About Me

About Me
Writer, Pengelola Rumah Baca Istana Rumbia, Staff redaksi Tabloid Taman Plaza, Admin Yayasan CENDOL Universal Nikko (Koordinator bedah cerpen OCK), perias dan Make-up artist PELANGI Asosiasi Entertainment, Crew Wonosobo Costume Carnival dan Crew 'A' Event Organizer (Multazam Network), pernah bekerja di Hongkong dan Singapura. Cerpenis Terbaik VOI RRI 2011, dan diundang untuk Upacara HUT RI ke 66 di Istana Negara bersama Presiden RI. BMI Teladan yang mengikuti Sidang Paripurna DPR RI 2011 dan menjadi tamu Ketua DPD RI. Dinobatkan sebagai Pahlawan Devisa Penulis Cerpen BNP2TKI Tahun 2011. Pemuda Pelopor Dinas Pendidikan, pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Tengah kategori Seni-Budaya Tahun 2012. Menyukai langit, stasiun kereta, dan warna biru. Salah satu penulis Undangan Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali. Dapat dihubungi via Email FB/YM : Nessa_kartika@yahoo.com.

Thursday, January 20, 2011

[CERPEN ULTAH UNSA] SEBUAH NAMA YANG TERLUPA

SEBUAH NAMA YANG TERLUPA
By. Nessa Kartika

Dalam sepi engkau datang
Beri ku kekuatan tuk bertahan

Kau percaya aku ada
Kau yang aku inginkan Selamanya

Kau adalah hatiku
Kau belahan jiwaku
Seperti itu ku mencintamu
Sampai mati

Di hidupku yang tak sempurna
Kau adalah hal terindah yang ku punya

Seperti itu ku mencintamu
Sampai mati...

(UTOPIA, Mencintamu)

Karin, gadis manis berjilbab dan bermata indah itu mendesah. Ia menghentikan kegiatannya berselancar si dunia maya, mendengarkan lagu Utopia kiriman dari Nessa, sahabat mayanya dengan seksama. Syairnya meresap hingga membuatnya bergidik. Membangunkan ingatannya akan sebuah nama yang terlupa. Nama yang dicintainya dan masih dicintainya sampai saat ini. Mungkin, akan dicintainya sampai mati...

Aji.

Pemuda hitam manis yang menjadi pujaannya selama bertahun-tahun. Cinta pada pandangan pertama, cinta pertama...

Keluarga Karin pindah ke kota itu saat bapaknya yang seorang guru ditugaskan mengajar di kota sebelah. Sekeluarga pun pindah dan Karin bersekolah di sana. Saat itu Aji kelas 3. Karin telah jatuh hati sejak pertama kalinya melihat Aji di antara gerombolan kakak kelas lainnya di acara penerimaan siswa baru SMA nya di kota sebelah.

Aji adalah idola di sekolah. Penulis lagu dan vokalis di grup UNSA band yang ternama di kota mereka. Penggemarnya banyak. Termasuk beberapa teman sekelasnya. Aji seorang yang ramah, siapapun betah ngobrol dengannya. Tapi Karin tak pernah punya keberanian untuk menyapa kala mereka bertemu di lingkungan sekolah atau di luar sekolah.

Karin selalu menunggu hari minggu pagi, di kala ia bisa melihat Aji dan grup UNSA band-nya pentas di alun-alun kota. Di sana, Karin akan diam-diam menjepret Aji dengan kamera handphone-nya dan juga merekam penampilan mereka. Untuk dibawa pulang dan dipuja setelahnya. Bagaikan kelainan jiwa. Namun itulah cinta bagi Karin meski tak berani melakukan apapun untuk menunjukkan pada Aji bahwa Karin memujanya. Tidak ada sajak cinta atau surat cinta yang tersampaikan meskipun sudah ditulisnya dengan susah payah. Tak juga ada nyali untuk mengenalkan dirinya  pada pujaannya untuk lalu bilang suka. Karin hanya siswa biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Hanya mencintai Aji dalam diam-diam.

