Sunday, July 29, 2012
[ARTIKEL TRIBUN JOGJA] Review SEGITIGA
review SEGITIGA di Tribun Jogja 29 Juli 2012
"CINTA dan KEKUASAAN dalam NOVEL SEGITIGA"
SEGITIGA – Sebuah Novel Duet
by Fitri Ragil Kuning
Judul : Segitiga
Penulis : Dian Nafi & Nessa Kartika
Penerbit : Hasfa Publishing
Terbit : Mei 2012
Halaman : vi + 120 halaman
Sudah menjadi sifat manusia bahwa dia akan melakukan apapun demi kepuasan dirinya sendiri. Tak peduli apakah keinginan itu merugikan orang lain atau tidak. Untuk itu, tak heran rasanya jika semakin hari semakin banyak kita temukan tangan-tangan jahil yang memanfaatkan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan. Yang dirugikan, justru orang-orang awam yang tak mengerti sama sekali. Sebut saja korupsi, misalnya.
Seperti yang dikisahkan dalam novel duet ini, bahwa kekuasaan mampu membungkam mulut siapa saja, termasuk anggota-anggota LSM yang seharusnya bisa mewakili aspirasi masyarakat. Yang benar menjadi salah, yang salah pun terkesan dibenarkan. Berbagai negosiasi dan ‘main belakang’ selalu menjadi cara kerjanya.
Novel yang berbau permainan politik ini tidak terkesan kaku karena di dalamnya terselip kisah-kisah cinta yang bahkan bisa dikata mendominasi bagian dari novel duet ini. Segitiga, lebih tepatnya saya pribadi menyebutnya segitiga cinta. Ada tiga titik terhubung yang mencoba untuk meraih satu tujuan, yaitu cinta. Cinta antara Nuning, Ryan, dan Faisal. Meski pada akhirnya cinta pula yang membuat Nuning mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya untuk membatalkan pernikahan demi kembali pada cinta yang dia rasakan lebih pantas untuk dimiliki.
Novel karya Dian Nafi dan Nessa Kartika ini juga kental dalam penyajian setting dan tokoh-tokohnya. Pembaca akan digiring memasuki kawasan Yogyakarta yang memang sengaja diciptakan sebagai setting utama.
Cover depan yang fresh dengan color orange sangat menarik siapa saja untuk memiliki novel ini. Ditambah dengan ilustrasi yang keren tapi tidak terkesan glamour membuat novel ini terlihat elegan.
Namun di novel ini juga banyak ditemukan paragraf yang mengandung kalimat-kalimat kiasan yang membuat pembaca harus berpikir ulang untuk mencernanya. Apalagi ditambah dengan loncatan plot yang kadang terasa sangat cepat.
Selebihnya, Anda perlu memiliki novel ini segera. Ada pesan-pesan moral yang ingin dituturkan oleh kedua penulis tanpa bermaksud menggurui. Bahwasanya hukum di negara kita ternyata masih terlalu kerdil untuk mengatasi seorang koruptor, bahkan seorang pengusaha kaya yang dikelilingi oleh antek-anteknya.
Selamat membaca.
Tuesday, July 10, 2012
[ARTIKEL TAMAN PLAZA] Memandikan anak jalanan dengan tangannya sendiri
·
Inspirasi
wanita Tabloid Taman Plaza edisi Juli-Agustus 2012
Wakil Bupati Kabupaten Wonosobo :
MAYA ROSIDA
Mencapai usia 187 tahun Kabupaten Wonosobo yang makin sukses
membangun, ternyata menyisakan beberapa bagian yang tak seimbang sebagai kota
kecil, yaitu keberadaan anak jalanan yang angkanya mencapai lebih dari 100
orang. Apakah Pemerintahan Kholiq-Maya melewatkan aspek ini? Bagaimana Ibu Wakil
Bupati, Maya Rosida menyikapi hal ini?
Pada (13/7) Taman Plaza
mendapat kesempatan untuk meliput langsung dialog Ibu Maya dengan anak-anak
jalanan yang tergabung dalam FKJM. Forum Komunitas Jalanan Merdeka yang
dikoordinir oleh Wheny Avatar, mantan anak jalanan yang kini menjadi pembina
anak jalanan.
