About Me

About Me
Writer, Pengelola Rumah Baca Istana Rumbia, Staff redaksi Tabloid Taman Plaza, Admin Yayasan CENDOL Universal Nikko (Koordinator bedah cerpen OCK), perias dan Make-up artist PELANGI Asosiasi Entertainment, Crew Wonosobo Costume Carnival dan Crew 'A' Event Organizer (Multazam Network), pernah bekerja di Hongkong dan Singapura. Cerpenis Terbaik VOI RRI 2011, dan diundang untuk Upacara HUT RI ke 66 di Istana Negara bersama Presiden RI. BMI Teladan yang mengikuti Sidang Paripurna DPR RI 2011 dan menjadi tamu Ketua DPD RI. Dinobatkan sebagai Pahlawan Devisa Penulis Cerpen BNP2TKI Tahun 2011. Pemuda Pelopor Dinas Pendidikan, pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Tengah kategori Seni-Budaya Tahun 2012. Menyukai langit, stasiun kereta, dan warna biru. Salah satu penulis Undangan Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali. Dapat dihubungi via Email FB/YM : Nessa_kartika@yahoo.com.

Sunday, November 18, 2018

#Puisi Mungkin Tuhan Siapkan Bahagiaku di Surga

Masa kecilku tak indah
Terlalu banyak derita
Diantara kelaparan dan kesendirian
Serta hidup antara ada dan tiada

Masa remajaku seakan tak nyata
Terlalui dengan airmata yang tertahan
Keluarga seakan fatamorgana
Kesedihan sepanjang ingatan

Lalu kedhaliman yang menguasai
Tak membuat dunia tempat yang bahagia
Sekuat apapun berusaha, terlupa
Tak pernah menjadi luar biasa

Hingga satu titik, mimpi sudah tidak berarti
Hidup tak lagi mengejar
Hanya bertahan dan mencoba mengisinya dengan doa

Doa doa yang dipanjatkan dalam diam
Keinginan-keinginan untuk diri sendiri
Tak pernah berarti
Selalu ada hal lain yang harus dimengerti

Sakit hati dan airmata,
Semoga menjadi penerang akhiratku
Mungkin Tuhan siapkan bahagiaku di Surga,
Bukan di dunia ini

La tahzan
| Allah dulu, Allah lagi, Allah terus

JANGAN LUPA BAHAGIA

Setelah vonis Chronic Kidney Disease alias Gagal Ginjal Kronis 6 bulan lalu dan harus menjalani terapi cuci darah (Hemodialisa) seminggu 2 kali, baru hari ini aku menangis.

Tak ada yang paham deritaku. Tidak ada yang tau kesedihanku... Kesendirianku. Tetangga taunya aku baik-baik saja. Keluarga ada namun tak sampai hati kuluapkan emosi dan membuat mereka khawatir. Suami masa bodoh dengan keadaanku.

***

Aku pasien yang mandiri. Cari uang sendiri, berangkat berobat sendiri, tentu saja dengan biaya sendiri. Memang BPJS mencover biaya cuci darah, tapi untuk wira wiri aku minimal harus menyiapkan dana 5 juta sebulan, termasuk menebus obat yang tidak ditanggung BPJS seperti antibiotik dan hemapo.

Awalnya aku menerima semua ini begitu sabar, begitu ikhlas... Hari ini tumpah tangisku bagai tak terbendung

Dalam kondisi sakit aku masih beraktivitas, cari nafkah... Literally. Suamiku pengangguran. Ah bukan, pengangguran adalah orang-orang yang masih mencari pekerjaan, ingin bekerja. Sementara suamiku sudah beberapa tahun ini tidak bekerja dan tidak mau mencari pekerjaan. Praktis, aku yang seharusnya tulang rusuk jadi tulang punggung. Berkali-kali kusuruh ia bekerja secara langsung atau sindiran tak menyentuh hatinya.

Aku pikir tak apa, penghasilanku selain untuk berobat masih bisa kugunakan untuk makan sehari-hari. Aku ikhlas dan bertahan demi anakku. Aku sebagai seorang ibu, yang merasa berdosa kalo sampai anakku tidak makan. Alhamdulillah anakku tumbuh menjadi anak soleh dan penurut, bahkan dia melarangku memarahi ayahnya, "aku saja yang dimarahi, ma," katanya.

