Deg!
Jantungku berdegub kencang saat kudengar Mas Rahman mengucapkan kata,
“tentara.”
Ada sesuatu menusuk ulu hatiku. Aku tak
bisa menamainya. Rasa ini baru untuk pertama kalinya kurasakan. Bukan salah
kakak sepupuku itu kalau ia ingin menjodohkanku. Usiaku dua puluh Sembilan,
umur yang dimana-mana dianggap sudah kasep. Terlambat menikah. Dan bukan salah
Mas Rahman juga kalau orang yang dijodohkannya denganku adalah seorang tentara.
“Dia saat ini bertugas di Makasar, Ran. Orangnya pulang bulan Oktober
ini. Kalau kalian berjodoh, ia ingin segera menikahimu dan memboyongmu ke
Makasar.”
Mas Rahman memberiku shock yang kedua dengan lancarnya. Seolah kata-kata
yang keluar dari mulutnya hanya sebatas kabar burung yang disebar setiap pagi
oleh ibu-ibu kompleks saat bertemu di warung Mbak Nah.
“Mas tahu ini mengagetkanmu. Mas hanya ingin membantu. Pikirkan
baik-baik, Ran. Kalau dia pulang, Mas Rahman juga akan ambil cuti dan pulang ke
Wonosobo.”
Kakak sepupuku yang kini menjadi instuktur di Pusdik-Bekang Bandung itu lalu
mengakhiri pembicaraan.
Aku hanya mampu menatap kosong pada benda bernama telepon genggam di
tanganku. Pelan, aku mulai mencerna kalimat-kalimat yang dikirim oleh Mas
Rahman baru saja.
“Profesinya tentara …,” gumamku tanpa sadar.
Otakku melanjutkan, jika aku menerimanya, aku harus siap melepaskan
segalanya. Melepaskan kehidupanku di Wonosobo, melepaskan kebahagiaan sebagai
wanita single, melepaskan kebebasanku … dan sebagai istri seorang Tentara aku
harus siap ditinggal-tinggal. Siapkah aku?
***
Siang itu gerimis. Mutiara-mutiara langit berjatuhan dan menimbulkan
bunyi kemeretak kecil di atap seng rumah. Setelah kemarau semusim, gerimis
mampu sedikit menyiram kegersangan. Aku menatap ke arah dedaunan berbagai
pepohonan di luar rumah. Debu luruh. Hanya gerimis, namun warna-warni alam yang
selama ini dicuri oleh kemarau kembali lagi. Hijau menjadi hijau, merah menjadi
merah. Seolah ada peri yang menyulap permukaan bumi … Tring!
Kesenduan muncul begitu saja, mengamini situasi. Begitu juga dengan
lelucon tentang kenyataan bahwa ternyata aku tidak menyukai kesendirian, namun
aku merasa masih terlalu galau.
Aku mencorat-coret buku tulis yang kupegang dengan gambar benang kusut.
Tak satu kata pun aku hasilkan, padahal seharusnya aku membuat draft untuk surat lamaran kerja dan
curriculum vitae.
Endah yang datang padaku membawakan info lowongan pekerjaan dan untuk
memaksaku melamar kerja di sebuah toko swalayan, akhirnya menjadi tempat
membuang segala uneg-uneg. Itulah gunanya sahabat, bukan?
“Dipikir dulu baik-baik. Toh, kamu tak wajib menerima lamaran si Fana
ini. Aku sebagai sahabat hanya bisa berdoa yang terbaik bagimu. Keputusan tetap
di tanganmu,” kata Endah tanpa beban.
Aku sendiri tak tahu kenapa kali ini merasa begitu terbebani, ada yang
memberatiku dalam perjodohan ini.
“Entahlah, Ndah. Rasanya semua belum nyata bagiku,” aku menyahuti
sahabatku yang sedang hamil anak kedua itu menghadap sendiri sebaskom opak dan
secobek sambel gosreh. Makanan favorit kami yang murah meriah.
“Jangan kebanyakan sambal, Ndah. Nanti bayimu cengeng,” kataku lagi
memperingatkan.