Anak jalanan identik dengan predikat sampah
masyarakat, pengangguran, pemalas padahal ada hal lain yang menjadi akar
persoalan anak-anak tersebut sehingga akhirnya harus berkeliaran di jalanan.
Ibu Maya mengategorikannya menjadi 4 (empat), di antaranya karena masalah
ekonomi, anak tersebut meninggalkan atau ditinggalkan oleh keluarganya, meninggalkan
sekolahnya dan mempunyai kegiatan keseharian yang rutin di jalanan.
Anak-anak jalanan itu
memiliki berbagai masalah, seperti pendidikan, kesehatan dan alih profesi.
Menurut Ibu Maya, Pemerintah Kabupaten Wonosobo bekerjasama dengan Dinas
Sosial, Dinas Kesehatan, Pemberdayaan Perempuan dan Anak telah menerapkan
program-program Pemerintah yang teraspirasi dari kebutuhan dan permasalahan
anak jalanan dan akan dimasukkan dalam program tahun 2013. Tujuannya supaya
sinergisitas dapat terjalin dengan baik dan hak anak dapat diakomodir oleh
Pemerintah.
Peran Dinas Sosial sendiri
diakui oleh FKJM sangat membantu, selain menerbitkan surat-surat keterangan (Jamkesmas,
Surat Miskin, Askes) yang dapat membantu jika ada anak-anak yang sakit dan
harus dirawat di RS. “Satu hal yang memprihatinkan adalah saat kami kehilangan
salah satu teman kami, dia menderita komplikasi gagal ginjal dan lain-lain, terlambat
diketahui dan ditemukan sudah menjadi mayat di dekat gereja Jalan Bhayangkara.”
Namun diakui oleh FKJM,
semua bukan hanya kesalahan Dinsos atau Dinkes, karena memang kesadaran untuk
melakukan pemeriksaan kesehatan dari para anak jalanan itu sangat minim.
Seperti contoh, biasanya mereka datang ke seminar-seminar tentang AIDS dan
Penyakit Menular Seksual yang diadakan oleh instansi-instansi maupun LSM, namun
saat ditawari untuk melakukan check-up mereka tidak mau. Pemeriksaan tersebut memang
tidak dipungut biaya dan juga dijamin kerahasiaan identitas, namun dari anak
jalanan pribadi yang menolak karena sudah takut duluan dengan hasil yang akan
diterima.
Padahal jika pun kemudian
diketemukan penderita AIDS di antara anak jalanan, Pemda akan tetap
mendampingi. Seperti saat mendampingi penderita AIDS yang kemudian bahkan
Pemerintah dapat membantu menikahkan sesama penderita AIDS laki-laki dan
perempuan.
Diharapkan dengan adanya
keterbukaan seperti itu, resiko penularan AIDS dapat dicegah. Karena jika tidak
diperiksakan dan kemudian penderita positif HIV yang tidak tahu bahwa dia
positif, kemudian berinteraksi dengan yang masih sehat justru berbahaya.
Dinsos juga telah membantu
memasukkan beberapa anak tunawisma ke panti-panti asuhan. Seperti anak jalanan
bernama Fahrul, orangtuanya yang berasal dari Kecamatan Leksono tidak jelas
keberadaannya. Oleh Dinsos, Fahrul telah dimasukkan ke Panti Asuhan Mardi
Yuwono, namun akhirnya Fahrul memilih untuk pergi dari Panti dan tidak pulang,
akhirnya kembali berkeliaran.
Bu Maya pernah memergoki
Fahrul satu kali di kota dan membawanya pulang ke Rumah Dinas Wakil Bupati,
memandikannya, memberinya makan dan memberinya uang, bahkan ditawari untuk
menjadi anak asuh Bu Maya, Fahrul sempat mengiyakan, namun setelah itu Fahrul
menghilang lagi.
“Fahrul itu jiwanya masih
anak-anak sekali. Jika ada yang berusaha memberinya bimbingan, dia mengiyakan,
tapi dia kembali pada keasyikannya bermain di jalan,” kata Bu Maya prihatin.
Ditanya soal komunikasi
dan pendekatan pemerintah kepada anak jalanan sehingga mereka tidak lagi
berkeliaran di jalan, Pemerintah Kabupaten Wonosobo telah bekerjasama dengan
berbagai pihak seperti GNOTA untuk mendorong anak-anak yang masih usia sekolah
untuk kembali belajar melalui kejar paket, diantaranya dari GOW dan PKBM.
