Pada mulut kabut Penyair merengkuh kata. Merayu sepi tembangkan gatra tentang pilihan, rasa dan kita. Kehangatan menguar dalam chemistry menyiksa. Telapak tergenggam, menahan, nafas menyesakkan dada. Cekat tenggorokan mengirim ramarama debar indera.
Pun tak diijinkan oleh masa, meski ada cahaya di sana. Waktu, ruang dan kesempatan tak ada. Rinai hujan bisa apa? Siksa kerinduan tak menenangkan. Menambah damba, menebar rana bak gerimis ujung kemarau. Pada akhirnya hanya aroma terbawa. Tertahan di sini bagai selesma.
Langit masih segelap kemarin. Ada menjadi belenggu. Jika memang dengan begini chinta dicipta, selayaknya rona redup senja, ketika Matahari pulang pada peraduannya ... Hanya ada kerelaan di ujung sana. Mengikhlaskan sebentuk perpisahan yang telah diputuskan. Keinginan masih harus tertunda.
| Kertas, 27 Agustus 2012
Monday, August 27, 2012
Sunday, August 26, 2012
Peterpan - Yang Terdalam
Tak akan kuulangi
Maafkan jika kau kusayangi
Dan bila kumenanti
Pernahkah engkau coba mengerti
Lihatlah ku disini
Mungkinkah jika aku bermimpi
Salahkah tuk menanti
Takkan lelah aku menanti
Takkan hilang cintaku ini
Hingga saat kau tlah kembali
Kan kukenang di hati saja
Kau telah tinggalkan
Hati yang terdalam
Hingga tiada chinta
Yang tersisa di jiwa
Monday, August 20, 2012
Tentang Kenangan
I.
Sesak ini hadir tiap kupalingkan rindu pada kenangan
Ada sejuta satu keinginan yang kita usaikan
Keyakinan tak mampu lagi menyamakan perbedaan
Perpisahan menjadi jalan yang kautawarkan
Jadi, Matahari ...
Bintang tak mampu lagi meretas hati
II.
Kita telah melalui butir demi butir hujan
berisi kegalauan dan kadangkala amarah
Menghujam tajam ke ulu hati
Pun kita tak terlukai
Kenyataan bahwa aku memujamu
tak terbantahkan
Melindap, menyesap kedalam rasa terdalam
Yang kini ingin kulupakan
III.
Bintang berpendar, tak ingin senja kehilangan
Mengejawantah kenangan
Mengurai pertanyaan tak terbantahkan
Meski kau tak lagi menawarkan jawaban
Rasa yang hilang
Mungkin tak kan dapat kita kembalikan
Namun, kalimat akhir tentang kepedihan
Dapatkah terlupakan?
Meski sejenak ...
Mampukah slide kenangan yang meruang,
hilang?
Agar tak ada lagi siksa insomnia?
IV.
Jika masih ada sisa kenyataan, mohon maafkan
Jika dengan pelukan bisa berarti kebahagiaan
Ingin aku mendekapmu lagi, biar segala kesedihan terbawa hujan
Jika bisa ...
20.08.11-12
Sesak ini hadir tiap kupalingkan rindu pada kenangan
Ada sejuta satu keinginan yang kita usaikan
Keyakinan tak mampu lagi menyamakan perbedaan
Perpisahan menjadi jalan yang kautawarkan
Jadi, Matahari ...
Bintang tak mampu lagi meretas hati
II.
Kita telah melalui butir demi butir hujan
berisi kegalauan dan kadangkala amarah
Menghujam tajam ke ulu hati
Pun kita tak terlukai
Kenyataan bahwa aku memujamu
tak terbantahkan
Melindap, menyesap kedalam rasa terdalam
Yang kini ingin kulupakan
III.
Bintang berpendar, tak ingin senja kehilangan
Mengejawantah kenangan
Mengurai pertanyaan tak terbantahkan
Meski kau tak lagi menawarkan jawaban
Rasa yang hilang
Mungkin tak kan dapat kita kembalikan
Namun, kalimat akhir tentang kepedihan
Dapatkah terlupakan?
Meski sejenak ...
Mampukah slide kenangan yang meruang,
hilang?
Agar tak ada lagi siksa insomnia?
IV.
Jika masih ada sisa kenyataan, mohon maafkan
Jika dengan pelukan bisa berarti kebahagiaan
Ingin aku mendekapmu lagi, biar segala kesedihan terbawa hujan
Jika bisa ...