Setahun kemudian Aji lulus. Video saat Aji dan UNSA Band-nya memainkan lagu She's gone-Steel heart di acara perpisahan sekolah diabadikan dan disimpan oleh Karin dengan rapi dalam kepedihan kasih tak sampai. Dijadikan oleh Karin sebagai tanda perpisahan di mana hatinya pernah diletakan. Aji, pemuda yang dikenal Karin tanpa mengenal Karin. Sepotong hati itu masih dibawanya. Tak bergeming dari tempatnya semula. Tak terlupakan... Tak juga terungkit. Hanya terbenam dan tak ingin diingat-ingat.

Beberapa teman SMA yang masih punya kontak dengannya beberapa kali menyinggung tentang nama Aji. "Aji kuliah di Malaysia," itu kabar setahun setelah kelulusan Aji. "Aji sekarang bekerja jadi Akuntan PT.Mangga Golek," itu dua tahun setelahnya yaitu saat perpisahan Karin dengan kota itu. Kota di mana gita cinta SMA-nya tertinggal. Bertepuk sebelah tangan. Rapi. Tak menyisakan sebuah kisah.

Suara Pia vokalis Utopia terus mengalun. Tanpa sadar Karin ikut menyanyi... Seperti itu ku mencintamu sampai mati...

***

Beberapa pemuda berkerumun di luar warnet. Satu di antaranya, Aw bermain gitar namun Karin tak mendengar lagu apa yang dimainkannya. Terlalu ramai.

Warnet ini milik keluarga Karin. Setelah Karin lulus SMA kebetulan bapaknya pun dipindah tugaskan kembali ke kota asal mereka. Berawal dari tiga set perangkat computer, Karin membuka warung internet di garasi rumah mereka. Warnet ‘KARENINA’. Sederhana. Semua berjalan lancar. Pelanggan mereka pun kian hari kian bertambah. Tanpa terasa sudah tiga tahun usia warnet ini.

Tiga tahun pula Karin tak pernah lagi memikirkan tentang Aji. Namun sejak pertama kali lagu milik Utopia itu dikirim oleh Nessa di wall Facebook-nya sore itu, memory Karin terus berputar pada masa tahun pertama sekolah SMA-nya. Seperti firasat. Semua tumpah ruah… membuat hati Karin terpenjara rindu yang tak kesampaian. Kilasan kenangan yang nyaris tanpa kisah membuatnya merasa aneh. Hanya sebuah lagu… Mengapa begitu menyiksa?

Karin berusaha memfokuskan pandangannya ke layar monitor. Mengotak-atik rumah maya-nya. Namun pikirannya melayang-layang. Tak satupun kata yang tertangkap di otaknya. Sekejap kemudian Karin menyerah. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Pandangannya melayang ke luar warnet. Memandangi anak-anak yang sedang ngobrol dan bernyanyi. Udara sore yang cerah membuat semua ceria.

Suara kedatangan sepeda motor di depan warnet mencuri perhatian Karin. Plat nomor kota sebelah. Karin mengamati pengendaranya yang ber-helm. Perasaan déjà-vu melandanya. Karin merasa pernah begini sebelumnya. Ia duduk di sebuah bangku dan mengamati pemuda itu. Entah dimana… Namun perasaan itu manis sekali… Saat ketika helm terbuka, Karin terbelalak.

Aji! Apa yang dilakukan pemuda itu di kota ini?

Pemuda itu terlihat lebih dewasa dari saat terakhir kali Karin melihatnya lebih dari lima tahun yang lalu. Bagi Karin, andai Aji berubah menjadi kakek tua renta pun Karin pasti masih mengenalinya. Aji masih semanis dahulu. Mata teduhnya masih mampu membuat Karin kehilangan seluruh kekuatannya. AndaiKarin  tak sedang duduk, dia pasti terkapar di lantai sekarang ini akibat dengkulnya melemas.

“Mbak, ada kabin kosong?” Tanya Aji.

Karin merasa sedih. Aji ternyata sama sekali tak mengenali Karin sebagai adik kelasnya. Tapi siapa Karin? Selama di sekolah dulu Karin-lah yang memuja Aji habis-habisan. Aji tak tahu tentang Karin.