Selain itu ada beberapa
project pilot pelatihan-pelatihan seperti UMKM, penjahitan, bengkel dan
sebagainya yang akan diberikan bantuan alat produksi sebagai stimultan usaha.
Tujuannya supaya anak-anak jalanan tersebut meningkat kesejahteraannya, mentas
dari jalan karena mempunyai profesi dan pendapatan dari usaha mandiri.
Hal ini cukup sukses
menarik anak jalanan untuk mandiri, di antaranya Agus yang sudah 3 (tiga) tahun
ini membuka usaha produksi susu kedelai dengan 2 (dua) karyawan dan Wheny serta
istrinya yang berjualan buntil (olahan sayur daun talas) dengan pemasarannya
dibantu oleh GOW.
Anak-anak jalanan cukup
mengeluhkan adanya penggarukkan secara kasar yang dilakukan oleh Satpol PP
setiap saat, terutama menjelang penilaian Adipura, Ramadan dan Lebaran, ada
tamu pemerintah, dll. Untuk anak-anak yang punya usaha seperti berjualan
asongan bisa lolos, namun untuk pengemis, pengamen, penganggur dan lain-lain
biasanya sampai harus mendekam di tahanan. Untuk ini Bu Maya berjanji akan
mendata dan membuatkan kartu tanda identitas kepada seluruh anak jalanan
tersebut, sehingga jika ada penggarukkan, anak-anak tersebut dapat ditangani
dengan benar.
Shelter anak jalanan
Wonosobo masih di rumah pribadi milik Wheny di Sirandu. Beberapa yang tinggal
di situ adalah tunawisma, dan atau anak-anak yang terusir dari tempat
tinggalnya. Ada
yang diusir dari kontrakannya karena pemilik kontrakan tidak suka satu kamar
dihuni oleh beberapa anak sekaligus.
Sesuai dengan isi pasal 33
UUD 1945 seharusnya yatim piatu dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Menurut
Bu Maya, “sebagai Kabupaten layak anak, program Pemerintah Kabupaten Wonosobo
pun diharapkan bisa diimplikasikan ke anak-anak jalanan. Namun memang anak
jalanan bukan hanya masalah pemerintah, karena kemauan anak satu dengan yang
lain berbeda-beda.”
Ibu Maya Rosida menutup
pertemuan dengan memberi dukungan terhadap cita-cita para anak jalanan.
“Kesuksesan adalah semangat dari kita sendiri. Semoga dengan adanya dialog
berkesinambungan antara anak jalanan dengan Ibu, akan ada perubahan paradigma
bahwa anak jalanan bukanlah
beban, tapi asset pembangunan.” [NeKa]
Sunday, July 8, 2012
TRIO NDLEMING
Kita ndleming bertiga ... dari dunia kita masing-masing.
Memegang teguh suatu cita-cita
Memegang teguh suatu cita-cita
: perjumpaan
Mangga Golek Impian menjadi pegangan.
Di Bumi Cikole Jayagiri Resort
8 Juli 2012
Mimpi kita terlaksana.
I Love U, Guys.
Arista Devi (Yully Riswati)
[Puisi] Merahku
Hari berjalin seperti temali
Mengikat dan menjerat dengan keinginan untuk berlari
Meninggalkan biru yang memerahkan hati
Meninggalkan merah yang birukan hati
Telah muncul kesadaran untuk melepas kegalauan
Layaknya jejak yang tercetak oleh kerontang kemarau
kita tak mampu menghapusnya
membiarkannya menari bersama debu
mengejek kepedihan
Serasa dibantai udara di sekitarmu
Sesak menyeru setiap helai nafas dan aliran darahku
chinta dan benci hanya berjarak setipis helai kertas
; Aku memilih untuk menghindarimu
karena tak mampu memutuskan untuk membencimu
| 872012 @ Cikole Jayagiri Resort
Thursday, July 5, 2012
[ARTIKEL SATELIT POS] Mau Launching Sempat Ditahan Di Bandara
Nessa Kartika, mantan TKW asal Singapura saat ini menjadi penulis buku |
BANYAK yang
beranggapan bahwa menjadi buruh migran adalah pekerjaan yang tidak
berkelas. Namun paradigma itu dipatahkan oleh Nessa Kartika dengan
prestasi yang diraihnya.
