Aku menjalani HD pertamaku dengan lancar. Dalam hatiku berharap bisa mendapatkan tempat untuk HD rutin di RS ini, namun ternyata mendapatkan tempat HD rutin tak semudah membalikkan telapak tangan. Tak semudah yang kubayangkan.
Perasaan galau dan campur aduk membuatku terpuruk. Aku menyalahkan diri sendiri, aku menyalahkan kopi, aku menyalahkan kopi. Aku bahkan menyalahkan ibuku. Rasanya geram sekali bahwa aku-lah yang harus diuji dengan penyakit ini.
Setelah cuci darah pertama aku konsultasi ke beberapa rumah sakit, tak semudah bertemu dokter dan besok aku bisa kembali cuci darah lagi. Di RS PKU Muhammadiyah Wonosobo akhirnya aku mendapatkan jadwal rutin HD, dokternya juga baik sekali.
Di ruang Hemodialisa RS PKU, aku paling sehat dan segar. Hanya sesekali aku minta oksigen, jika sesak dan nyeri di dada sudah tak tertahankan atau saat HB di angka 5,6,7. Aku takut otakku tak bisa berfungsi juga kalau tidak ada oksigen yang cukup.
Kegiatan rutin di rumah sakit membuatku banyak melihat, mendengar dan merasakan peristiwa di sekitarku. Sehingga walaupun sakit, aku masih sangat bersyukur keadaanku jauh lebih baik dari orang lain.
Selain itu, aku bertemu pula dengan keluarga baru sesama pasien cuci darah bersama pendampingnya. Kami banyak berbagi informasi ataupun saling bercerita.
Berupa-rupa kisah yang terjadi di ruang HD. Ada senang ada sedih. Ruang itu bagai rumah kedua bagiku.
Setengah tahun menjalani cuci darah, aku tidak merasa sendiri. Banyak teman seperjuangan. Ada yang sudah berhasil mengurangi jatah seminggu tiga kali menjadi dua kali. Ada yang sekarang hanya seminggu sekali. Namun ada pula yang menyerah.
Allah yarhaam.
***
Aku tahu ini ujian berikutnya. Jika aku mampu melewati rintangan ini, mungkin Allah akan mengangkat derajatku. Allah tidak akan memberikan cobaan yang melebihi kemampuan umat-Nya.
Mungkin selama aku sehat aku kurang bersyukur. Mungkin ini cara Allah menegurku supaya makin rajin ibadahku, supaya aku memperbaiki sholatku. Supaya aku tak mengejar-ngejar dunia dan melupakan akherat.
Allah menyayangiku sehingga menguji kesabaran dan keikhlasanku.
Aku tulang punggung di rumah. Jika aku sakit dan berbaring saja di rumah, habislah. Itu sebabnya kututupi kesedihanku dengan keceriaan. Aku beraktifitas normal, hanya sesekali membatalkan janji atau pekerjaan karena harus kontrol dokter
Teman-teman dan saudara yang datang silih berganti kularang menangis. "Lihatlah! Aku baik-baik saja."
Tak terhitung banyaknya orang, sesama pasien, dokter, bagian pendaftaran atau penunggu pasien, bahkan petugas IGD yang bertanya padaku, "siapa yang sakit?" dan melongo tak percaya ketika kubilang, "aku."
Keadaanku benar-benar baik-baik saja. Aku bahkan masih menyetir motorku sendiri kemana-mana.
Lalu, pada akhir musim panas suatu siang saat mau pergi ke kecamatan, aku jatuh dari motor. Pingsan dengan siku robek tak karuan. Tetangga yang melihat bilang motorku oleng jalannya. Sejak itu kutahu keseimbangan tubuhku hilang. Jalanku mulai sempoyongan seperti orang mabuk. Sikuku dijahit tiga jahitan.
Dicabut lagi satu kenikmatanku oleh Allah.
***
Bersambung... Part 4
No comments:
Post a Comment