“Kabin dua, Mas…” Kata Karin menutupi kekecewaannya. Ia juga tak mau dibilang SKSD(Sok Kenal Sok Dekat) jadi Karin berusaha bersikap biasa-biasa saja meskipun sulit karena hatinya meledak-ledak.

Aji mengangguk dan segera masuk ke kabin dua meninggalkan Karin yang gemetaran menahan perasaannya yang campur aduk. Karin melepaskan nafas yang ternyata ditahannya tanpa sadar. Setelah itu pikirannya sibuk mencari-cari alasan untuk membuka percakapan.

Pikiran Karin melayang-layang antara masa kini dan masa lalu.

Sebelum satu jam berakhir, Aji keluar dari kabin. Karin masih tak mempunyai keberanian untuk mengatakan apapun. Setelah Aji membayar tarif warnet dan keluar. Karin menangis. Aji berlalu pergi meninggalkan kenangan di benak Karin yang tetap sama, tak berkisah. Karin merasa menyesal telah membuang kesempatan itu.

Karin masih meratap ketika suara ribut di luar menariknya kembali ke dunia nyata.

“Riiin… Kecelakaan…!!!” Teriak Fiyan, salah satu pemuda di luar.

“Riiiin… Panggil ambulans!!!” Teriak Lucky, pemuda yang lain.

Karin terpontang-panting keluar dari garasi rumahnya itu. Menuju jalan raya di depan rumahnya. Di perempatan lampu merah, pemuda yang baru satu menit keluar dari ruangan yang sama dengannya terkapar di aspal. Motor Aji tertabrak sebuah mobil pick-up yang dengan sembarangan memotong perempatan jalan.

***

 Lampu operasi teater di ruang gawat darurat RS SMC dinyalakan. Karin menunggu dengan was-was. Berjuta doa terkilas di kepalanya. Karin benar-benar dilanda kegundahan. Saat Aji terkapar bersimbah darah di aspal, tanpa sadar Karin berlari dan menyongsong tubuh Aji yang tak sadarkan diri. Berteriak pada siapa saja di situ untuk meminta bantuan.

Untung ada mobil orang lain lewat dan pengemudinya yang lelaki paruh baya dengan sigap menggotong tubuh Aji ke dalamnya dengan sukarela. Tak peduli darah melumuri mobilnya. Darah…. Darah Aji yang seolah tak berhenti mengalir.

Karin menangis lagi.

Bapak samaritan yang bernama Pak Adi datang dari ruangan administrasi RS. “Nak, kamu keluarganya?”
Karin meremas tas Aji yang dipeluknya dari tadi. “…bukan.” Jawabnya ragu. Ingin Karin berkata ya, tapi kenyataannya ia bukan. “Tapi saya teman sekolahnya.”

Bapak Adi mengulurkan tangan. “Kemari, Nak. Ada data-data yang harus kamu isi tentang kawanmu.”
Karin mengangguk. Karin tahu semua hal tentang Aji. Karin tahu.

***

Darah menetes dari kantong transfusi yang menggantung di atas kepala Karin. Mengalir ke tubuh Aji yang terbaring tak sadarkan diri. Karin bergidik. Semoga Aji baik-baik saja. Karin mengamati wajah Aji yang memar di sana-sini sebentar lalu keluar ruangan mencari tempat duduk. Ia harus menghubungi keluarga pemuda itu.

Karin meraih handphone Aji dari dalam tas, mencari nomor kontak yang sekiranya adalah keluarga Aji. Sekelebat terpikir untuk melihat-lihat isi handphone Aji namun ditepiskannya keinginan itu. Tak sopan.

Karin menemukan nomor ayah Aji. Telepon diangkat pada deringan ketiga.
“Assalamualaikum? Aji?” Sapa suara lelaki di seberang menyangka putranya lah yang menelepon.
“Walaikum salam. Pak Dirman?” Tanya Karin ragu, airmata masih mengalir di pipinya.
“Iya. Ini kok nomor anak saya, Aji, kamu siapa?”
“Saya teman sekolah Aji tinggal di kota Agung. Aji kecelakaan, pak.”
“Oya?” Suara bapak Aji tidak percaya.
Karin teringat tentang penipuan bermodus serupa, ia maklum kalau Pak Dirman curiga. “Iya, pak. Di Rumah Sakit SMC kota Agung. Bapak Dirman datang saja ke bangsal Yazmin. Ranjang nomor 37. Saya menunggu bapak.”
“Yazmin nomor 37..”
“Iya, pak. Wassalam.” Karin menutup pembicaraan.

