunda agar aku diijinkan ikut. Perjalanan ini merupakan kesempatan kedua bagiku untuk mengambil kembali hati Andri. Hati yang telah kuobrak-abrik. Aku masih berpikir bahwa hanya akulah yang dapat mengobatinya.

Syukur Alhamdulillah dugaanku benar, Andri pun masih menaruh hati padaku. Singkat cerita aku dan Andri berhasil meluruskan masalah di antara kami. Ketika Andri melamarku langsung. Aku mengangguk.

Aku tahu akan berat sekali jalan yang harus aku lalui. Aku mulai banyak membaca dan diskusi dengan Bunda dan Romo akan bagaimana hidup baruku nanti. Namun kekuatan cinta membuatku tahu, kami bisa.

***

Kami menikah secara sederhana di antara kerabat dan handai taulan. Beberapa teman begitu terharu hingga tak dapat menahan airmata mereka. Aku? Aku ingin menangis. Namun jika aku menangis, aku takut keluargaku mengira aku tak bahagia. Jadi aku hanya bisa tersenyum. Seperti halnya Andri yang terus tersenyum. Seperti yang kubilang, senyum Andri tak membosankan.

Kehidupan baruku dimulai di Wonosobo. Rasa rindu dan sepi karena tinggal jauh dari keluarga kutumpahkan lewat tulisan. Semua tulisan-tulisanku aku kumpulkan dan aku bahas dengan Bu Siti, guruku yang mendirikan Rumah Baca di sini. Putri sulungnya, Ani pun menjadi sahabat baikku. Selain kertas dan pena, merekalah yang menjadi tempatku berbicara.

Di sela tugasku sebagai ibu rumah tangga, aku selalu menyempatkan diri untuk menulis. Kekuatan-kekuatan yang diberikan oleh Bu Siti membuatku tegar dalam menjalani hidupku ini. Apalagi setelah Adit, putraku dan Andri lahir. Kesepian semakin mendesakku untuk menulis. Bu Siti-lah yang membantuku mengirim karyaku keman-mana. Berkali-kali karyaku ditolak oleh penerbit, namun aku tak menyerah.

Aku yakin setiap kegagalan hanya akan membuatku lebih tegar dan akan membuatku menghargai setiap keberhasilan yang kan kudapat kelak.

Setiap aku menangis Andri memelukku, berusaha menghiburku dan menyemangatiku. Seperti yakinku, ia adalah suami yang sangat baik. Dan aku tak sedetikpun menyesal telah menikahinya. Tak putus suamiku memberiku dorongan untuk jangan menyerah. Karena niatku tulus, menghasilkan uang untuk membelikan Adit alat bantu pendengaran karena ia seperti bapaknya, Bisu dan Tuli.

***

*Based on true story
Nama telah diganti untuk menjaga privasi.

(Airmataku tak berhenti berderai menulis ini)

No comments:

Post a Comment