Sejak lulus SMK pada tahun 2002 lalu ia memutuskan menjadi Tenaga
Kerja Wanita (TKW) di Hongkong. Sebelum terbang ke negeri tetangga ia
sempat bekerja sebagai buruh pabrik garmen di Bandung selama setahun.
Menjadi buruh dalam negeri tak menjadi kepuasan baginya sehingga dengan
menggunakan jasa PJTKI ia memutuskan untuk bermigrasi ke Hongkong
setelah tiga bulan sebelumnya berada di penampungan Cengkareng,
Jakarta.
Keberanian mengunjungi negeri tetangga dilakoninya dengan prihatin
karena sejak kecil Nessa telah ditinggalkan oleh kedua orangtuanya
karena bercerai.
Semasa bersekolah di MI dan SLTP
Muhammadiyah 1 Wonosobo ia sering terpilih mewakili sekolah untuk
mengikuti lomba mengarang dan beberapa kali berhasil meraih juara.
Pesawat melaju dengan kencang hingga akhirnya mendarat dan
memerkenalkan Nessa pada lingkungan baru. Hongkong menjadi negara yang
meninggalkan sejuta kenangan bagi Nessa, karena disanalah nasibnya
terbilang tidak baik. Bisa dibayangkan perlakuan sang majikan kepada TKW
baru asal Indonesia.
"Sempat menjadi korban kekerasan dari majikan. Baru kerja 15 bulan
saya minta pulang. Bos watu itu usahanya sedang bangkrut jadi stress dan
sering memukuli saya dan istrinya," kata Nessa.
Sepulang
dari Hongkong, ia kembali ke kampung halaman, Wonosobo. Kota asri yang
memerkenalkannya menjadi penyiar di sebuah stasiun radio swasta. Dari
situlah nama Nessa Kartika melejit. Wanita kelahiran 27 Mei 1983 ini
memunyai nama asli Anissa Hanifah.
Setelah memutuskan menikah pada tahun 2004 ia memutuskan untuk
kembali bekerja menjadi TKI. Tentu atas persetujuan dari suami dan
seorang anaknya. Kali ini Singapura menjadi negara tujuannya. Ternyata
kekerasan yang dialami sebelumnya tak menjadikan Nessa menyerah pada
nasib demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Beruntung baginya di negara yang kedua ini ia dipertemukan dengan
majikan yang baik. pekerjaan utamanya hanya mengurus orang jompo.
Setelah waktu kerjanya senggang Nessa diizinkan menggunakan komputer
milik sang majikan untuk menulis dan membaca artikel di internet.
"Pas jadi TKW di Singapura saya menjaga seorang kakek. Biasanya
setelah semua kebutuhan kakek terpenuhi dia banyak istirahat. Saat
itulah saya bisa menggunakan menggunakan internet. Itung-itung mengasah
ilmu komputer waktu SMA," kata Nessa.
Awalnya facebook yang menjadi media pertama untuk mempublikasikan
tulisannya selain sebagai alat komunikasi dengan suami dan anak. Melaui
media itulah tulisannya banyak dibaca banyak orang baik di dalam maupun
luar negeri. Lantas beberapa lomba menulis melalui media maya juga
dilakoninya.
Dengan didukung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di
Singapura kemudian ia membuka hotline melalui surat kabar secara
konvensional maupun email.
"Lewat cara itu seharusnya dapat
mendorong kawan-kawan TKI untuk untuk mengabadikan pangalaman lewat
tulisan. Sayangnya waktu itu belum banyak yang menanggapi," ujar Nessa.
Hingga pada tahun 2011 lalu mengikuti lomba cerpen Bilik Sastra yang diselenggarakan oleh Radio Republik Indonesia (RRI).
"Alhamdulillah
dilomba itu karya saya menjadi pemenang kedua dan hadiahnya dapat tiket
pulang peri Singapura-Jakarta. Selain itu juga juga akomodasi untuk
menghadiri sidang bersama DPR dan DPD RI serta menjadi tamu undangan
upacara bendera 17 Agustus di Istana Merdeka," kata Nessa.
Sejak itulah banyak prestasi yang diraihnya. Bersama penulis
terkenal dari dalam dan luar negeri ia berkesempatan menjadi peserta
Ubud Writers and Readers Festival di Bali.