Dimasukkannya handphone Aji kembali ke tas, lalu tas itu dimasukkannya ke lemari kecil di sebelah ranjang. Karin tak akan menggubris panggilan ataupun sms yang masuk.

Karin mengamati dirinya sendiri. Berlumuran darah Aji. Karin menahan isaknya.
Bapak Adi yang baik itu masuk ke bangsal. “Nak, mau kuantar pulang? Biar aku yang menunggui dia. Kamu gemetaran.” Kata Pak Adi.
Karin menggeleng. “Saya sudah menghubungi ayahnya. Saya saja yang menunggu dia sampai keluarganya datang. Saya mengenal mereka."
“Tapi kamu belepotan darah.”
“Biar saja, pak… saya nanti menelpon bapak saya untuk menjemput. Mobil bapak juga belepotan darah. Sebaiknya segera dibersihkan daripada nanti macet kalau sudah kering.” Kata Karin.
“Baiklah kalau begitu aku pergi dulu, Nak.” Pamit Pak Adi.
“Terima kasih atas bantuan bapak.”
“Hallaah… Siapapun pasti akan melakukan hal yang sama.” Kata Bapak Adi merendah. Lalu melangkah pergi meninggalkan Karin yang kembali sendirian.
Karin meraih handphone menghibur dirinya sendiri dengan itu.

Jarak tempuh dari kota sebelah ke kotanya sekitar dua jam memakai kendaraan pribadi. Selama dua jam itu Karin habiskan waktu dengan terus memikirkan pertemuannya kembali dengan Aji ini. Karin berbicara pada Aji yang terbaring tak sadar. Berbicara tentang cinta, masa lalu dan rindu-rindunya. Karin tahu itu hal paling bodoh yang dilakukannya seumur hidupnya. Aji dalam keadaan seperti ini baru Karin berani mengungkapkan isi hatinya... Kenapa tidak dua jam yang lalu saat Aji berdiri dengan senyum di hadapannya?

Kau adalah hatiku
Kau belahan jiwaku
Seperti itu ku mencintamu
Sampai mati…

Karin menyanyikan lagu Utopia pada Aji. Karin tahu tak mungkin Aji mendengarnya dan mengetahuinya saat ia sadar nanti. Tapi tahu pun apa gunanya. Siapa Karin bagi Aji?

Karin bangkit. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Karin beranjak ke kamar mandi di luar bangsal. Mencuci mukanya dengan air yang terasa sejuk. Setelah mengamati dirinya sendiri yang menakutkan karena pakaiannya berlumur darah. Karin menghubungi bapaknya lewat SMS.

“Pak. Jemput Karin di Rumah Sakit SMC. Semua sudah beres.”

Karin keluar dari dari kamar mandi. Ia melihat Pak Dirman, bapak Aji di depan bangsal. Karin  pernah melihat beliau sebelumnya dan yakin betul bahwa ia tak salah orang.

Karin tersenyum sedih. Time’s up. waktunya ia pergi.

Karin beranjak keluar ke loby Rumah Sakit. Menunggu kedatangan bapaknya.

***

“Selamat Ulang Tahun ke 21, Karin.” Sebuah ucapan melayang masuk ke handphone-nya tepat semenit setelah Karin terjaga dari tidurnya. Karin tersenyum. Nessa sahabat mayanya, seorang yang menjadi teman paling setia di dunia nyata. Selalu menjadi yang pertama.

