DARI NEGERI SINGA AKAN DUKA NEGERIKU
Oleh. Nessa Kartika
Warga Negara Indonesia di singapura.
Negeriku Indonesia Raya.
Negeri gemah ripah loh jinawi
Negeri tempatku lahir dan dibesarkan.
Negeri yang sedang diguncang Bencana, tak hanya sekali.... bertubi.
Pertengahan Oktober 2010 saat kebakaran hutan di pulau Sumatra, asap terbawa sampai negeri singa ini, warga Singapura hanya bisa mengecam. Sakit hati rasanya. Mereka tak tahu betapa luas negeri kita. Kenapa salahkan semua bangsa Indonesia atas kesalahan satu dua manusia. Manusia-manusia gila penebang dan pembakar hutan kita
|
singapura. |
Manusia-manusia tak bertanggung jawab yang tak pikir akibat perbuatan mereka. Selain polusi udara yang membahayakan kesehatan. Hutan yang seharusnya jadi tempat sumber air dan pangan untuk anak-cucu kelak ditebangi dengan sembarangan. Dibakari. Asapnya terbawa angin ke negara tetangga. Indonesia pula yang tercoreng namanya.
Hutan Indonesia telah memberi udara segar selama hampir sepanjang tahun. Asap yang hanya beberapa minggu itu jadi sangat mengganggu karena sudah terbiasa dengan kiriman udara segar dari Indonesia. Jadi sebaiknya saling bersabar. Lagi pula, yang membakar hutan itu mungkin juga perusahaan perkebunan milik pengusaha Malaysia. Tetapi karena lokasinya di Indonesia, maka pemerintah Indonesia yang disalahkan Singapura dan Malaysia.
Asap ini dikabarkan polusi udara terburuk dalam 4 tahun terakhir.
25 Oktober 2010, gempa berkekuatan 7,2 skala Richter terjadi di barat daya Pulau Pagai, Mentawai, Sumatera Barat. Disusul gelombang Tsunami. Memporak porandakan bagian negeri ini. menyebutkan 374 warga dinyatakan meninggal dunia. Sementara itu, sebanyak 338 orang masih dinyatakan hilang.
Teremas pilu hatiku mendengar duka Mentawai, sejak itu tiap saat kucari berita perkembangan keadaan terakhir, miris. Harta benda porak poranda di laut. Ombak menggulung mencengkeram hati yang hanya ingin mencari nafkah hidup dari sisi lautan negeri. Ibu kehilangan anaknya, anak kehilangan ibunya. Juga kehilangan-kehilangan yang lain. diterjang bencana.
Hati menjerit memohon ampunan Yang Maha Kuasa. Ampuni Kami, Ampuni Bangsa kami. Ampuni seluruh masa depan pertiwi. Ampuni mereka yang kita sebut wakil rakyat yang dengan angkuhnya berkata, “Gempa dan Tsunami ini sudah resiko mereka yang hidup di wilayah pantai, warga yang takut ombak jangan tinggal di daerah pantai”
Egois! menganggap enteng mereka rakyat kecil, miskin dan lemah.
Astaghfirullah al-adzim. Dimana rasa kemanusiaan?
Belum habis rasa pilu, 26 Oktober 2010 Gunung Merapi meletus.
Kuasa Tuhan tiada ampun memanggang. Membuktikan pada para oknum yang buta akan derita bahwa Tuhan ada dimana-mana. Di laut dan di gunung, semua milik Tuhan Yang Maha Kuasa.
Desa Kinahrejo dan beberapa desa lain di seputar gunung ini luluh lantak tersapu oleh ganasnya “Wedhus Gembel” Merapi. Tiada lagi kehidupan. Tiada lagi hijau. Semua tertutupi abu vulkanik dan udara segar kini berubah menjadi bau belerang yang masih tersisa akibat erupsi.
Gunung yang pernah kudaki dengan kawan-kawanku di masa sekolah, Aku masih ingat, rasa tenteram damai di puncak Garuda. Kini tak tenteram lagi. Gunung yang hanya berjarak 3 jam dari kotaku, murka. Menggila.
|
di Puncak Garuda, Juni 2003 |
Kembali korban-korban berjatuhan. korban meninggal mencapai 311 jiwa dan korban yang hilang sebanyak 378 orang, masih diberitakan bahwa kemungkinan korban tewas itu jumlahnya masih akan terus bertambah.
Getir
Khawatir
Meski kotaku hanya diselimuti oleh hujan abu. Tuhan Maha Kuasa. Manusia tak dapat menerka.
Saudara dan kawan-kawan mulai menjejaliku dengan kenyataan yang ada di seputar merapi, kepedihan, kehilangan, kekurangan, kematian. Semua orang turun membantu dengan apa saja yang mereka mampu.
Pengungsi berdesak-desakan dalam satu ruangan bisa lebih dari 100 orang.
Malam pertama, logistik bantuan sama sekali tidak ada (makan, bahkan air minum pun tidak ada!!!). Hari ke-2, pagi hari terpaksa orang tua kembali ke rumah, hanya untuk sekedar masak, makan, minum, dan mandi. Siang hari kembali di wajibkan pulang ke pengungsian masih kembali ke tempat yang sama (karena tidak diperbolehkan meninggalkan tempat evakuasi - sebagai catatan : untuk mempermudah pengawasan), situasi yang sama. Kata mereka.
