Jam enam pagi seperti biasa alarm bosku berbunyi. Serta merta tahu dia bangun, aku juga ikut bangun. (Kebetulan aku tidur di kamar yang sama dengan majikanku)
Majikanku langsung mempersiapkan diri untuk kerja, aku membuatkan sarapannya.
Saat setangkup roti dengan kaya dan secangkir kopi-O telah terhidang, aku beranjak mau sholat subuh dan seperti biasa tidur lagi. Bangunnya nanti jam 8, saat nyonyaku gantian yang berangkat kerja. Karena jaga bayi yang suka begadang hingga jam 2 pagi, jam tidurku memang fleksibel.
"Ani," panggil majikanku saat aku menuju ke kamar kecil.
"You never wake up to eat?" tanyanya.
"Ehm... Never." Jawabku jujur, aku juga tak tahu mengapa aku tak pernah mendengar alarm HP yang sudah kusetel saat jam sahur. Mungkin karena aku baru saja tidur saat jam sahur, hingga aku tak bisa bangun lagi.
"And you still puasa until dinner?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk, "yes, Sir."
Wajah bosku tiba-tiba berubah kaku, "like that... Forget it lah Ani. No need to puasa ready."
Aku kaget.
"But, Sir...?"
"No Puasa until you go home. You can puasa at your home." Katanya tegas.
Aku terpaku. Aku patah hati... kenapa majikanku so unreasonable?
***
Ketika majikan perempuanku bangun, aku ceritakan percakapanku dengan Sir tadi pagi.
"Then don't puasa..." kata nyonyaku mendukung suaminya.
"Can not lah, Mam.... Later if I die, I go to hell." Kataku mencoba membuat majikanku mengerti bahwa puasa hubungannya dengan Tuhan. Aku tak ingin meninggalkan puasa dalam keadaan aku sehat wal afiat dan mampu berpuasa.
"But why so lece not let people eat... bla bla bla..." Majikanku yang tak mengerti tetaplah tak mengerti.
Akhirnya aku hanya bisa meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja meskipun aku tak makan sahur. Toh tiga hari kemarin sudah terlewati dengan sempurna.
"Then up to you lah... But don't tell Sir you still puasa. Saturday and Sunday Sir at home, don't puasa, OK?" kata majikanku lagi lalu meninggalkanku yang bengong.
Susahnya bicara pada orang yang tak paham. Semoga selanjutnya aku bisa bangun untuk makan sahur. Bantu aku, Ya Allah.
Majikanku langsung mempersiapkan diri untuk kerja, aku membuatkan sarapannya.
Saat setangkup roti dengan kaya dan secangkir kopi-O telah terhidang, aku beranjak mau sholat subuh dan seperti biasa tidur lagi. Bangunnya nanti jam 8, saat nyonyaku gantian yang berangkat kerja. Karena jaga bayi yang suka begadang hingga jam 2 pagi, jam tidurku memang fleksibel.
"Ani," panggil majikanku saat aku menuju ke kamar kecil.
"You never wake up to eat?" tanyanya.
"Ehm... Never." Jawabku jujur, aku juga tak tahu mengapa aku tak pernah mendengar alarm HP yang sudah kusetel saat jam sahur. Mungkin karena aku baru saja tidur saat jam sahur, hingga aku tak bisa bangun lagi.
"And you still puasa until dinner?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk, "yes, Sir."
Wajah bosku tiba-tiba berubah kaku, "like that... Forget it lah Ani. No need to puasa ready."
Aku kaget.
"But, Sir...?"
"No Puasa until you go home. You can puasa at your home." Katanya tegas.
Aku terpaku. Aku patah hati... kenapa majikanku so unreasonable?
***
Ketika majikan perempuanku bangun, aku ceritakan percakapanku dengan Sir tadi pagi.
"Then don't puasa..." kata nyonyaku mendukung suaminya.
"Can not lah, Mam.... Later if I die, I go to hell." Kataku mencoba membuat majikanku mengerti bahwa puasa hubungannya dengan Tuhan. Aku tak ingin meninggalkan puasa dalam keadaan aku sehat wal afiat dan mampu berpuasa.
"But why so lece not let people eat... bla bla bla..." Majikanku yang tak mengerti tetaplah tak mengerti.
Akhirnya aku hanya bisa meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja meskipun aku tak makan sahur. Toh tiga hari kemarin sudah terlewati dengan sempurna.
"Then up to you lah... But don't tell Sir you still puasa. Saturday and Sunday Sir at home, don't puasa, OK?" kata majikanku lagi lalu meninggalkanku yang bengong.
Susahnya bicara pada orang yang tak paham. Semoga selanjutnya aku bisa bangun untuk makan sahur. Bantu aku, Ya Allah.
-oOo-
No comments:
Post a Comment