20.08.11-12
Sunday, August 19, 2012
[Puisi] Bintang Jatuh
Senja ini aku bertanya tentang sepi
Menjumpai rindu di sepanjang jalan mimpi menuju
Sejenak menyapa rasa yang tertinggal
Mengenang, mencari tempat pulang
Jika ada doa yang kau takbirkan
Saat kita menyusuri angan
Membelah kabut yang melahap kota senyap
; bersabarlah
Ia akan menemukan muaranya
Ketika kita dapat mengartikan tiada
Menepikan jarak
Menjadikan ada menjadi nyata
dan dekapan kita, akan direstui oleh bintang jatuh
Menjumpai rindu di sepanjang jalan mimpi menuju
Sejenak menyapa rasa yang tertinggal
Mengenang, mencari tempat pulang
Jika ada doa yang kau takbirkan
Saat kita menyusuri angan
Membelah kabut yang melahap kota senyap
; bersabarlah
Ia akan menemukan muaranya
Ketika kita dapat mengartikan tiada
Menepikan jarak
Menjadikan ada menjadi nyata
dan dekapan kita, akan direstui oleh bintang jatuh
[CERPEN LEBARAN] MARALOVA
NAMANYA Bejo. Cowok sembilan belas
tahunan itu karyawan toko sepatu di lantai dua Wonosobo Plaza.
Entah darimana asalnya. Dia mungkin sadar bahwa ada seorang gadis yang
mengaguminya, tapi Bejo tetap kalem. Selain hanya mencuri-curi pandang, Bejo
tak melakukan apapun. Tapi justru itulah yang membuat Mara, gadis cantik
tujuhbelas tahun ini kelabakan dan hatinya melompat-lompat kegirangan.
“Bejo tuh…,” bisik Mara sambil
menarik Tika, sahabatnya yang diajak pulang ke rumah untuk buka bersama. Mara
dan Tika mengintip dari jendela ruang tamu yang berkaca rayband. Mereka melihat cowok itu muncul dari kelokan jalan.
“Cah
edan.”
“Dia tampan.”
“Bolehlah… tapi karyawan toko
sepatu? Alamak… kayak ga ada yang lain aja.”
“Kamu aja yang sirik.”
“Siapa tahu dia udah punya pacar…
udah punya istri…”
Mara memberengut. Ia tak suka
pandangan negatif Tika terhadap cowok pujaannya. Apa salahnya jatuh cinta pada
cowok penjaga toko sepatu?
Gadis berjilbab itu bangkit. Ia ingin
berpura-pura mengerjakan sesuatu di teras, sehingga Bejo yang masih di kejauhan
akan melihatnya nanti kalau lewat depan rumah.
Tika mengikutinya bangkit. “Lebai,”
oloknya.
Mara tak peduli. Baginya Bejo cukup
sempurna. Selain kira-kira seumuran dengannya, Bejo berperawakan tinggi,
tampan, putih dengan potongan rambut dan gaya
berpakaian yang rapih. Biarpun namanya Bejo tapi penampilannya tak kalah dari
Baim Wong.
Tika tahu awal Mara jatuh cinta pada
Bejo, ketika Mara membeli sepatu sekolah saat awal tahun ajaran baru kemarin di
toko Bejo. Cinta pada pandangan pertama. Sejak itu Mara nekad memaksa sepupunya
yang kebetulan mempunyai toko di Plasa itu juga untuk memberinya pekerjaan.
Selama bulan puasa pun Mara bekerja sebagai pramuniaga. Nekad banget!
Tika, si cantik dengan kecerdasan
berada dua tingkat di atas Mara— hanya geleng-geleng kepala melihat sahabatnya
sibuk merontokkan daun-daun yang tak bersalah, sembari senyam-senyum ke arah
Bejo yang lewat.
Tika heran karena Mara yang tak
pernah menyukai type cowok-cowok teman sekolahnya. Boro-boro teman sekelasnya. Sekarang,
Mara mati kutu dihadapkan pada Bejo.
Mara sama sekali tak tahu bagaimana
cara menyatakan cintanya pada cowok itu. Selain tak tahu harus memulai dengan
topik apa, Mara juga tak tahu bagaimana Bejo akan menanggapinya.
***
Sore itu, Mara sengaja mengajak Ibur,
sepupunya yang punya distro untuk buka bersama. Sekalian mereka ingin menonton
arak-arakan takbiran di kota
selepas isya nanti. Distro itu berada di lantai dasar Wonosobo Plaza.
Ibur-lah informan bagi Mara. Untuk menyelidiki Bejo.
“Bejo udah punya pacar atau istri belum
sih, Mas?” tanya Mara tanpa tedeng aling-aling.
