Malam itu aku muntah-muntah, mungkin karena kelelahan dengan segala perjalanan ikhtiar mencari obat untuk sakitku.
Apalagi tugas dari dr. Timo adalah mencari rumah sakit terdekat yang ada unit hemodialisa, sehingga aku bisa HD rutin di sana.
Tak terbayang olehku sulitnya. Semua poli penyakit dalam kudatangi, semua bilang penuh dan harus antri. Itu pun aku harus sudah punya akses seperti Carterter Double Lument (CDL) atau Cimino seperti AV Shunt. Waktu itu aku tak tahu barang apa itu dan bagaimana mendapatkannya.
Kelelahan dan stres membuatku kambuh. Aku muntah-muntah tapi yang kumuntahkan hanya air. Air berbuih dan banyak. Tak ada makanan yang masuk ke perut, selain nafsu makan hilang, tapi juga karena beberapa hari itu makanan yang kumakan pasti keluar lagi.
Kepalaku sakit tak tertahankan. Ditambah badanku gatal tak karuan. Rasanya nyawaku tinggal sebentar, tak ada harapan hidup.
Usahaku mendapatkan tempat cuci darah mendaratkanku di Rumah Sakit Islam Wonosobo (RSI) karena kebetulan ada teman sekolahku yang bekerja di sana dan indent untukku. Sementara aku menjalani berbagai macam screening seperti Hepatitis B dan HIV.
Dokter Arlyn mengatakan aku harus transfusi dulu sebelum cuci darah karena Hemoglobin(HB)-ku rendah, hanya di angka 8 dari normal 12. Tapi dengan keadaanku yang muntah-muntah semalaman, aku langsung dilarikan ke IGD RSI dan dijadwalkan transfusi intra HD hari itu juga.
***
Dipan rumah sakit membawaku ke ruang hemodialisa. Istilah mereka HD Cito, disitu aku di tempatkan di mesin HD darurat, karena aku bukan pasien rutin.
Badanku terlalu lemas, namun aku masih sadar. Aku merasakan sakitnya jarum kasur ditusukkan pada tubuhku lewat selangkangan dan tangan. Menikmati deritanya tiga jam tangan dan kaki tidak boleh bergerak.
Aku hanya terkulai lemas memandangi darah di selang-selang. Aku tak mengerti bagaimana bisa darah dari tubuhku bisa diputar ke mesin.
"Ternyata darahnya memang dicuci... Pakai air dua jerigen," seloroh ibuku.
Aku menatap mesin mesin dialysis sebesar kulkas. Setiap mesin punya penghuni. Anehnya, berbeda dengan aku yang tak berdaya, mereka semua terlihat sehat dan penuh semangat padahal usia rata-rata separuh baya.
Ada yang sudah tiga tahun, ada yang baru beberapa bulan. Baru kusadari cuci darah ini adalah semacam terapi.
Semangat mereka menular padaku. Tiba-tiba aku mulai merasa lapar, bersamaan dengan kempesnya bengkak di kakiku.
"Boleh sambil makan dan boleh minum teh," kata perawat ketika ibuku menanyakannya ke perawat.
Selesai HD badanku enakan. Aku merasa sembuh.
***
Bersambung ... Bag 3
No comments:
Post a Comment