Karin segera menelpon Nessa dengan handphone-nya, “Assalamualaikum, Nessa…”
“Met ultah ya, non.” Sahut Nessa.
“Makasih... ya... Sedang apa kamu, Ness?” Tanya Karin sambil meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Pagi yang dingin dan beku. Hari ini Karin ingin libur dan pergi bertamasya mengajak Nessa, ibu dan bapak bisa menggantikannya menjaga Warnet hari ini.
“Nggak ngapa-ngapain. Aku punya firasat kamu pasti ngajakin aku main.” Nessa tertawa renyah.
Karin tertawa juga. “Kamu tahu aja… Hari ini tak kerja? Bukannya kamu baru mulai kerja?”

Nessa berdehem, “Sebenarnya itulah yang aku mau bicarakan ma kamu. Rin, ada teman yang mau kukenalkan padamu.” Nessa berdehem lagi, tanda bahwa ia agak terpaksa mengatakan ini. ”Kalau kamu oke, nanti kujemput kamu. Kita rayakan ultahmu sekalian.”

Karin geregetan. Nessa berusaha jadi mak comblang. Setiap mereka ngobrol di FB ataupun handphone Nessa selalu bertanya mengapa Karin masih sendiri. Tak mau pacaran atau tak ada yang menarik hati? Karin tak menceritakan apa-apa. Hanya membalas semua pertanyaan Nessa dengan canda. “Kamu kebangetan…” desis Karin.

Nessa tertawa lagi. “Mau apa nggak?”

Karin menahan diri untuk tidak menunjukan rasa ingin tahunya. “Udahlah, nggak usah dijemput. Buang-buang waktu dan tenagamu aja. Aku kesitu nanti. Suruh mamamu masak enak ya…” Goda Karin. Nessa dan Karin memang sudah akrab dengan keluarga satu sama lain seperti keluarga sendiri.

“What?? Bukankah seharusnya yang ulang tahun yang nraktir…????” Protes Nessa."Kenapa tiba-tiba mamaku jadi tukang masaknya?"

Karin tertawa, “Mending duitnya ku kasih ke mama-mu buat belanja…”

“Dasar unik. Aku cuma bercanda… Mama udah masak nasi kuning buat kamu… wah… harumnyaa….”goda Nessa lagi.

Karin menahan airliurnya, tapi tak mau menimpali dan membiarkan Nessa tahu pancingannya sukses. “Eits… kamu kan yang abis dapat job yang baru? Seharusnya kamu donk yang nraktir aku…” potong Karin.

“Karin... Karin... kalo bukan untuk hal itu juga, ngapain mama repot bikin selamatan?” Karin tahu di seberang sana Nessa cengar-cengir.

Karin mendengar perutnya keroncongan. “Waaaah… Aku meluncur sekaraang….”

Nessa menutup telepon masih sambil tertawa.

***

Karin merapikan jaket yang ternyata tak mampu membuatnya hangat di kota  sebelah yang dingin. Memastikan sekali lagi motornya terparkir dengan baik. Lalu melangkah ke arah dalam rumah Nessa yang terlihat ramai.

“Assalamualaikum…” Sapa Karin di pintu.

Beberapa orang yang sudah berada di dalam membalas salamnya dengan segera. Karin malah terpaku di pintu.

“Rin, masuk… ngapain malah bengong?” kata Nessa yang duduk di antara beberapa tamu lain. Salah satunya, pemuda hitam manis yang sedang menghadap laptop… adalah Aji. Aji yang ditinggalkannya di ranjang Rumah Sakit SMC beberapa bulan yang lalu.

Lutut Karin melemas. Ia terhuyung berpegangan pada kusen pintu. Dia berusaha tersenyum dan bersikap normal. Bagaimanapun, Aji tak tahu apa yang terjadi setelah Aji keluar dari warnet saat itu. “Aku kesemutan… kelamaan duduk di atas motor.” Kilah Karin saat mereka memandanginya heran. Kata-kata Karin membuat mereka semua tertawa terbahak.

Nessa menyambutnya, menyalaminya dengan bercanda. “Selamat ulang tahun sekali lagi ya, sayangku…” Katanya memeluk dan menghadiahi cipika-cipiki untuk Karin. Lalu menunjuk pada kawan-kawannya. “Semua ini kawan-kawanku di tempat kerja yang baru. Mieny, Aji dan Deni.” Tiga teman kerja Nessa memberinya ucapan selamat ulang tahun bergantian. Karin tersenyum membalas keramahan mereka.