“Apanya yang nggak nyata? Makasar? Fana? Atau tentara?” Endah tak
menyahuti peringatanku. Baginya mengurusi soal perjodohanku lebih menarik.
“Sudah kubilang, aku tak keberatan dengan apapun profesi suamiku atau
berasal darimana ia. Hanya saja, semua masih mengganjal. Ada hal-hal yang belum bisa kuterima secara
normal,” kataku gamang.
Endah manggut-manggut. “Iya, sih. Kalau aku jadi kamu, aku juga pasti
begitu.”
Lalu percakapan tentang Fana si Tentara pun berakhir di sini. Kami
tersedot oleh kemagisan gerimis, membuat diam lebih menyenangkan daripada
sekedar mengobrol. Menikmati DVD film Korea terbaru yang dibawa Endah
sambil mengemil.
Pikiranku kembali sibuk. Aku menanti Oktober.
***
Bulan Oktober datang seperti hama. Kuingin menghindari
dan memberantasnya, tapi aku tak dapat mengembalikan waktu. Aku menjadi sangat jumpy, kaget oleh hal remeh temeh yang
terjadi di sekitarku –terutama bunyi hape.
Bunyi hape yang sesungguhnya
kutunggu datang dua hari kemudian. Kali ini Mas Rahman memberitahuku bahwa
temannya yang bernama Fana itu sudah berada di Wonosobo, tapi Fana akan
menemuiku bersama Mas Rahman.
“Aku sedang siap-siap mau pulang.
Kalau aku berangkat nanti jam enam atau tujuh, aku sampai Wonosobo sekitar
subuh.” Kakak sepupuku terdengar bersemangat.
Ah, aku merasa berdosa.
“Mas cuti berapa hari sih?”
“Cuma dua hari. Besok malam aku
kembali ke Bandung.
Makanya aku ingin kamu mengambil keputusan yang tepat. Jangan sampai menyesal.”
“Iyaaaaa … Iya, hati-hati di jalan.
Tak usah buru-buru.”
“Sip. Sampai jumpa besok. Dandan
yang cantik. Aku yakin dia makin naksir kalau sepupuku lebih cantik orangnya
daripada fotonya.”
Aku garuk-garuk kepala, “foto mana
sih yang dia lihat?”
“Sudah kubilang yang kamu pakai
bando pas pada ke Bandung,
itu lah ….”
I’m
totally forget.
“Dia sudah tau foto aku, kenapa aku
nggak dikasih lihat fotonya?” aku merajuk.
“Besok juga kamu lihat orangnya.”
“Curang,” cibirku.
“Dan siap-siap aja berkata ‘I do’”
“Norak!” rutukku.
“Kenapa? Kalau bisa kasih aja aku
jawabannya sekarang juga. Jadi besok aku tinggal menikahkan kalian.”
“Idih, dimana keadilan? Ini bukan
jamannya Siti Nurbaya kaliiiii …,” elakku.
“Iya, iya. Kamu memang harus melihat orangnya dulu.” Kakak sepupuku
tertawa dan menutup telepon.
Aku lupa aku masih belum memutuskan
apa-apa, karena aku tak tahu apa yang harus kupikirkan.
***
Gerimis tumpah lagi. Hanya gerimis.
Tak pernah naik skalanya menjadi hujan yang menyegarkan. Tidak juga sampai
membuat kota
asri ini basah. Hanya butiran-butiran penanda musim panas yang panjang usai
sudah.
Menyambar jaket pink-ku, kuterobos
gerimis.
Aku melarikan motorku ke arah
selatan. Menuju rumah budheku di Selomerto. Mas Rahman menungguku di rumah
ibunya. Aku tahu pasti temannya yang bernama Fana ini sudah berada di sana.
Aku merasakan wajahku merona.
“Apa-apaan ini?” desisku. Tak mungkin aku tertarik pada Fana sebelum aku
bertemu orangnya. Tak mungkin aku menyerah begitu saja pada Makasar dan
Tentara. Tak mungkiiiiin …
Kenyataannya, hati kecilku tak berhenti berdebat tentang waktu. Musim
hujan datang lagi dan tahun akan berganti. Usiaku akan bertambah. Aku akan
menjadi tua dan akan tetap tanpa pendamping jika usaha Mas Rahman menjodohkanku
kali ini gagal.
