Pada mulut kabut Penyair merengkuh kata. Merayu sepi tembangkan gatra tentang pilihan, rasa dan kita. Kehangatan menguar dalam chemistry menyiksa. Telapak tergenggam, menahan, nafas menyesakkan dada. Cekat tenggorokan mengirim ramarama debar indera.
Pun tak diijinkan oleh masa, meski ada cahaya di sana. Waktu, ruang dan kesempatan tak ada. Rinai hujan bisa apa? Siksa kerinduan tak menenangkan. Menambah damba, menebar rana bak gerimis ujung kemarau. Pada akhirnya hanya aroma terbawa. Tertahan di sini bagai selesma.
Langit masih segelap kemarin. Ada menjadi belenggu. Jika memang dengan begini chinta dicipta, selayaknya rona redup senja, ketika Matahari pulang pada peraduannya ... Hanya ada kerelaan di ujung sana. Mengikhlaskan sebentuk perpisahan yang telah diputuskan. Keinginan masih harus tertunda.
| Kertas, 27 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment