Jakarta, 2 Juli 2012
Radio Republik Indonesia memiliki sejarah sendiri
dalam membangun Ibu Pertiwi. Tidak bisa dibayangkan, andaikan RRI tidak
berani mengumandangkan Proklamasi pada 17 Agustus 1945, sebuah momen
yang sangat bersejarah itu.
Hingga kini, meskipun media elektronik semakin
canggih dengan bermunculannya siaran televisi, baik lokal maupun
internasional. RRI senantiasa membenahi diri, menyemangati, memberi
luang dan memberikan apresiasi tinggi terhadap karya anak bangsa.
Voice Of Indonesia atau VOI RRI menyiarkan acara-acara baru, dua di antaranya adalah Diplomatic Forum dan Bilik Sastra. Diplomatic Forum adalah
acara diskusi antar kalangan diplomat asing dengan unsur pemerintah di
Indonesia, membahas isu strategis sekaligus sebagai sarana; “second
track diplomacy”.
Sebagai implementasi dari Informing, Connecting, Dignifying, acara
ini berusaha memberikan informasi timbal balik mengenai situasi dan
kondisi suatu negara, menghubungkan Indonesia dengan negara sahabat,
sekaligus merekatkan hubungan kedua bangsa dan negara.
Sejak awal 2011, penulis diajak
bergabung sebagai pembincang karya. Bilik Sastra, mengapresiasi,
membacakan dan membincang karya warga kita yang bermukim di mancanegara,
tiap hari Minggu pukul 13.00 – 14.00 WIB.
Program siaran Bilik Sastra ini
ternyata banyak diminati oleh warga Indonesia, baik di dalam maupun di
luar negeri. Ada dua kategori karya-karya yang masuk ke meja Bilik
Sastra, yakni dari umum seperti; ibu rumah tangga, mahasiswa dan kaum
tenaga kerja; TKI/BMI.
Jika dicermati yang paling rajin mengirimkan karya
berupa cerpen dan kisah inspirasi adalah dari Hong Kong dan Singapura,
menyusul Malaysia, Taiwan dan Mesir. Kemudian para istri ekspatriat,
mahasiswa dari; Saudi Arabia, Thailand, Australia, Amerika Serikat,
Kanada, Inggris.
Pada satu pertemuan bersama Kabul Budiono, Direktur Penyiaran RRI. Tiba-tiba ada yang nyeletuk kira-kira sbb:” Wah, kebanyakan karya TKI, ya? Bagaimana nanti kalau Bilik Sastra dicap, citranya identik dengan suara TKI?”
Kabul Budiono dengan gayanya yang humble,
nyantey, tersenyum kebapakan, menukas tegas:”Ya, mengapa tidak? Kita
tidak perlu cemas, apalagi takut tentang pencitraan macam itu? Mereka
memang patut kita dukung!”
Wow, penulis menunduk dalam, salut dengan sosok
satu ini. Suaranya yang bariton, joke-joke segar acapkali terlontar,
membuat pertemuan-pertemuan seberat apapun akan terasa renyah.
Nadia Cahyani dan Nessa Kartika, pemenang cerpen terbaik Bilik Sastra 2011 |
Memasuki tahun ke-2, Bilik Sastra telah
menyemarakkan khazanah literasi/sastra ke dunia internasional dengan
terus-menerus mengapresiasi karya mereka, membacakan dan membincangnya
sekaligus mewawancarai penulisnya.
Dalam rangka Hari Kemerdekaan RI
ke-66, setahun yal, Bilik Sastra mengantarkan dua penulis cerpen
terpilih, ke Istana Merdeka, berjabat tangan langsung dengan Presiden
SBY. Keduanya adalah Buruh Migran Indonesia. Nadia Cahyani BMI Hong
Kong, Nessa Kartika BMI Singapura.
Sedianya tahun inipun, 2012, Bilik Sastra akan
mengulang momen penting seperti sebelumnya; menerbitkan karya terpilih
dan memilih kembali karya terbaik selama setahun terakhir.
Minggu, 30 Juni 2012, penulis
mengajak serta Bayu Insani, eks BMI Hong Kong yang kini tinggal di
Yogyakarta. Kali ini ditemani Evatya Luna, novelis muda dari Surabaya.
Keduanya dengan riang gembira saling menyahut, membacakan cerpen Rosana
karya Jaladara.
“Senang sekali diajak Teteh ke sini. Jadi tahu
bagaimana studio RRI yang terkenal itu,” komentar Bayu Insani dengan
riang, bahagia.
Meskipun sama sekali tak ada honorarium, apalagi
akomodasi. Bayangkan saja, dalam kondisi hamil muda melakukan perjalanan
yang sangat panjang, karena macet, dari Kota Gudeg menuju Ibukota. Luar
biasa!
Susie Utomo, jurnalis tangguh dari Hong Kong pun
bisa tersambung bersama kami, dan memberikan testimoninya tentang Sastra
Migran, siang itu. Terima kasih, Jeng Susie; di antara kesibukanmu
sebagai panitia even Menghafal Al Quran bersama Rumah Tahfidz HK,
ternyata Anda masih bisa meluangkan waktu untuk Bilik Sastra. Bravo!
Jika Lea si jaladara akhirnya tidak datang, hatta,
karena superduper sibuk, maka itu adalah soal lain. Namun, semangat dan
dedikasi Ida Raihan dan Bayu Insani yang berkolaborasi dengan Evatya
Luna, sungguh patut diacungi jempol.
Oya, sehari sebelumnya penulis berhasil mengajak
serta Ida Raihan, eks BMI Hong Kong, mengisi acara di stands FaBer/FLp
Book Fair: Diskusi Sastra Migran. Acaranya seru juga, ditemani Evatya
Luna dan di-MC dengan riangnya oleh Zhizhi Siregar.
Semoga mereka akan semakin terlecut untuk terus
berkarya, dan memaknai bahwa untuk menjadi penulis sejati memang
dibutuhkan pengorbanan dan proses panjang, tidak seperti makan cabe
rawit.
Maka, patutlah pula jika Kabul Budiono mengambil
kebijaksanaan untuk terus mengapresiasi karya TKI/BMI di manapun berada.
Bravo BMI dan Bilik Sastra! (Pipiet Senja – Depok)
Zhizhi Siregar, Evatya Luna dan Ida Raihan usai Diskusi Sastra Migran di Book Fair |
nemu tulisan ini.......apa kabar mbak nessa. maksih ya, sudah menulis kami di sini, ruang yang sangat nyaman untuk para pecinta pena. senang rasanya bisa membaca walaupun sudah telat, 2012, ini sudah 2021. di balik ya. lama sekali. masih imut2 juga......banyak kenangan indah kala itu. sehat selalu ya....peluk dari jauh.
ReplyDelete