Watak suamiku yang pemalas, tidak pernah sholat, bahasanya kasar, ditambah pula dengan watak pemarah dari lahir.. Tiap hari aku dimaki dengan nama hewan. Sejak awal menikah, aku sering mengalami KDRT, sedang hamil pun aku ditendangnya. Berkali-kali aku dihajar, diseret dan kekerasan lain sampai tetangga tak terhitung melerai. Usia anak 2 tahun kutinggalkan dia ke luar negeri. Saat itu kusadari, jika faktor ekonomi yang dipermasalahkan tak kan ada habisnya. Tapi watak memang tak bisa diubah, sebelum aku kembali ke tanah air dia yang sudah bersumpah tak kan menyakitiku lagi, lebih parah. Berulang kali dia mencoba memerkosa istrinya sendiri.

Aku merasa trauma. Tidurku selalu dalam ketakutan. Kewajiban sebagai istri untuk melayani suami menjadi siksaan. Aku tak sanggup lagi. Setelah vonis penyakit gagal ginjal dan harus dipasang selang Carteter Double Lument di tubuhku, dia tak kuterima tidur bersamaku.

Aku sudah sakit, masih bekerja keras siang malam, membayar cicilan motor, buat makan, uang saku anak, biaya pengobatan... sementara dia yang sehari-hari kerjanya nglinting dan nonton tv, pekerjaan rumah saja aku bayar pembantu (pakai uangku tentu saja). Untuk hal hal yang umum dilakukan seorang suami, apalagi yang tak ada kerjaan seperti dia misal perbaiki pintu rusak, mengusir tikus dan lain-lain saja dia tak mau turun tangan... masih tega minta jatah. No way.

**"

Pagi ini, aku membuka mata mertuaku kelakuan anaknya.

Berawal dadi telepon bapakku, beliau dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Subuh aku bangunkan dia untuk menjemput di pangkalan ojek. Tapi, dasar pemalas. Dia tidur lagi sementara Bapakku berkali-kali menelepon. Meledak amarahku.

Masih memakai mukena aku menangis dan ngomel, dia bukannya segera berangkat, dibalas kata-kataku, dihinanya aku, "orang kayak aku kok sholat."

Astaghfirullah...

Seharusnya dia malu sebagai laki-laki tak bertangungjawab, tak pernah kasih makan anak istri. Seharusnya dia berterima kasih walau dalam keadaan sakit, Hemoglobin(HB) berkali drop ke angka 5 tetap kupaksa kerja... Apapun kukerjakan, membatik siang malam, jaga stan cari keuntungan seribu dua ribu dari barang dagangan, rias pengantin ke rumah-rumah orang, pendampingan-pendampingan adalah pekerjaan melelahkan tidak cukup seharian. Semua ikhlas kukerjakan disela cuci darah senin kamis dan jadwal kontrol dokter yang antrinya bisa seharian, di sini maupun di Semarang.

Sholat adalah caraku bersyukur masih diberi nyawa. Di atas sajadah aku minta rejekiku dilancarkan, di atas sajadah aku bermonolog pada Allah supaya barokah usiaku, di atas sajadah aku meminta kesembuhan atas penyakitku, kesembuhan tanpa meninggalkan penderitaan. Di atas sajadah aku doakan ayah ibuku, suami dan anakku. Tak putus doaku agar aku mampu melampaui segala ujian yang diberikan padaku.

Hidupku diuji, pekerjaanku diuji, kesabaranku diuji, kekuatanku diuji.

Aku lelah... Aku menahan diri. Tapi pagi ini tumpah air mataku.

Disela teriakan-teriakan kami adu mulut, baru kali ini mertuaku datang dan melerai. Di masa lalu, selalu aku yang salah karena tidak menjadi ibu rumah tangga yang selalu ada di rumah. Aku sadar aku sibuk, semua karena kebutuhan keluarga tidak mampu diusahakan oleh suamiku. Percayalah, jika bukan aku yang menyediakan makanan di rumah, maka tak ada makanan.

Sekarang dia tahu macam apa anaknya.