“Gak tahu… Jadi kan rencana yang kemarin itu?” Ibur seolah
sengaja mengalihkan topik.
Mara merengut menguntir-untir ujung jilbabnya.
Mara dan Ibur sedang merencanakan
acara halal bihalal untuk komunitas, tapi pikiran Mara sudah tidak berada di situ.
Dia sedang memikirkan seseorang yang sedang berada di toko sepatu satu tingkat
di atasnya. Merasa perjuangannya sebulan ini pedekate ke Bejo dengan menjadi
pramuniaga di distro sia-sia.
Ibur menjentikkan jari di depan muka
Mara yang malah melamun. “Mana sempat Bejo mikirin kamu? Dia sibuk, prepegan… Orang jualan sepatu dan sandal
baru buat lebaran. Mana sempat mikirin kamu yang dia kenal aja enggak.”
Mara makin manyun. Selama ini dia
berhasil ngobrol sedikit dengan Bejo, tapi bibirnya kelu tiap mau mengungkapkan
isi hatinya. Bejo sangat humoris dan ramah, dia memperlakukan Mara sama dengan
cara Bejo memperlakukan teman-teman seprofesinya yang lain.
“Sudahlah… Ayo pikirkan acara kita.
Mau ngumpul aja konsumsi bayar sendiri-sendiri, atau gimana? Kita sudah
mengirim undangannya lewat sms ke semua orang.” Mara menyerah saat Ibur
mengetuk-ngetukkan pen ke buku tulisnya serius.
***
Anak jalanan berumur duabelas
tahunan, yang sedang merokok sendirian di taman plasa itu menarik perhatian
Mara. Anak itu tak peduli dengan beberapa orang yang berkerumun dengan kelompok
masing-masing untuk ngabuburit di hari terakhir puasa. Pandangan matanya jauh
menyiratkan rindu dan sepi.
Mara tiba-tiba teringat sebuah quote
yang pernah dibacanya, “Kesepian tidak kenal pilih kasih. Dia
memasuki istana maupun gubuk.”
Mara sering melihatnya tiap ada keramaian di kota, namun kabar tentang si Kecil itu simpang-siur.
Dia sering melihat anak jalanan di kota
lain, bahkan lebih kecil, lebih compang-camping. Namun melihat anak ini seolah
ada sembilu yang seolah menusuk ulu hatinya. Jleb!
“Anak sekecil itu kenapa harus
berkeliaran di jalan? Coba dia adikku…”
Mara anak semata wayang yang segala kebutuhannya dicukupi oleh
orangtuanya, bahkan dimanjakan. Tahun ini Mara nekad bekerja niatnya pun karena
ingin dekat dengan Bejo, bukan murni untuk mencari uang. Uang saku dari
orangtuanya jauh lebih banyak dari gaji hariannya di distro. Kini melihat anak
yang tidak seberuntung dirinya, Mara merasa tergerak, tapi tidak tahu harus
berbuat apa.
Jalan terlalu sesak. Selain sesak
oleh orang-orang pulang dari pasar, ngabuburit, mencari takjil di sepanjang jalan
veteran, juga sesak oleh kendaraan berbagai ukuran yang semrawut. Belum lagi
orang-orang seolah sore ini muncul dari berbagai arah, hendak menyaksikan
perayaan hari kemenangan. Bertakbir Asma-Nya menyambut Hari raya Idul Fitri.
Ibur yang menunggunya di depan toko mulai
gelisah melihat Mara malah bengong, “Udah belum belanjanya?”
Mara mengelus-elus gaun gamis
berwarna biru berenda dengan hiasan bunga
yang dipasang di sebuah manekin. Saat melihat label harga, ia tahu
uangnya cukup. Ibur sudah memberikan gajinya membantu di distro sebulan ini.
Mara tadinya berniat menggunakannya untuk membeli busana baru untuk dirinya
sendiri berlebaran. Tapi matanya tertuju ke arah anak kecil tadi lagi.
“Aku… ga jadi aja. Aku tiba-tiba ga ingin baju baru,” kata Mara
tiba-tiba.
“Eh… besok udah lebaran lho? Kamu
yakin? Nanti apa yang kamu pakai untuk sholat id? Halal bihalal keluarga? Kamu
ga mau tampil dengan kostum baru?”
Mara menggeleng, “nggak. Aku masih
punya beberapa baju yang masih bisa dipakai. Tapi… sebelum pulang aku ingin melakukan
sesuatu…”
“Apaan?”