"Saya tak menduga
seorang babu bisa menulis juga. Lewat tulisan itu saya berharap akan
banyak orang yang perhatian terhadap buruh migran," katanya saat ditemui
di pameran BMI di LLPM UNSOED, Rabu (3/7)
Kini sudah empat buku yang diterbitkannya, bahkan untuk buku
perdana yang terbit mencapai 3000 eksemplar. Tak hanya itu, ia juga
menulis di puluhan antologi puisi dan cerpen bersama para buruh migran
yang lain. Karena Nessa dipercaya menjadi ketua Buruh Migran Indonesia
(BMI) Indonesia untuk Singapura.
Sempat ia melaunching bukunya di Malaysia. Cerita unik pun disampaikannya saat berkunjung ke Malaysia.
"Saya
sempat ditahan di Bandara Yogyakarta selama setengah jam karena
dianggap mantan TKW yang aneh. Petugas di bandara tidak percaya kalau
mantan babu seperti saya juga menjadi penulis. Lalu mereka percaya
setelah saya tunjukan tiket dan buku-buku hasil karya selama menjadi
TKI," kata Nessa.
Kini dari hasil penjualan bukunya ia telah mampu mendirikan rumah
baca "Istana Rumbia" dan menjadi penata rias pengantis. Menjadi buruh
migran dulu juga dilakoni sang ibu yang kini mendirikan home industri
untuk produksi makanan ringan.
Menulis hingga kini masih terus dilakoninya bahkan apabila ada kesempatan lagi pun ia ingin kembali menjadi TKW.
"Kalau
jadi TKW lagi saya bisa tahu kondisi mereka sehingga dapat dituangkan
ke dalam tulisan. Dan akan banyak orang yang tahu bagaimana menjadi
buruh migran sebagai pahlawan devisa seperti penobatan yang diberikan
kepada saya," kata Nessa. (fitri nurhayati)
Feature di Korane Wong Ngapak, SatelitPost
Kamis, 5 Juli 2012
Tuesday, July 3, 2012
[ARTIKEL KOMPASIANA]Bilik Sastra VOI RRI: Mengapresiasi Karya Buruh Migran Indonesia
Jakarta, 2 Juli 2012
Radio Republik Indonesia memiliki sejarah sendiri
dalam membangun Ibu Pertiwi. Tidak bisa dibayangkan, andaikan RRI tidak
berani mengumandangkan Proklamasi pada 17 Agustus 1945, sebuah momen
yang sangat bersejarah itu.
Hingga kini, meskipun media elektronik semakin
canggih dengan bermunculannya siaran televisi, baik lokal maupun
internasional. RRI senantiasa membenahi diri, menyemangati, memberi
luang dan memberikan apresiasi tinggi terhadap karya anak bangsa.
Voice Of Indonesia atau VOI RRI menyiarkan acara-acara baru, dua di antaranya adalah Diplomatic Forum dan Bilik Sastra. Diplomatic Forum adalah
acara diskusi antar kalangan diplomat asing dengan unsur pemerintah di
Indonesia, membahas isu strategis sekaligus sebagai sarana; “second
track diplomacy”.
Sebagai implementasi dari Informing, Connecting, Dignifying, acara
ini berusaha memberikan informasi timbal balik mengenai situasi dan
kondisi suatu negara, menghubungkan Indonesia dengan negara sahabat,
sekaligus merekatkan hubungan kedua bangsa dan negara.
Sejak awal 2011, penulis diajak
bergabung sebagai pembincang karya. Bilik Sastra, mengapresiasi,
membacakan dan membincang karya warga kita yang bermukim di mancanegara,
tiap hari Minggu pukul 13.00 – 14.00 WIB.
Program siaran Bilik Sastra ini
ternyata banyak diminati oleh warga Indonesia, baik di dalam maupun di
luar negeri. Ada dua kategori karya-karya yang masuk ke meja Bilik
Sastra, yakni dari umum seperti; ibu rumah tangga, mahasiswa dan kaum
tenaga kerja; TKI/BMI.
Jika dicermati yang paling rajin mengirimkan karya
berupa cerpen dan kisah inspirasi adalah dari Hong Kong dan Singapura,
menyusul Malaysia, Taiwan dan Mesir. Kemudian para istri ekspatriat,
mahasiswa dari; Saudi Arabia, Thailand, Australia, Amerika Serikat,
Kanada, Inggris.
