By. Nessa Kartika
“Neng, lihat tuh negaramu rusuh lagi…” kata si Juragan sambil menunjuk ke layar televise yang sedang menayangkan demo.
Neng yang sedang menemani si Tuyul bermain cuma berpikir, “Pemerintahnya pasti ngaco lagi. Kalo nggak… nggak mungkin rakyat pada gaduh.” Neng tak tertarik dengan kegaduhan itu. “Kalo yang di Indonesia gaduh dan yang di luar ikut gaduh, mau jadi apa negaranya? Lebih baik menonton sajalah.”
Saluran televise dialihkan ke channel lain. Kali ini tayangan sepakbola. “Neng, negaramu tanding ma Philipina…” kata juragannya lagi. Kali ini dia terpesona oleh si bundar yang berlari kesana-kemari. Heran sama majikannya yang mulai heboh meneriaki siapa saja yang menggiring si bundar, “Ayo tendang… Ayo oper…! ayo! Go! Go!”
Neng ikut melirik ke layar perak.
“Majikan yang notabene bukan orang Indonesia, bukan orang Philipina aja bisa terbawa oleh permainan apalagi yang punya Negara…” batinnya.
Heboooh…
Penontonnya, yang di rumah atau di lapangan. Komentatornya, Pemainnya… Semua semangat bener… Neng tak sadar ikut merapal doa dengan tangan terkepal di dada kirinya. Doa untuk Timnas Indonesia.
Neng memang tak mengerti sama sekali oleh semua istilah dalam sepakbola, tak juga ia mengerti tentang urutan pertandingan. Yang Neng tahu, dulu di kampungnya tiap agustusan selalu ada pertandingan bola antar RT. Tak peduli gimana tak akurnya beberapa pemuda satu dengan pemuda lain di hari-hari biasa, mereka akan jadi “best buddy” yang luarbiasa mesra di lapangan hijau.
Kini, di dada Neng hanya ada satu kalimat, “Go Timnas Indonesia! Go! Go! Gol!!!” Seperti juga bosnya, seperti juga bangsa Indonesia. Semua bergabung satu suara untuk Indonesia. Mengirim semangat untuk Timnas yang berjuang disana agar Berjaya.
Neng bertanya-tanya. “Apakah seperti halnya para pemuda di RT-nya yang dirukunkan oleh bola. Negara Indonesia mungkin juga harus diganti lambangnya dengan bola, dijadikan negeri bola. Biar akur selamanya.”
*290 kata
No comments:
Post a Comment