Mara tak menjawab, ia malah
melangkah ke seberang jalan. Menerobos antrian kendaraan di lampu merah. Ibur
terheran-heran melihat adik sepupunya langsung menuju taman plaza, ke arah anak
yang tidak dikenalnya. Tak tahu bahwa anak itu dari tadi diperhatikan oleh
Mara. Dan bertambah heran saat Mara menggandeng anak itu kembali ke toko baju.
***
“Kamu baik banget. Sebagai kakak
sepupu, aku bangga padamu.” Ibur menepuk pundak Mara.
Mara tersenyum. Ia baru saja melepas si Kecil itu kembali ke seberang,
karena Mara tak tahu harus mengantarnya kemana. Anak itu lalu menghilang dengan
sekantong plastik berisi sesetel baju baru yang dibelikan Mara. Ada kebahagiaan tersendiri
yang tidak bisa diungkapkan dalam hatinya. Uang hasil jerih payahnya telah ia
sedekahkan.
Mara tak punya kata-kata untuk apa yang dilakukannya, selain kepuasan
tersendiri mengingat lagi ekspresi anak kecil tadi yang begitu bahagia saat
mencangking baju baru untuk lebaran di tangannya.
Mereka bergegas pulang saat mendengar adzan maghrib berkumandang. Usai
sudah hari terakhir puasa Ramadhan tahun ini. Adzan di segala penjuru dalam
segera digantikan dengan nyanyian merdu takbir. Gempita. Semesta raya menyambut
hari kemenangan. Hari Idhul Fitri. Airmata bahagia Mara meleleh di pipi.
Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu
akbar. La ilaha ilallah. Allahu Akbar. Allahu akbar wa lillahil’hamd.
***
Lebaran hari kedua.
Sore itu semua teman Ibur komunitas pedagang Plaza
sudah berkumpul di tempat halal bihalal. Mara sibuk di dapur menata hidangan
bersama ibunya. Memang acara diadakan di rumah Mara. Alasan Ibur karena masakan
ibu Mara lebih enak dari masakan ibunya, Budhe Erni.
“Rafika Artamara!” Tiba-tiba kepala Tika nongol dari balik kelambu pintu
dapur. “Kamu akan kaget melihat siapa yang datang…!” bisiknya.
Mara menelengkan kepala, dahinya
berkerut. Tak mengerti maksud Tika. Sahabatnya itu mengisyaratkan Mara untuk
mendekat dan melihat sendiri yang dimaksudnya.
Saat Mara mengintip ke ruang tamu
terlihat Bejo yang baru datang disambut oleh Ibur dan beberapa teman. Wajah
Mara tiba-tiba merah padam. “Kenapa dia di sini?”
Bejo melihat Mara, pandangan mereka
bertemu dan cowok itu tersenyum manis. Lutut Mara terasa melemas.
***
“Jadi kamu lihat?” tanya Mara hampir
terpekik.
Cowok yang terlihat sangat tampan
dengan baju koko hitam dan peci itu mengangguk, “kamu tak tahu aku sedang berada
di dekat rak baju tepat di depanmu?”
Mara speechless. Dia tak menyangka Bejo ada di toko baju yang sama, dan melihat kegiatan amal spontan Mara. Bejo mengatakannya ketika mereka punya kesempatan berduaan dengan Mara di samping meja prasmanan yang berjejer berbagai hidangan lebaran lezat.
Mara speechless. Dia tak menyangka Bejo ada di toko baju yang sama, dan melihat kegiatan amal spontan Mara. Bejo mengatakannya ketika mereka punya kesempatan berduaan dengan Mara di samping meja prasmanan yang berjejer berbagai hidangan lebaran lezat.
“Aku menelpon Ibur untuk meminta
saran, ingin punya kesempatan bertemu kamu lagi. Sebelum kamu kembali ke dunia
sekolahmu karena seusai lebaran kamu tidak akan bekerja di distro lagi … Aku …
Aku tak akan bisa mengamatimu lagi dari toko sepatu.” Bejo menatap Mara lekat.
“Ibur menyuruhku datang hari ini. Bahkan memaksaku.”
Mara hanya terdiam dengan wajah
merona mendengar kalimat Bejo yang panjang lebar. Gadis itu menunduk, tak
berani membalas pandangan mata Bejo.
“Kenapa menunggu aku dan… dan anak
kecil itu, lalu kamu menghubungi Ibur?”
“Karena selama ini aku takut.
Duniaku dan duniamu berbeda. Aku sudah siap patah hati dan diam saja saat
melihatmu di toko baju. Ketika melihat kebaikanmu, aku sangat ingin mengenalmu
lebih dekat. Kamu selalu special buatku… aku tahu kamu juga membalas
perasaanku. Kamu tak akan mempermasalahkan latar belakangku yang hanya karyawan
toko sepatu. Ya’kan?”