Pada satu pertemuan bersama Kabul Budiono, Direktur Penyiaran RRI. Tiba-tiba ada yang nyeletuk kira-kira sbb:” Wah, kebanyakan karya TKI, ya? Bagaimana nanti kalau Bilik Sastra dicap, citranya identik dengan suara TKI?”
Kabul Budiono dengan gayanya yang humble,
nyantey, tersenyum kebapakan, menukas tegas:”Ya, mengapa tidak? Kita
tidak perlu cemas, apalagi takut tentang pencitraan macam itu? Mereka
memang patut kita dukung!”
Wow, penulis menunduk dalam, salut dengan sosok
satu ini. Suaranya yang bariton, joke-joke segar acapkali terlontar,
membuat pertemuan-pertemuan seberat apapun akan terasa renyah.
Nadia Cahyani dan Nessa Kartika, pemenang cerpen terbaik Bilik Sastra 2011 |
Memasuki tahun ke-2, Bilik Sastra telah
menyemarakkan khazanah literasi/sastra ke dunia internasional dengan
terus-menerus mengapresiasi karya mereka, membacakan dan membincangnya
sekaligus mewawancarai penulisnya.
Dalam rangka Hari Kemerdekaan RI
ke-66, setahun yal, Bilik Sastra mengantarkan dua penulis cerpen
terpilih, ke Istana Merdeka, berjabat tangan langsung dengan Presiden
SBY. Keduanya adalah Buruh Migran Indonesia. Nadia Cahyani BMI Hong
Kong, Nessa Kartika BMI Singapura.
Sedianya tahun inipun, 2012, Bilik Sastra akan
mengulang momen penting seperti sebelumnya; menerbitkan karya terpilih
dan memilih kembali karya terbaik selama setahun terakhir.
Minggu, 30 Juni 2012, penulis
mengajak serta Bayu Insani, eks BMI Hong Kong yang kini tinggal di
Yogyakarta. Kali ini ditemani Evatya Luna, novelis muda dari Surabaya.
Keduanya dengan riang gembira saling menyahut, membacakan cerpen Rosana
karya Jaladara.
“Senang sekali diajak Teteh ke sini. Jadi tahu
bagaimana studio RRI yang terkenal itu,” komentar Bayu Insani dengan
riang, bahagia.
Meskipun sama sekali tak ada honorarium, apalagi
akomodasi. Bayangkan saja, dalam kondisi hamil muda melakukan perjalanan
yang sangat panjang, karena macet, dari Kota Gudeg menuju Ibukota. Luar
biasa!
Susie Utomo, jurnalis tangguh dari Hong Kong pun
bisa tersambung bersama kami, dan memberikan testimoninya tentang Sastra
Migran, siang itu. Terima kasih, Jeng Susie; di antara kesibukanmu
sebagai panitia even Menghafal Al Quran bersama Rumah Tahfidz HK,
ternyata Anda masih bisa meluangkan waktu untuk Bilik Sastra. Bravo!
Jika Lea si jaladara akhirnya tidak datang, hatta,
karena superduper sibuk, maka itu adalah soal lain. Namun, semangat dan
dedikasi Ida Raihan dan Bayu Insani yang berkolaborasi dengan Evatya
Luna, sungguh patut diacungi jempol.
Oya, sehari sebelumnya penulis berhasil mengajak
serta Ida Raihan, eks BMI Hong Kong, mengisi acara di stands FaBer/FLp
Book Fair: Diskusi Sastra Migran. Acaranya seru juga, ditemani Evatya
Luna dan di-MC dengan riangnya oleh Zhizhi Siregar.
Semoga mereka akan semakin terlecut untuk terus
berkarya, dan memaknai bahwa untuk menjadi penulis sejati memang
dibutuhkan pengorbanan dan proses panjang, tidak seperti makan cabe
rawit.
Maka, patutlah pula jika Kabul Budiono mengambil
kebijaksanaan untuk terus mengapresiasi karya TKI/BMI di manapun berada.
Bravo BMI dan Bilik Sastra! (Pipiet Senja – Depok)
Zhizhi Siregar, Evatya Luna dan Ida Raihan usai Diskusi Sastra Migran di Book Fair |
Subscribe to:
Posts (Atom)