Aku tak ingin menghitung berapa perjodohan yang kugagalkan karena
ketololanku. Ketidakmampuanku mengambil keputusan. Hasilnya? Endah, sahabat
yang seumur denganku kini sudah punya putra dan sedang hamil lagi. Aku masih
tetap sendiri.
Bermalam-malam aku mencoba
mengartikan rasa ngilu yang menusuk ketika pertama kutahu profesi Fana adalah
tentara. Mungkinkah itu karena aku bahagia? Akhirnya menemukan laki-laki mapan?
Putera Negara? Memang selama ini berulangkali sahabat dan keluargaku berusaha
menjodohkanku dengan berbagai macam laki-laki. Selalu kutolak dengan alasan
belum cocok.
Tapi, aku tak pernah merasa seperti ini.
Pikiranku berkecamuk dalam gerimis. Fokusku mengendarai motor buyar. Di
pertigaan stopan Selomerto, aku bertabrakan dengan sebuah mobil pick-up.
***
Bau anyir dan gelombang gelap
menghantamku, membuatku ingin tidur saja, tak usah bernafas saja, namun rasa
seperti perut terinjak membuatku muntah. Dan aku sadar.
Alam tak beraturan, bayangan
warna-warninya menjadi ganda… menjadi tiga. Aku merasakan orang-orang bicara,
namun hanya denging di telingaku. Aku kembali terpejam.
***
Di luar masih gerimis, belum menjadi
hujan.
Ingin aku bangkit, membuka jendela
dan mencium aroma air langit, namun aku belum sanggup hidup tanpa mesin-mesin
dan selang yang dihubungkan ke tubuhku oleh dokter.
“Ini keajaiban bahwa kamu baik-baik
saja, otak berfungsi sempurna dan tak mengalami luka berarti.” Dokter mencatat
sesuatu di berkasnya. “Entah apa yang membuatmu koma sekian lama,” katanya lagi
sebelum beranjak keluar dari bangsalku menuju pasien yang lainnya.
Sekian lama?
Ya, aku koma selama sebulan. Gila kan? Otakku bahkan masih
berfungsi untuk mengingat setiap detail sebulan yang lalu dan
sebelum-sebelumnya. Aku baik-baik saja. Dokter sudah meyakinkanku dengan
bolak-balik men-scan kepalaku. Bolak-balik dalam artian sebenarnya.
Aku merasakan gerimis mulai turun di
wajahku. Menyesali waktu, memaki takdir. Tuhan sedang bercanda dengan aku.
Ibu dan Endah masuk ke kamar
perawatan. Melihatku yang menangis, mereka segera memelukku.
“Haish, jangan menangis. Yang
penting sekarang kamu baik-baik saja,” kata Ibu dan Endah seirama.
Aku hanya terdiam, di tanganku
menggenggam sebuah foto, foto Fana yang diambil Endah ketika ia menungguiku
koma di Rumah Sakit.
“Dia terus berbicara padamu meski kamu koma saat itu. Dia
bersungguh-sungguh telah jatuh cinta padamu,” kata Endah.
Aku menatapnya. Setelah melihat
Fana meski dalam gambar, perasaanku tak berubah dari sebelumnya, bukan tampang
yang kujadikan patokan. Namun, hatiku makin yakin bahwa selama ini aku menunggu
laki-laki sepertinya. Bukan karena tampangnya atau karena dia tentara, tapi
kesungguhannya.
Fana sudah kembali ke Makasar,
bersama janjinya untuk pulang untukku. Janjiku untuknya : jika dia pulang lagi
nanti, aku sudah punya jawaban untuknya.
Perlahan ... gerimis menjadi hujan. [NeKa]
Suka terharu dengan pernikahan anggota TNI. Kalau ngrias ceweknya selalu membuatku berpikir. Semoga mereka semua bahagia. Amin. |
SELAMAT HARI TNI ke 67
Dirgahayu!
No comments:
Post a Comment