Foto demi foto kutelusuri penuh rasa pilu. tak ada tanda-tanda kehidupan. Sejauh mata memandang semuanya tertutup abu, ternak-ternak mati dan pepohonan tak lagi hijau.
Berita demi berita kulahap dengan hati bertanya. Murkakah Tuhan pada Indonesia? Mengapa? Pada siapa? Lalu mengapa Tuhan hanya turunkan bencana pada mereka yang papa. Mereka-mereka yang sederhana. Kesedihan membuncah ketika Tuhan mengambil nyawa seorang tak serakah, rendah hati, mengayomi, tak perduli harta dan nama. Ia rela mengorbankan nyawa demi Pertiwi. Mbah Maridjan. Semoga beliau diterima di sisi-Nya.
Kenapa Tuhan tak turunkan adzab Nya pada mereka perusak negeri yang penuh topeng. Senyum sana tangis sini asalkan sesuai dengan keadaan, namun nurani telah mati. Bahkan dari jarak sebegini jauhnya, aku masih bisa melihatnya.
Apakah mereka turun membantu demi rasa kemanusiaan? Atau hanya karena ikut-ikutan, pulang ke rumah kembali ongkang-ongkang kaki masa bodoh dengan ratapan pertiwi? Wallahu a’lam. Tuhan Maha Mengetahui. Aku tak tahu.
Meski aku berada disini, namun hatiku berlari pulang. Duka ini terlalu dekat untuk tak kurasakan. Dukanya kehidupan yang terlibas bencana. Kehidupan yang butuh hidup! Rasa takut akan datangnya bencana yang lain tak terbendung. Rasa khawatir akan datangnya bencana yang lebih parah tak terelakan.
Do’a demi do’a seakan menambah getir dan rindu yang kurasakan. Muncul rasa narsisku. Kuingin bencana tak menghampiri kotaku, tak menjamah keluargaku. Tapi lalu hati tersadar akan kesilapan. Duka ini datangnya dari Tuhan. Tuhan akan turunkan pada siapa saja yang Tuhan kehendaki. Kita manusia hanya bisa berdo’a. Dimanapun bencana ini diturunkan, Indonesia menangis.
Indonesia Raya. Meski negara ini terbagi menjadi beribu pulau, berbagai suku bangsa, berbagai bahasa, namun Indonesia Satu. Bhineka Tunggal Ika. Bagai organ tubuh. Satu bagian tubuh terluka, seluruh tubuh akan ikut merasakan sakitnya.
Begitupun seluruh Warga Negara Indonesia di seluruh putaran muka Bumi ini. Mereka-mereka yang bekerja, belajar maupun yang karena keadaan lain. Meski mereka tak di Indonesia, mereka tetap Warga Negara Indonesia. Duka Indonesia juga duka mereka.
Warga Negara Indonesia di timur, di barat, di utara, di selatan belahan bumi ini. Semua. Sumbang harta, sumbang do’a, sumbang air mata. Sumbang apa saja yang mereka bisa. Untuk negeri pertiwi.
Negeri yang kaya namun papa. Kemiskinan merajalela. Negeri yang merdeka namun terlupa. Pemimpin hanya mementingkan diri mereka sendiri. Entah kemana perginya Kedamaian, kemana perginya kerukunan. Moral pemuda pun mengkhawatirkan. Lupa akan bagaimana negeri ini dimerdekakan. Lupa do’a para orang tua, do’a pahlawan dan do’a seluruh bangsa Indonesia.
Apalah artinya deritaku di negeri orang dibanding duka mereka yang menderita di negeri sendiri. Suara sumbang yang kudengar selama ini tak sepadan dengan penderitaan para korban bencana. Mungkin yang kudengar tak seluruhnya. Mungkin yang terjadi di Indonesia lebih dari apa yang kulihat, kudengar maupun kubaca.
Dari tempatku berpijak, Aku tak bisa apa-apa.
Kini dengan seluruh Bencana ini tak henti airmata mengalir untuk duka negeri. Duka Indonesia. Dapat kubayangkan pedihnya kehilangan, kekurangan, pengungsian, kehidupan dan kematian. Harta benda yang tiada artinya lagi, Musnah oleh kuasa Tuhan. Tempat tinggal dan tanah yang tak aman lagi untuk berpijak. Pilu.
Ya Allah, Tuhan seluruh Alam. Tuhan yang menciptakan, Tuhan dapat pula memusnahkan. Semoga Tuhan mengasihi. Smoga kita makin bijak membaca ‘ayat-ayat’ Nya. Bukakan hati para dermawan. Bukakan hati para sanak sanak saudara handai taulan. Bukakan hati para pemimpin negeriku Indonesia. Bukakan hati Bangsa Indonesia. Untuk Indonesia, Untuk duka Indonesia. Mudahkan hidup para korban. Mudahkan hidup bangsa Indonesia. Amin.