Kinan mengenalnya ketika pertama bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Jalan berdebu setelah kemarau panjang. Belokan dan tikungan membuat isi perutnya serasa ingin berhamburan.
"Ibu, pusing," kata ibunya.
Sementara Pak Har di jok belakang hanya diam.
Mobil carry terus membelah jalan aspal rusak menuju desa Kasihan. Samping kanan kiri bergantian kebun salak, kopi dan albasia. Sudah setengah jam kami digoncang kesana kemari.
"Masih jauhkah?" Mas Toro sang supir mulai meyesali medan.
Kinan yang pernah ke daerah sini dengan motor lupa-lupa ingat, "sepertinya satu desa lagi... Paling parah jalan sebelum lapangan dan sampailah."
"Byuhh... Jauh sekali. Kalau dapat istri orang sini bagaimana?" Boss Yadi yang duduk sebelah sopir mencolek Mas Toro.
"Aku nggak mau," jawab Mas Toro.
Semua tergelak, sekejap lupa bahwa mereka sedang pada mabuk darat.
Benar saja, di depan mereka jalan susah dilewati. Sebuah lapangan bola di bawah bahu jalan. Seluas mata memandang view gunung dieng memanjakan mata.
Dan di atasnya, desa Kasihan twrpampang seperti desa-desa di film Korea. Bedanya bukan salju yang ada di atap-atapnya, tapi debu musim kemarau.
"Tinggal cari rumah lurahnya," kata Bos Yadi.
"Kades, boss... Ini desa, bukan kelurahan." Pak Har meralat.
"Nanti kita tanya orang," jawabku.
Ternyata rumah kades di dekat situ, sayangnya orangnya tidak di rumah. Sedang pergi ke kecamatan dan mereka hanya bertemu istrinya. Wanita sederhana saja.
***
No comments:
Post a Comment