Saat itu, Mara yakin kakinya sudah
tidak menginjak bumi. Di bulan fitri, Allah memberi ganti atas apa yang
disedekahkannya. Bukan berupa materi, tapi cinta tanpa kasta yang saat ini
dalam genggamannya.
*SELESAI*
Nessa dan KELUARGA MENGUCAPKAN :
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ ▬▬▬
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1433 H
MINAL AIDIN WAL FAIZIN MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ ▬▬▬
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1433 H
MINAL AIDIN WAL FAIZIN MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Tuesday, August 14, 2012
EVENT REVIEW & FOTO
Review & Foto buku Petitah / Lelaki : Kutunggu Lelakumu / Segitiga.
Tag teman - temanmu dan fb page Hasfriends
Setor link-mu ke hasfapublishing@yahoo.com
Dapatkan total hadiah senilai Rp 2jt (untuk 10 orang)
Ditunggu s/d 5 September 2012
Dapatkan bukunya di Gramedia dan toko buku lainnya
Tuesday, August 7, 2012
PERNAH
Aku pernah mencintaimu seperti Phoenix mencinta Matahari. Membakarku. Membuatku berpikir bahwa sejuta angan adalah sah bagi dua sejoli yang patah hati. Meski hidup menghadirkan benci. Kita coba memalingkan rasa kita pada pelangi.
Kita pernah menciptakan puisi berisi sejuta mimpi. Dengan untaian aksara rahasia, tertulis dengan tinta yang tercipta dari aroma kita. Memprasastikan memoar, bahwa aku dan kamu adalah kita.
Semesta pernah mengamini dunia yang kita ciptakan sendiri.
Angkasa pernah menyediakan tempat untuk kita yang terusir dari surga. Secuil jalinan rasa terbuat dari awan. Untuk saling memagut keinginan. Dimana kita saling merindu, kita hanya perlu terbang dan bercinta di sana. Meminjam sayap-sayap elang.
Jadi...
Jangan pernah melupakan bahwa kita pernah saling menchintai. Karena sampai saat ini, kau masih laki-laki yang memeluk subuhku.
| Ujung subuh, 7 Agustus 2012 | Wherever you are... Happy birthday!
Kita pernah menciptakan puisi berisi sejuta mimpi. Dengan untaian aksara rahasia, tertulis dengan tinta yang tercipta dari aroma kita. Memprasastikan memoar, bahwa aku dan kamu adalah kita.
Semesta pernah mengamini dunia yang kita ciptakan sendiri.
Angkasa pernah menyediakan tempat untuk kita yang terusir dari surga. Secuil jalinan rasa terbuat dari awan. Untuk saling memagut keinginan. Dimana kita saling merindu, kita hanya perlu terbang dan bercinta di sana. Meminjam sayap-sayap elang.
Jadi...
Jangan pernah melupakan bahwa kita pernah saling menchintai. Karena sampai saat ini, kau masih laki-laki yang memeluk subuhku.
| Ujung subuh, 7 Agustus 2012 | Wherever you are... Happy birthday!
Saturday, August 4, 2012
RASA KEDUA
Kuberada di balik awan | Menatapmu tanpa menemukan kalimat yang bisa kuungkapkan | Seharian aku menghindar | Mencoba memelukmu di akhir senja | tanpa mengingkari getar itu masih ada | namun situasinya tak sama | Perih...
Hati kita tak lagi bertaut oleh rasa semula.
| Salatiga, 4 Agustus 2012
Thursday, August 2, 2012
BERI AKU SATU PUISI
Beri aku
satu puisi
agar aku
dapat berdamai dengan hati
Ah ...
mengertikah
langit akan gundahnya senja
meliukkan
angin yang menjawab sapa kabut
di
baliknya, cakrawala menghilang
membawa
pandang ke alam entah
bersenda dengan
aksara
memory terangkai
indah dalam makna
; Kerinduan
Beri aku
satu puisi
Agar dapat
kutarikan kembali anganku
Rindu
tersapu oleh kegalauan
Tiada akan
ada jawaban
Semakin
keras damba diserukan
Semakin
membawamu menghilang
Beri aku
puisi
Agar aku dapat
berpuisi kembali.
| Sepuluh matahari, 2 Agustus 2012 untuk 7
| Sepuluh matahari, 2 Agustus 2012 untuk 7
Subscribe to:
Posts (Atom)