“Selamat ulang tahun ya.” Kata Aji pada Karin yang membalasnya dengan senyum. Karin mengamati Aji. Di mata Aji tak tersirat sedikitpun tanda-tanda ia mengenali Karin. Hanya Karin merasakan sebuah misteri menggelayuti benak Aji. Semua terpancar di matanya yang teduh. Karin tak tahu apa. "Mungkin hanya perasaanku saja," batinnya. Karin mengubur rasa kecewa yang membuat dadanya sesak.

Pelan-pelan ia menuju ruang tengah. Betapa senangnya saat melihat meja makan sudah tertata berbagai macam hidangan. Setelah berbasa-basi sebentar dengan Bu Naqiyyah, ibunya Nessa, Karin keluar lagi kembali bergabung dengan Nessa dan kawan-kawan di teras.

Beberapa saat kemudian mereka menyerbu ruang makan. Karin yang masih tak mengerti akan rencana Tuhan masih tergugu di luar. Saat itulah Nessa mengajaknya bicara empat mata.

“Namanya Aji.” Kata Nessa tanpa basa-basi. Mengerti arah pandangan mata Karin yang tak bisa lepas dari sosok Aji..
“Aku tau.”
“Kamu tau?”
“Dia kakak kelasku.”

Gantian Nessa yang kaget. “Oh ya?? Aku malah nggak terpikir menanyakan SMA mana dia dulu.” Kata Nessa lagi. “Kamu punya rasa ma dia ya? Jangan-jangan dia…” Nessa menggantung kalimatnya.

Karin mengernyitkan alis, "Apa?"
"Ah, nggak papa..."
“Di telpon tadi maksudnya kamu mau mengenalkan aku padanya?” potong Karin lagi.
Nessa mengangguk, lalu nyengir. “Tak sangka kamu sudah kenal dia….”

Karin pun berujar hal yang sama dalam hati, tak sangka… Ulang tahun kali ini begitu berkesan untuknya. Kejutan dari Nessa adalah hal terakhir yang ada dalam pikirannya. Aji... adalah kado terindah baginya.

Aji keluar membawa dua piring yang terisi penuh. “Hai… ini, makan. Ibunya Nessa menyuruhku bawa ini buatmu.” Kata Aji sambil mengulurkan satu piring berisi nasi dan lauknya lengkap ke arahnya."Makan yang banyak... kamu kurus sekali..."

Karin tersenyum, “Banyak sekali… Terima kasih ya, Mas.”

Aji  duduk di sebelahnya. Karin bahagia, namun ia kehilangan nafsu makannya. Kenapa Aji tak mengenalinya sama sekali? Mengapa? Sekelumit sesal tak mengenalkan diri baik itu saat Aji ke warnet maupun pada orangtua Aji saat di Rumah Sakit mengganggunya. Tiba-tiba berada di tempat yang sama dengan Aji, berbincang, bahkan duduk di sebelah Aji, hal yang paling sering diimpikannya, membuat Karin merasa sesak. Nessa diam-diam meninggalkan mereka berdua.

“Tak dimakan?” Tanya Aji.

Karin memaksakan sesuap nasi ke mulutnya… Lalu sesuap lagi… dan lagi... barulah ia menyadari kalau ia lapar sekali. Ia terus makan sampai merasa kenyang. Mulutnya mengunyah dan menelan namun pikirannya melayang-layang. Beberapa saat kemudian Aji mengulurkan tangan mengambil piring Karin yang tak disentuh lagi. “Biar kubawa ke belakang.” Karin tersipu dan mengangguk. Perhatian Aji membuatnya makin tak karuan.

Jika Karin mengikuti permainan Nessa, sahabatnya yang berniat menjodohkan dirinya dengan Aji. Melihat kesediaan dari pihak Aji seharusnya Karin bahagia. Namun entah mengapa Karin merasa bimbang. Mungkin lebih baik memang Karin tak berkata apa-apa. Karena jika Aji tahu Karin-lah yang menolongnya pasti bukan rasa ketertarikan dan cinta nantinya yang ada di sana, tapi hutang budi. Karin tak ingin memulai hubungan didasari oleh rasa itu. Namun ada banyak hal yang ingin Karin ceritakan pada Aji. Ingin sekali. Tapi bagaimana caranya? Karin merasa otaknya buntu.

