Oĺeh Nessa Kartika
Everywhere I'm looking now
I'm surrounded by your embraces
Baby, I can feel your hallo
...
Mesin di samping ranjang berputar. Selang-selang ikut berdetak seirama jantung, memompa darah keluar dari tubuh, masih terasa hangatnya, sebelum memutar membuang racun dan masuk kembali ke dalam tubuh dalam keadaan sudah bersih. As good as new.
Aku masih terdiam, menatap wajah tidurnya yang tenang, tanpa suara. Laki-laki itu belum berubah. Masih setampan tujuh belas tahun lalu, kalau kau percaya.
Aku serius.
Tak ada yang berubah darinya. Hanya hati kami, mungkin. Kalau itu perlu diperjelas.
Selama ini aku kemana? Aku tidak tahu keadaannya saat terpuruk dimakan penyakit. Aku bahkan masih menganggap penyakit ini tak nyata, sampai kutemukan kembali dia.
Seorang perawat lewat mendorong alat tensi.
"Belum bangun ya? Biasanya dia di rumah tidak bisa tidur, cuma waktu HD bisa tidur." Perawat itu memberitahu aku.
Aku mengangguk. Aku ingat kebiasaannya begadang, insomnia katanya. Aku tak tahu adakah keterkaitannya dengan kebiasaan tidak bisa tidurnya sekarang, ataukah karena gagal ginjal yang dideritanya.
Laki-laki ini pernah begitu penting bagiku. Aku mencintainya bagaikan bumi mencintai langit. Kalaupun aku diguna-guna, sungguh canggih dukun itu, aku melintasi dua lautan, pun tetap mencintainya.
Dia masih mencintaiku. Aku tahu. Facebook foto profilnya memakai fotonya yang kuambil nyaris dua puluh tahun lalu. Senyumnya bebas, duduk di antara barisan pepohonan teh yang kerdil meski telah berumur puluhan tahun, di bentangan perkebunan di kaki gunung sindorokah? Manis sekali percintaan kami waktu itu.
Zaman itu, duduk bersebelahan pun sudah luar biasa bahagia. Apalagi bisa jalan-jalan berdua di kebun teh seperti itu, dobel indahnya. Indah pemandangannya dan indah detak jantungku, berhenti di dia.
Darah muda kami haus petualangan, mencintai alamraya seperti halnya mencintai ibu kandung. Dua tiga pendakian selanjutnya, aku masih mencintainya meski saat itu aku sendiri tak yakin apakah dia mencintaiku.
Betul.
Aku yang mengejarnya mati-matian, perlu waktu bertahun-tahun sampai dia meminang.
Lalu aku jatuh cinta pada Jack.
***
"Kamu dari tadi?"
Suaranya menyadarkanku.
Laki-laki itu duduk, satu tangannya terjulur, ditusuk dua buah selang berisi darah yang mengalir. Aku tak tahu yang mana yang masuk, mana yang keluar. Ia tersambung dengan mesin, seperti baterai yang sedang mengecas.
"Kamu sudah bangun...," aku duduk di dekat kakinya, berhati-hati agar tidak menyenggol selang. Melihat pun aku tidak berani. Ini mengerikan, tapi aku ingin bicara padanya.
"Obat tensi yang kutelan setelah makan siang membuatku teler," katanya.
"Oh, perawat bilang kalau malam kamu tidak bisa tidur," kataku.
Ia tertawa, "hmmm... sudah berteman dengan perawat saat aku tidur. Cepat sekali." Ia meledekku.
Kapa
Aku merasakan wajahku panas. Pasti wajahku bersemu merah. Kuabaikan rasa maluku. "Aku tidak berani membangunkanmu."
Dia tersenyum.
"Sebenarnya kenapa bisa sakit begini?" Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi padanya sejak hari itu. Hari reuni. Hari minggu dua tahun yang lalu. Saat kami bertemu tapi saling memalingkan muka.
Oh, bukan apa-apa. Aku sudah move on. Hanya kaget. Dia menikah dengan teman SMA-ku. Ini nyata.
Ketika beberapa minggu yang lalu ia bercerita padaku di medsos bahwa ia dan istrinya sudah berpisah karena penyakit ini, aku hanya bisa merenung. Memahami situasinya.
Aku sendiri tak yakin, jika aku dalam posisi itu, bisakah aku tetap berada di sampingnya. Menemaninya membeli waktu lewat mesin-mesin berdarah ini.
Aku sudah tidak punya perasaan apa-apa padanya. Demi kenangan masa lalu aku datang kemari.
Kedatanganku menyalakan api gembira di matanya.
***
Aku teramat sangat mencintainya, dulu. Hingga pertemuan kembali ini membuat bagian hatiku yang kosong terasa aneh. Aku tidak merindukannya. Tidak pernah. Aku hanya menghargai waktu yang pernah kami lewati bersama, walau sampai kinipun aku masih tak tahu apa artiku bagi dia.
Perasaan itu yang mendorongku pergi.
Tidak ada wanita yang tahan digantung perasaannya. Atau mungkin aku yang salah membaca, namun jika mengingat Jack-ku yang telah tiada, aku tak mau melihat ke belakang.
Namun... ada rahasia yang mestinya kusampaikan. Seharusnya kusampaikan tujuhbelas tahun yang lalu. Aku berharap punya keberanian untuk menyampaikannya sebelum aku kembali pergi. Dia berhak tahu.
Selama ini rahasia itu kukubur dalam-dalam. Meskipun rasa bersalah tanpa ampun menggerogoti. Aku tidak menyalahkan waktu yang telah menjauhkannya dariku, sehingga rahasia ini terkunci rapat. Aku menyalahkan takdir yang mempertemukan kami kembali. Andai dia tidak sakit, akankah aku peduli?
Aku begitu berhati-hati agar tidak ingin tahu kehidupan rumah tangganya, walau istrinya adalah teman sekolahku. Aku bahkan tidak yakin istrinya tahu aku mantannya.
Aku mencoba mencari celah, dari percakapan kami.
Aku menatap sekeliling, ke teman-temannya sesama pasien, ke para perawat, ke dokter jaga, ke tukang bersih-bersih yang sedang mengganti dua jerigen air di mesin yang sudah ditinggalkan. Tak ada yang peduli. Semua sibuk sendiri-sendiri.
Bayi.
Aku ingin memberitahunya tentang bayi kami. Bayi yang sudah diambil kembali tujuh belas tahun lalu oleh Yang Maha Kuasa.
Pelan-pelan saja.
Aku berpikir dulu akan dimulai dari mana.
---- The End
No comments:
Post a Comment