Ajii keluar lagi ke teras. “Aku seperti pernah melihatmu.” Kata Aji serius. Memandang wajah Karin dalam-dalam.     
Karin balas memandanginya. “Aku adik kelasmu.”     
Aji terlihat kaget. “Benarkah?”     
Karin mengangguk.  
“Tapi bukan… bukan. Maksudku adalah baru-baru ini. Tapi aku lupa di mana.”  Aji berusaha mengingat.
Karin tertawa. “Salah orang kali…”

Aji diam. Karin tahu pemuda ini sedang berpikir keras. “Rin, aku yakin. Tapi aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Sejak kamu berdiri di pintu seolah aku pernah melihatmu tepat seperti itu. Berdiri disana memandangiku.”

Batin Karin tersentak. Darah mengalir deras ke atas membuat wajahnya memerah. Ribuan kali Karin hanya bisa berdiri memandangi Aji! “Ah, kamu pasti hanya merayu. Kelakuannya si Nessa sih... godain kita... bergaya mak comblang.” Kata Karin berkilah.

“Aku yang meminta.”     
Karin terbelalak, “Apa?”     
“Aku melihat fotomu dengan Nessa. Aku merasa didesak oleh rasa aku harus melihatmu lagi. Aku sudah menceritakan semuanya pada Nessa.”     
Karin tak tahu mau menjawab apa.     
“Karin, kamu tahu aku kecelakaan di kota Agung ‘kan?”

Pertanyaan Aji membuat Karin terperanjat. Karin membuang pandangannya ke arah ayam-ayam yang bergerombol di pelataran depan rumah Nessa.

“Karin… Saat aku siuman, aku dibayang-bayangi oleh wajahmu. Semua nyata meski saat itu aku tak tahu namamu.” Kata Aji. Airmata Karin menitik. “Berbulan-bulan aku mencoba mencari tahu tentang kamu. Berkali-kali aku keliling kota Agung… Aku bahkan sempat menanyai staff Rumah Sakit SMC. Tapi mereka hanya memberi tahu ciri-cirimu, mereka mengingatmu karena darahku mengotori pakaianmu. Ingatanku sebulan sebelum kejadian hilang Tak ada info tentang penolongku. Semua membuatku hampir gila. Sampai kemarin Nessa bercerita tentang kawannya di kota Agung yang berulang tahun dan menunjukan padaku foto kalian.”

Karin menahan isaknya.
Pelan-pelan dari dalam ruangan mengalun lagu Utopia…

Dalam sepi Engkau datang
Beri ku kekuatan tuk bertahan
Kau percaya Aku ada
Kau yang aku inginkan Selamanya

Mereka berpandangan. Lagu itu membangunkan ingatan Aji akan sebuah masa yang terlupa, nama yang terlupa.

Aji meraih bahunya. “Karin, itu kamu ‘kan? Aku selalu terbayang wajahmu saat aku mendengar lagu ini. Aku pun tak tahu mengapa. Tapi aku begitu rindu padamu.” 

Karin masih hanya menatap wajah Aji dalam-dalam. Tak tahu apa kata yang tepat untuknya bicara.
Aji memandang ke dalam mata Karin. “Itu kamu.” bukan pertanyaan yang terlontar dari mulut Aji, tapi pernyataan.
Pelan-pelan Karin mengangguk.

*** THE END **

TOKOH-TOKOHNYA NYATA TAPI CERITANYA FIKSI>>>> Peaacccceeeee....!!
Inspirasi dari video yg pertama kali di tag Karin ke Aq... :)

PERSEMBAHAN ULTAH KEJUTAN UNTUK GRUP UNTUK SAHABAT

Link :
http://www.facebook.com/nessa.kartika#!/note.php?note_id=492085647882&id=100000080081552

Happy 1st Birthday, UNSA.

No comments:

Post a Comment